Berita Jakarta

Karier Kasubdit 1 Kamneg Ditreskrimum PMJ, AKBP Joko Dwi Harsono Pernah Jadi Tukang Ojek Pangkalan

Kasubdit 1 Kamneg Ditreskrimum PMJ, AKBP Joko Dwi Harsono mengaku pernah menjadi tukang ojek pangkalan sebelum kerja di kepolisian.

Penulis: Miftahul Munir | Editor: PanjiBaskhara
Kolase Wartakotalive.com/Miftahul Munir/Istimewa
Foto: Kasubdit 1 Kamneg Ditreskrimum PMJ, AKBP Joko Dwi Harsono mengaku pernah menjadi tukang ojek pangkalan sebelum kerja di kepolisian. 

WARTAKOTALIVE.COM - Beberapa bulan terakhir, Ajun Komisaris Polisi (AKBP) Joko Dwi Harsono menjabat sebagai Kasubdit 1 Kamneg Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya.

Sebelumnya, AKBP Joko Dwi Harsono yang merupakan Alumni Akpol 2004 tersebut mengemban tugas sebagai Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat.

Dibalik kesuksesan kariernya di kepolisian, AKBP Joko Dwi Harsono memiliki perjuangan luar biasa untuk sampai ke titik ini.

AKBP Joko Dwi Harsono pernah jadi tukang ojek pangkalan setelah lulus sekolah menengah atas (SMA) tahun 2000 silam.

Baca juga: Eza Yayang Rela Lakoni Pekerjaan Sebagai Tukang Ojek di Sinetron Tukang Ojek Pengkolan Demi Keluarga

Baca juga: Di Hadapan Polisi, Tukang Ojek di Sumatera Selatan Mengaku Bangga Telah Bunuh Rekannya

Baca juga: VIDEO : Polres Bogor Tangkap Komplotan Pembacok Tukang Ojek di Sentul

Bukan tanpa alasan ia menjadi tukang ojek, karena setelah lulus sekolah dari SMAN 1 Kalasan Sleman, Yogyakaerta ia belum memiliki tujuan hidup.

Rencana untuk kuliah tak pernah ada dipikirannya karena keterbatasan biaya.

Namun ia mengaku pernah mendapat undangan tes masuk perguruan tinggi IPB.

Tapi ia tidak mengambilnya, takut dipertengahan jalan orangtuanya tak punya biaya dan harus putus kuliah.

Menganggur selama beberapa bulan di Yogyakarta, Joko kemudian kembali ke Jakarta, tinggal bersama orang tuanya di Pedongkelan, Cengkareng, Jakarta Barat.

Ternyata, nyari kerja di Jakarta di tahun 2000 untuk lulusan SMA sudah sulit.

Lontang-lantung tak punya kerjaan dan ia melihat sepeda motor ayahnya Honda Astrea Grand menganggur di rumah.

"Bokap gua kan dagang, jadi motor nganggur nah itu gue pakai buat ngojek dari rumah ke Jembatan Gantung Cengkareng lumayan dapatnya Rp 5.000," terangnya Senin (6/2/2023).

Uang hasil ngojek, ia pergunakan untuk kebutuhan anak muda pada umumnya yaitu beli minuman keras bersama teman-temannya atau untuk taruhan bola.

Hidup yang tak tertata itu kemudian dikeluhkan oleh ayahnya dan kemudian ia mulai pikirkan masa depan demi membanggakan kedua orangtuanya.

Selama beberapa waktu, pekerjaan sebagai tukang ojek pangkalan di lakoni, akhirnya ia diajak oleh temannya untuk daftar sebagai anggota Polri dari sekolah calon bintara (Secaba).

Namun, saat mendaftar pertama kali di Polda Metro Jaya, Joko sudah dinyatakan tidak lulus.

Pulang dengan rasa kecewa, kesal dan ingin membuktikan bahwa ia bisa menjdi seorang anggota Polri.

"Pulang saya berfikir tuh, masa jadi polisi saja saya enggak bisa, daftar pertama memang kurang persiapan juga kan saya," jelasnya.

"Saya juga awalnya tahu jadi polisi itu cuma polisi lalu lintas saja yang ada di jalan perutnya agak gendut, ternyata ada Reskrim, Intel, Brimob dan lain-lain," sambungnya.

Joko mulai menata hidupnya dan mempersiapkan diri untuk daftar sebagai polisi di tahun 2001.

Tidak hanya berlatih fisik dan belajar materi saja, pria kelahiran Jakarta ini juga rutin salat wajib dan sunah dengan harapan lulus pendaftaran polisi.

Setelah belatih keras, ternyata pendaftaran Secaba yang ditunggu-tunggu tak kunjung dibuka.

Akhirnya ada teman yang mengajak untuk ikut daftar Akademi Kepolisian (Akpol).

Joko mengakui, dirinya saat itu menolak dan bersikeras ingin daftar polisi melalui jalur Secaba.

Hal ini karena kurang pengetahuan Joko mengenai dunia kepolisian, padahal jejang Akpol bisa mendapat pangkat tertinggi sebagai Jenderal.

"Kata teman, sama saja itu polisi juga. Orangtua juga dukung kan," ungkapnya.

Saat daftar, Joko sempat gagal lantaran tinggi badannya tidak memadai untuk ikut ke tahap selanjutnya.

Ia memiliki tinggi badan 165 cm dan aturan yang dibuat saat itu 167cm.

Joko pulang dengan rasa kecewa dan ia masih menunggu pembukaan pendaftaran Secaba.

Tapi rezeki Joko memang ada di Akpol karena seminggu setelah itu, ia mendapat pengumuman standar tinggi badan diturunin menjadi 163 cm.

Akhirnya Joko lolos dan memulai pendidikan sebagai Akpol tahun 2001 mengalahkan ribuan orang dari Polda Metro Jaya.

Pria berkulit sawo matang itu bersama sekira 52 orang lainnya diberangkatkan ke Akpol Semarang.

Tes panitia penentuan akhir (Pantuhir) di sana, nama Joko masih tetap ada hingga akhirnya mimpi untuk jadi polisi terwujud melalui pendidikan.

Lulus Akpol dan Dinas Pertama

Desember tahun 2004 atau setelah mengenyam pendidikan selama tiga tahun lebih, Joko lulus Akpol dan mendapat dinas pertama di Polres Kabupaten Bekasi, sebagai Kanit Patroli Lalu Lintas Januari 2005.

Joko selanjutnya di mutasi ke Singaparna, Polres Tasik dengan jabatan yang sama yaitu Kanit Patroli Lalu Lintas.

Tahun 2006, mantan Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat ini dimutasi ke Poso paska konflik.

Sekira 2.000 orang dikirim ke Polres Poso dari berbagai wilayah dan empat tahun berselang ia melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Masih di tahun yang sama, Joko lulus PTIK dan mendapat tugas baru di Densus 88 Antiteror.

Ia tidak turun langsung dalam medan perang melawan teroris, karena ia di tempatkan sebagai penyidik.

"Jadi penyidik itu setiap hari berinteraksi dengan teroris dan kita sudah strees kalau dia sudah menanya bapak orang Depok ya," tutur Joko.

Sembilan tahun jadi penyidik Densus, 2019 ia mendapatkan jalan baru untuk melanjutkan pendidikan Sekolah Staf dan Pimpinan (Sespim) Polri di Lembang, Bandung, Jawa Barat.

Satu tahun kemudian, ia lulus dan kembali berdinas sebagai penyidik Densus 88 selama enam bulan dan seelahnya dimutasi sebagai Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Barat.

Kesan Berdinas sebagai Anggota Polri

Joko pernah memiliki cerita yang menguras tenaga dan fikiran ketika berdinas di Singaparna, Tasikmalaya tahun 2005.

Warga di sana, tidak memiliki simpati kepada aparat kepolisian pasca tragedi kerusuhan yaitu pembakaran kantor polisi tahun 1996.

Peristiwa itu berawal karena ada anak Kiyai ditilang dan menyulutkan amarah simpatisan dari tokoh agama di sana.

Semasa ia dinas, warga di sana masih merasakan sulit diatur oleh aparat kepolisian dan ia pernah ditegur oleh Kapolres karena di Singaparna ibu kota Tasik selalu macet.

Pemasangan rambu lalu lintas di sana, tak membuahkan hasil karena ada oknum tukang parkir mencopot dan membuangnya.

Joko harus memutar otak demi menarik simpati warga agar mau diatur karena banyak tukang becak dan delman parkir sembarangan.

Itu menjadi penyebab kemacetan di sana di wilayah tugasnya saat itu.

Lulusan Akpol 2004 ini kemudian mengambil hati tukang becak dan delman dengan meminta keliling.

Ia membayar sekira Rp 25.000 dan hal ini dilakukan setiap hari demi mendapat simpati warga.

"Tukang becak, tukang delman saya naikin setiap sore, saya tanya siapa yang belum dapat tarikan, saya naikin pakai seragam dinas keliling, itu berkesan," jelasnya.

Cara menyentuh langsung ke masyarakat seperti itu, ternyata membuahkan hasil dan Joko mendapat dukungan dari masyarakat untuk memasang rambu lalu lintas.

Kemudian, tukang becak dan delman perlahan mau diatur, sehingga arus lalu lintas di sana mulai bisa dikendalikan.

Sementara kasus berkesan di Jakarta Barat adalah terjadinya penimbunan obat Covid.19 di kawasan Kalideres, Jakarta Barat 2021.

Sebab, ketika tingginya kasus Covid-19, ada pelaku yang sengaja menimbut obat demi harga jualnya tinggi di pasaran.

"Harganya sampai jutaan karena barangnya juga langka, itu sih berkesan," ucapnya.

(Wartakotalive.com/M26)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved