Kota-kota Besar Sudah Darurat Sampah, Volume Makin Banyak RDF Tak Bisa Musnahkan

Ke depan, metode olah sampah kota-kota besar di Indonesia seharusnya bertumpu pada teknologi yang mampu mereduksi secara optimal.

|
Editor: Mohamad Yusuf
Warta Kota/Muhammad Azzam
Para pemulung sedang mengais rejeki dari tumpukan sampah di TPST Bantar Gebang, Kota Bekasi. 

“Artinya, harus dilakukan pengolahan sampah yang maksimal. Pengolahan sampah yang seperti ini tentunya harus mengacu pada penggunaan teknologi yang tepat dan efektif. Intinya, teknologi itu harus bisa mereduksi sampah secara signifikan, hitung-hitungan saya harus bisa sampai 85 persen, dengan menyisakan sedikit saja,” kata Guntur Sitorus.

Guntur mengingatkan, teknologi RDF yang saat ini cukup banyak digunakan, sejatinya merupakan teknologi yang memeroses secara mekanis yang juga mereduksi sampah, paling banyak hanya 50 sampai 60 persen.

Jadi masih menyisakan sampah dalam jumlah yang cukup banyak,” katanya.

Menurut dia, dilihat dari pemanfaatan lahan pengolahan, penggunaan teknologi RDF membutuhkan lahan tanah yang luas.

“Dilihat dari sisi ini, jelas tidak menguntungkan jika diaplikasikan di kota-kota besar, dimana harga tanah sudah sangat mahal. “Hitung-hitungannya, dengan menggunakan teknologi RDF, untuk sampah 1.000 ton dibutuhkan 8-10 hektare lahan. Jadi bisa dihitung kalau lahan di pinggiran Jakarta harganya sudah Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter, kalau butuh 8 hektare maka butuh sekitar Rp240 miliar. Mahal sekali. Itu baru lahannya saja,” ujar Guntur

Dilihat dari keluaran (output) dari proses pengolahannya, teknologi RDF menghasilkan bahan bakar padat atau bahan bakar jumputan padat, yakni “sampah padat” seperti pellet.

“Tidak bisa menghasilkan energi baru terbarukan atau EBT yang bersih, seperti kalau kita menggunakan teknologi thermal atau gasifikasi untuk mengolah sampah,” ujar Sitorus menjelaskan.

Secara khusus, ia menyebut teknologi pengolahan sampah yang sudah diaplikasikan di Surabaya sejak tahun 2001 silam, yang sudah memanfaatkan thermal gasifikasi. 

“Ini canggih, karena di dalam proses thermal ini ada teknologi yang bisa mereduksi sampah dalam jumlah yang besar, salah satunya teknologi insinerator,” kata Guntur menjelaskan.

Guntur sependapat dengan pandangan yang mengatakan bahwa untuk kota-kota besar seperti Jakarta, teknologi yang mengacu pada pembakaran sampah hingga musnah lebih tepat untuk digunakan.

“Memang semua teknologi dan metode ada plus-minus nya, tapi saya berpendapat, RDF memang tidak tepat diaplikasikan di Jakarta dan kota-kota besar. Saya tidak percaya, 8.000 ton sampah setiap hari di Jakarta, misalnya, bisa dimusnahkan dengan RDF,” ujarnya seraya menambahkan bahwa timbunan sampah di tempat-tempat pembuangan akhir (TPA) sampah tetap saja akan menyisakan volume yang besar, jika RDF digunakan.

 

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved