Berita Jakarta

Aksi Ribuan Mahasiswa Menolak RKUHP di Depan Gedung DPR RI Memanas, Sebut Negara Sedang Sakit

Bayu Satrio mengatakan, aksi tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa masyarakat indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

Penulis: Nuri Yatul Hikmah | Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota/Nuri Yatul Hikmah
Ribuan mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mulai membekar ban bekas 

Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA PUSAT – Ribuan mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI memanas.

Pantauan Wartakotalive.com di lokasi sekira pukul 18.24 WIB, sebuah ban, kertas, botol minum, serta spanduk dibakar di tengah-tengah aksi unjuk rasa.

Selain itu, massa juga mengacungkan kertas kosong sebagai simbol perlawanan dan persatuan. Gerakan masif tersebut menandakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Mereka mendesak agar pimpinan DPR RI mau keluar dan menemui massa aksi. Kendati demikian, hingga pukul 19.18 WIB, tidak ada satupun pimpinan yang keluar. 

Koordinator lapangan dari Universitas Indonesia, Bayu Satrio mengatakan, aksi tersebut dilakukan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. 

Baca juga: RKUHP Disahkan, Jumlah Kedatangan WNA di Bandara Soekarno-Hatta Justru Melonjak

"Mahasiswa hadir untuk melakukan perlawanan," tegas Bayu saat ditemui di depan gedung DPR RI, Jalan Gelora Bung Karno, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (15/12/2022).

Menurut Bayu, hal tersebut merupakan satu lagkah konkret yang dilakuka, sebagai sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitisi (MK)

"Mosi tidak percaya terhadap pemerintahan, maka kami bertumpah ruah ke jalan untuk melakukan demokrasi aksi massa," ujar Bayu. 

Di akhir, massa aksi memajang foto lima korban yang gugur saat memperjuangkan RKUHP, 2019 lalu.

Mereka juga menyalakan lilin dan menabur bunga di depan foto tersebut. 

Hal itu dilakukan dalam rangka memeringati 1.000 hari wafatnya para korban.

Bersamaan dengan itu, lagu mengheningkan cipta dan gugur bunga juga dinyanyikan dengan penuh haru. 

Baca juga: VIDEO RKUHP Disahkan, Pengacara LBH: Demokrasi di Indonesia Sudah Mati!

Pengacara LBH Jakarta Anggap Hukum Indonesia Sudah Mati

Beberapa hari sebelumnya, sejumlah organisasi dan aktivis menyesali sikap DPR RI yang mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP.

Untuk mencegah pengesahan, mereka melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Selasa (6/12/2022).

Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Citra Referendum mengatakan, koalisi masyarakat sipil tetap menolak kehadiran RKUHP tersebut, meskipun sudah disahkan.

Menurutnya, RKUHP yang disahkan itu, tidak demokratis, konservatif, dan berkolonialisasi pada hukum Belanda.

"Demokrasi negara ini bukan lagi berubah, tapi sudah mati," tegas Citra saat ditemui di depan Gedung DPR RI, Selasa (6/12/2022).

"Karena prosedur dan substansi pasalnya tidak demokratis," sambung Citra.

Sementara itu, Warta Kota merangkum beberapa hal yang ditututkan koalisi masyarakat sipil tersebut hari ini, di antaranya:

1. Minta agar DPR tidak terburu-buru menetapkan RKUHP

Baca juga: RKUHP Disahkan, Massa Gelar Unjuk Rasa di Depan DPR Sampai Gelar Tenda

Citra menyesalkan keegoisan DPR yang tidak mau mempertimbangkan pasal-pasal bermasalah yang masih terdapat dalam RKUHP.

"Kami setuju dengan pak Yasonna Laoly, kalau ini memang perjalanan yang panjang, betul 59 tahun. Tapi kenapa masih egois dengan memasukkan pasal-pasal yang bermasalah?" ujar Citra.

"Terburu-buru itu misalnya, kami baru dapat draft 30 November, sementara pengesahan paling cepat dilakukan 6 Desember," sambungnya.

Baca juga: Langgar Aturan, Polisi Bubarkan Aksi Bentang Spanduk Tolak RKUHP di Car Free Day Bundaran HI

Menurut Citra, bagaimana masyarakat bisa ikut berpartisipasi, jika waktu yang diberikan sangat terbatas.

"Artinya presiden, pemerintah, dan DPR itu tidak melakukan sesuai prinsip transparansi dan juga partisipatif," tekan Citra.

"Bagaimana kami bisa berpartisipasi, jika enggak tahu draft mana yang sedang dibahas?," lanjutnya.

Lebih lanjut, Citra menambahkan, partisipasi tidak terjadi karena yang dilakukan pemerintah hanyalah road show ke beberapa kota di Indonesia.

Baca juga: Jaring Partisipasi Publik Soal RKUHP, BIN Buka Dialog dengan Masyarakat

Adapun bentuknya, berupa sosialisasi dan presentasi.

"Diberikan waktu masyarakat untuk berpendapat iya, tapi hanya didengar secara teknis, tidak dipertimbangkan pendapatnya," ujar Citra.

2. Tidak percaya produk Mahkamah Konstitusi (MK)

Dengan menggugat RKUHP ke MK, menurut Citra, akan menghasilkan jawaban yang berbeda.

Pasalnya, pejabat yang duduk di MK itu sudah disetir oleh pemerintah dan DPR. Sehingga, mediumnya sudah dikondisikan.

"Buktinya, undang-undang MK sudah direvisi. Lalu, hakim MK malah diberikan penghargaan oleh presiden," ujar Citra.

Disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hari ini, Selasa (6/12/2022) membuat sejumlah koalisi masyarakat sipil meradang. Mereka kembali melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hari ini, Selasa (6/12/2022) membuat sejumlah koalisi masyarakat sipil meradang. Mereka kembali melakukan unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Gelora, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. (wartakotalive.com, Nuri Yatul Hikmah)

Artinya, kata Citra, MK sudah dikooptasi. Adapun bukti lainnya yang mendukung hal tersebut adalah Undang-Undang Cipta Kerja, terkait uji formil dan materil.

"MK yang seharusnya menjaga konstitusi, malah memberikan seolah-seolah ada negosiasi," jelasnya.

"Jadi kalau kami bawa RKUHP ke MK, akan beda jawabannya," sambung Citra.

3. Pasal-pasal penghinaan presiden, sama saja dengan anti kritik

Sebagai yang mewakili LBH, Citra banyak mendampingi kasus-kasus salah tangkap. Misalnya, orang yang melakukan aksi unjuk rasa, kemudian dikriminalisasi.

Mnurut Citra, mereka merupakan bukti nyata orang yang ruang hidupnya direnggut pemerintah.

"Mereka ada yang disiksa, digusur, hanya karena menyampaikan kritik terhadap kinerja pemerintah. Tentu, seharusnya sah," ujar Citra.

Oleh karena itu, Citra menganggap, dengan adanya pasal-pasal terkait penghinaan terhadap presiden, lembaga negara, serta pemerintah, maka setiap kritik akan ditindak sebagai bentuk penghinaan.

"Ke depan, kritik itu akan dianggap sebagai bentuk penghinaan, karena ada di dalam rumusan pasal RKUHP," kata Citra.

Padahal menurutnya, terkait penghinaan tersebut tergantung pada moralitas presiden, wakil presiden, serta pemerintah itu sendiri.

"Apakah merasa dihina atau tidak? itu perlu dipertanyakan," jelasnya.

Pasalnya, tiap masyarakat memiliki cara berkomunikasi yang beragam. Menurut Citra, sopan menurut orang Jakarta, belum tentu sopan menurut orang Sumatera.

"Kalau persoalan etika yang dipermasalahkan pemerintah dan DPR, tentu sanksinya sosial. Karena itu masalah norma, bukan pidana," ujar Citra.

"Jadi kenapa etika malah berujung pada penjara?" lanjutnya.

4. Pejabat negara tidak menghormati HAM

Penolakan RKUHP selalu dilakukan dengan cara unjuk rasa. Sementara itu, saat ini di RKHUP ada ketentuan bagi yang melaksanakan demo, akan dipenjara selama enam bulan.

"Jadi memang, pernyataan-pernyataan pejabat negara ini, menunjukan bahwa mereka tidak menghormati hak asasi manusia," jelas Citra.

"Negara ini negara hukum, seharusnya mereka tidak bertindak sebagai wasit. Melainkan berpihak kepada HAM sebagai pilar dari negara hukum," sambungnya.

5. Pasal perzinahan melanggar kebebasan ruang privat

Menurut Citra, pengesahan RKUHP tentang perzinahan tersebut dapat menjadi ancaman bagi korban kekerasan seksual.

Bisa jadi, kata Citra, akan sulit bagi para korban untuk melapor dan membuktikannya.

Sebab, mereka akan dibungkam oleh pasal perzinahan, karena dianggap hidup bersama atau berhubungan seksual dengan pelaku.

"Pasal periznahan, termasuk melanggar kebebasan ruang privat, karena negara masuk di dalamnya," ujar Citra.

"Kalau sudah masuk ke persoalan sosial, harusnya enggak masuk ke ranah pidana," sambungnya.

Di akhir, Citra mengatakan pihaknya tetap menolak tegas pengesahan RKUHP yang dilakukan hari ini.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved