Electronic Road Pricing
Pengamat: Penerapan ERP Lebih Menguntungkan Ketimbang Ganjil Genap atau 3 In 1
Metode mengatasi kemacetan jika ERP dibanding ganjil genap dan 3 in 1 akan lebih baik karena akan dapat pemasukan.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Dian Anditya Mutiara
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, diperlukan kemauan besar untuk melaksanakan strategi guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
Salah satunya dengan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP) yang saat ini sedang digodok payung hukumnya oleh DPRD DKI dan Pemprov DKI.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan pada Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai, kebijakan ganjil genap dan 3 in 1, lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan, penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap.
Sementara untuk penerapan ERP, Pemprov DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum.
Baca juga: Rencana Penerapan ERP di Jakarta Dinilai Masih Terlalu Jauh, Baru Dua Kali Dibahas Bapemperda
“Nantinya dalam rangka penerapan, Dishub DKI Jakarta bisa melakukan uji coba di satu ruas jalan terlebih dahulu. Selanjutnya diterapkan di ruas-ruas jalan yang sudah ditetapkan sebagai ruas ERP,” kata Djoko berdasarkan keterangannya pada Rabu (18/1/2023) pagi.
Menurut dia, warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta masih menemui kendala dalam hal transportasi, yaitu belum memiliki jaringan angkutan umum dari kawasan perumahannya.
Sementara layanan angkutan umum menuju Jakarta dari kawasan Bodetabek masih minim.
“Lain halnya di Kota Jakarta, cakupan layanan angkutan umum sudah dapat mengcover (menjangkau) seluruh kawasan permukiman yang ada,” ujarnya.
Kata dia, sinergi pemerintah pusat dan pemeritah daerah dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan ERP.
Salah satunya efisiensi dana subsidi atau public service obligation (PSO) KRL Commuterline Jabodetabek sebesar Rp 208-Rp 475 miliar.
Anggaran hasil efisiensi PSO ini dapat digunakan untuk membenahi transportasi umum di Bodetabek, sehingga mereka yang bekerja di Jakarta tidak merasa dizolimi.
Hal ini dilakukan dalam upaya untuk terus mendorong migrasi pengguna kendaraan pribadi ke angkutan publik.
“Seperti diketahui layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99 persen lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum,” ucapnya.
“Sedangkan Kota Jakarta layanan transportasi umum sudah mengcover 92 persen wilayahnya. Hingga jalan-jalan kecil di perkampungan Kota Jakarta sudah ada layanan angkot JakLingko,” sambungnya.
Dia menambahkan, pemerintah setidaknya harus menambah angkutan umum di Bodetabek seperti Trans Pakuan di Bogor atau Tayo di Tangerang untuk menyelesaikan keberangkatan hingga perjalanan akhir mereka dalam bertransportasi umum.
“Sebaiknya tahun depan (2024) mulai dioperasikan ERP ini, dan LRT Jabodebek dapat beroperasi tahun ini sehingga menambah kapasitas angkutan umum. Masih ada sisa waktu untuk sosialisasi ke warga,” imbuhnya.
Baca juga: Dishub DKI Jakarta Tegaskan Penerapan ERP Sangat Penting untuk Mengurangi Kemacetan
Dia berujar, program ERP dengan rencana kenaikan tarif KRL Commuterline dan pengoperasian LRT Jabodebek dapat secara simultan dilakukan.
Soalnya saling mendukung dan mendorong penggunaan transportasi umum secara lebih masif.
“Kerja bareng pemerintah pusat dan pemda dalam upaya meningkatkan porsi penggunaan transportasi umum,” ujarnya.
Djoko menjelaskan, pungutan ERP bukanlah pajak tetapi retribusi.
Pajak adalah pungutan wajib yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan oleh negara, namun setelah melakukan pembayaran atas kewajibannya, wajib pajak (WP) tidak mendapatkan balas jasa atau kontra prestasi secara langsung.
Contoh pajak adalah pajak kendaraan bermotor (PKB), pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) yang dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian digunakan membiayai berbagai macam keperluan publik seperti jalan, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, ruang publik.
Sedangkan retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas dari negara.
Berbeda dengan pajak maka pembayar retribusi mendapatkan kontra prestasi langsung dari apa yang dibayarnya, seperti membayar retribusi parkir maka orang tersebut berhak memarkir kendaraannya pada ruang parkir yang tersedia.
“Apa kontra prestasi untuk Retribusi ERP? Dapat menikmati jalanan yang lebih lancar, atau dapat izin menggunakan jalan karena bagi yang tidak membayar ERP tidak boleh melintas di jalan tersebut,” pungkasnya.
Diketahui, Pemerintah DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta masih menggodok payung hukum sistem ERP dengan tarif Rp 5.000 sampai Rp 19.000.
Regulasi yang disusun adalah Raperda tentang Pengendalian Lalu Lintas secara Elektronik.
Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo mengatakan, Raperda tersebut saat ini telah masuk dalam program pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) oleh DPRD DKI Jakarta.
"Kalau belum jadi Perda, ya penerapannya belum bisa diimplementasikan. Jadi masih menyampaikan paparan umum terkait dengan urgensi yang memang diperlukan saat ini,” kata Syafrin. (faf)
Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News
Wacana Penerapan ERP tak Jelas, Syafrin Liputo: Pengemudi Ojol Tidak Setuju! |
![]() |
---|
Pemprov DKI Jakarta Harus Belajar dari New York dan Hongkong yang Gagal Terapkan ERP |
![]() |
---|
Komisi B Tegaskan Pemprov DKI Tak Boleh Uji Coba ERP Sebelum Raperda Disahkan |
![]() |
---|
Dinilai Kontradiktif, Komisi B DPRD DKI Jakarta Bakal Panggil Dishub Terkait Rencana ERP |
![]() |
---|
Pemprov DKI Jakarta Batal Tarik Raperda Electronic Road Pricing |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.