Wisata Jakarta

Wisata Jakarta, Museum Joang 45 Jadi Saksi Perjuangan ‘Founding Father’ Indonesia

Wisata Jakarta di Museum Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat menjadi saksi sejarah perjuangan founding father Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan.

Warta Kota/Leonardus Wical Zelena Arga
Wisata Jakarta di Museum Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat menjadi saksi sejarah perjuangan founding father Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan. 

Muslim lanjut menceritakan pada saat Jepang datang pada tahun 1942, Hotel Schomper diambil alih oleh Jepang. Tidak hanya itu, seluruh aset-aset Belanda mulai dari perumahan, perkantoran, hotel, semuanya diambil Jepang.

Karena pada saat itu Jepang sedang menghadapi peperangan Asia Timur Raya, maka Hotel Schomper diberikan kepada para pemuda Indonesia untuk dididik politik.

“Jadi pemuda-pemuda ini pada saat itu memang dipersiapkan oleh mereka untuk membantu mereka, untuk menyokong mereka, untuk dijadikan kader-kader mereka supaya memenangkan peperangan Asia Timur Raya,” ujar Muslim.

Pada tahun 1942, nama Hotel Schomper berubah menjadi Asrama Angkatan Baru Indonesia. Muslim menceritakan Asrama Angkatan Baru Indonesia jadi tempat pendidikan politik para pemuda Indonesia sebelum kemerdekaan.

Bahkan dari perguruan-perguruan tinggi yang ada di Jakarta, mereka (para pemuda Indonesia) ingin sekali belajar di Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Baca juga: Ahmad Riza Patria Ingin Peristiwa Akses Jalan Ditembok Tetangga di Pulogadung Tidak Terulang Kembali

“Saking banyaknya dan tingginya antusias yang ingin belajar di sini, sampai-sampai gedung ini memang tidak mampu menampung pemuda-pemuda. Dan juga waktunya tidak kebagian,” ujar Muslim.

Kemudian akhirnya cara mengajarkannya dibagi menjadi tiga kelompok yang berbeda. Muslim mengatakan ada kelompok A, kelompok B, dan kelompok C.

Kelompok A adalah kelompok yang pertama. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam kelompok A, belajar dan tinggal di Asrama Angkatan Baru Indonesia. Bahkan untuk makan juga di asrama tersebut.

Seluruh anggaran pada saat itu dibiayai oleh Jepang. Untuk kelompok B, mereka belajar seluruh mata pelajaran di Asrama Angkatan Baru Indonesia. Namun, mereka tinggalnya di luar.

“Berikutnya kelompok C. Karena keterbatasan waktu dan tempat, makanya mereka hanya sebagian mata pelajaran yang mereka ikuti, dan mereka tinggalnya di luar dari gedung ini, karena memang keterbatasan waktu dan tempat,” ujar Muslim.

Baca juga: Menyambut HUT ke-77 RI, Anies Baswedan Bagikan Bansos pada Lansia dan Penyandang Disabilitas

Menurut Muslim, memang pada saat itu banyak sekali para pemuda Indonesia yang mau belajar di Asrama Angkatan Baru Indonesia.

Lebih lanjut Muslim menjelaskan, untuk guru-gurunya sendiri ada 11 orang. Delapan orang dari Indonesia, dan tiga lainnya merupakan orang Jepang.

Delapan orang Indonesia yang menjadi guru di asrama adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Sunario, Muhammad Yamin, Amir Sjarifuddin, M Zain, Jambek, dan Ahmad Subardjo. Sedangkan tiga orang guru dari Jepang antara lain Bakki, Makatani, dan Hitoshi Shimizu.

“Kepada para pemuda Indonesia, mereka mengajarkan hal-hal tentang politik, ekonomi, tata negara, hukum, sosiologi, bahasa, agama, dan sejarah,” ujar Muslim.

Walaupun tujuan awalnya adalah pendidikan politik untuk menyiapkan kader-kader supaya memenangkan peperangan Asia Timur Raya, ternyata tujuan tersebut dibelokkan oleh para pengajar dari Indonesia.

Sumber: Warta Kota
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved