Polisi Tembak Polisi

Kuat Maruf Laporkan Hakim Wahyu, Prof Romli: Bilang Bohong Saja Tidak Boleh apalagi Bisu dan Tuli

Romli menegaskan, dalam Undang-Undang,  hakim tidak boleh berpihak untuk mengambil kesimpulan sebelum sidang selesai

Editor: Feryanto Hadi
Kompas.com
Prof Romli Atmasasmita Kritisi sikap Hakim Wahyu Imam Santoso yang sudah berkata buruk soal Kuat Maruf 

“KY punya kewajiban untuk menampung laporan, memproses. Tapi saya pribadi mantan hakim, saya harus mengatakan bahwa itu harus teliti mengenai kosa kata, itu interaktif atau tidak,” kata Gayus saat dihubungi wartawan pada Minggu (11/1/2022)

Menurut dia, pelaporan Kuat Maruf terhadap hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dianggap melanggar etika itu dalam hal etika komunikasi.

Gayus kemudian menyinggung soal etika komunikasi,  diantaranya etika umum dan etika interaktif.

“Kalau interaktif, wajib untuk dijaga. Kalau etik umum itu biasa. Etik umum itu terjadi, kan etika itu bukan salah benar, tapi patut atau tidak patut. Itu etik bukan hukum. Kalau hukum bicara benar dan salah. Tapi etik itu bicara layak atau tidak layak, patut atau tidak patut,” ujarnya.

Baca juga: Langkah Kuat Maruf Laporkan Hakim Wahyu ke KY Dinilai Tepat, Chairul Huda: Hakim Tidak Profesional

Terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Kuat Ma'ruf menjalani sidang pembacaan eksepsi oleh penasehat hukum terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (20/10/2022).
Terdakwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Kuat Ma'ruf menjalani sidang pembacaan eksepsi oleh penasehat hukum terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (20/10/2022). (KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO)

Sementara, Kuat Maruf melalui kuasa hukumnya melaporkan hakim Wahyu ke KY karena menyebut kliennya buta dan tuli.

Maka dari itu, saran Gayus bahwa Komisi Yudisial menggandeng ahli bahasa untuk memastikan apakah kata buta dan tuli yang diutarakan hakim tersebut melanggar etik atau tidak.

“Tergantung tujuan dari apa yang diharapkan dari lontaran dalam komunikasi buta dan tuli. Lebih baik KY melibatkan ahli linguistik. Ada ahli linguistik di Kumham punya itu. Saya tau sekali, ahli bahasa tentang etika komunikasi. Itu bisa ditanyakan apakah sang hakim mengejar pertanyaan mengungkapkan buta dan tuli, apakah itu kosa kata yang melanggar etika interaktif,” jelas dia.

Memang, Gayus mengungkap ada peraturan terkait perlindungan saksi dan korban, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK). Namun, kata dia, tidak menjelaskan spesifik tentang kosa kata.

Baca juga: Kuat Maruf Marah Besar Dianggap Buta dan Tuli, Laporkan Hakim Wahyu ke Komisi Yudisial

“Misalnya, pada UU perlindungan saksi dan korban. Status saksi itu kalaupun terdakwa, status dalam persidangan itu sebagai saksi. KUHAP sebagai saksi. Maka, ada UU perlindungan saksi dan korban yang menekankan bahwa proses peradilan hukum tidak boleh melakukan tekanan kepada saksi dan korban dalam bentuk apapun,” ungkapnya.

Oleh karenanya, Gayus mengatakan apakah kata tuli dan bisu yang diucapkan hakim Wahyu itu masuk kategori penekanan terhadap saksi Kuat Maruf. Tentu, lanjut dia, ahli bahasa yang bisa menilai makna kedua kosa kata itu.

“Kalau itu ditujukan kepada makian memaki, memang betul itu akan melanggar. Kalau memaki anda tuli, misalnya begitu. Tapi ini kan pertanyaan, kok anda tidak tahu anda berada di sana, apakah anda tuli. Tuli ya? Itu ahli yang bisa menilai,” ucapnya.

Disamping itu, Gayus mengatakan ahli linguistik ini juga bisa menilai apakah hakim Wahyu yang kerap menyebut saksi dalam kasus pembunuhan Brigadir J dengan kata berbohong sebagai kesimpulan atau bukan. Memang, kata dia, mungkin saja hakim sudah membuat analisis atau statemen.

“Itu dilihat nadanya. Kalau anda berbohong, itu mungkin bisa saja dia sudah membuat analisis atau statemen. Tentu pemaknaannya oleh ahli bahasa. Jadi saya menekankan ahli bahasa mengenai lontaran kata masuk kepada etik komunikasi melanggar atau tidak. Kalau pun melanggar, etik kan sanksinya administratif, kalau hukum tindakan. Jadi etik ini pada administrasi, ditegur dan maksimal dipindahkan,” pungkasnya.

Sebelumnya diberitakan, Kuasa hukum Kuat Maruf, Irwan Irawan melaporkan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso ke Komisi Yudisial pada Rabu 7 Desember 2022, terkait pernyataannya kepada Kuat Maruf dan Bripka RR saat memberikan kesaksian dalam sidang terdakwa Bharada Richard Eliezer alias Bharada E dan Bripka Ricky Rizal alias RR.

Saat itu, Kuat tengah menjadi saksi yang dikonfrontir dengan dua terdakwa pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Irwan melaporkan hakim ketua Wahyu Iman Santoso lantaran adanya dugaan pelanggaran kode etik.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved