Berita Nasional
Ketua APPKSI Ungkap Dampak Buruk Kebijakan Pungutan Ekspor CPO Terhadap Petani Sawit
Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Muhamadyah ungkap dampak buruk kebijakan pungutan ekspor CPO.
WARTAKOTALIVE.COM - Kebijakan pungutan ekspor (Levy) minyak sawit, dapat merugikan industri perkebunan sawit.
Bahkan, pungutan ekspor CPO turut berdampak buruk pada ekonomi Indonesia, secara keseluruhan.
Mengenai dampak buruk kebijakan pungutan ekspor CPO ini diungkap Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Muhamadyah.
Dikatakan Muhamadya, kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan secara tak langsung (specific-levy) akan menaikkan harga CPO dunia.
Baca juga: Kenapa Pemerintah Didesak Menghapus Pungutan Ekspor CPO Capai 55 Persen dari Harga Ekspor CPO?
Baca juga: Larangan Ekspor CPO Dicabut, Harga Sawit Anjlok, APPKSI Minta Pemerintah Perhatikan Nasib Petani
Baca juga: Ekspor CPO Dibuka Lagi, Pemerintah Bakal Cabut Subsidi Minyak Goreng Curah pada 31 Mei 2022
Namun menurunkan harga CPO/TBS domestik.
Sehingga, menciptakan disparitas harga CPO dunia dengan harga CPO domestik.
Kebijakan yang demikian akan merugikan produsen CPO/TBS domestik
Termasuk juga petani sawit yang ada pada 190 kabupaten di Indonesia.
"Industri biodisel domestik diperkirakan menikmati manfaat ganda yakni makin murahnya harga bahan baku (CPO) dan
subsidi dari pungutan ekspor."
"Namun secara keseluruhan Indonesia dirugikan," kata Muhamadyah, pada Senin (11/7/2022) dalam keterangan tertulisnya.
Sementara itu, negara eksportir minyak sawit dunia, selain Indonesia akan menikmati manfaatnya.
Bahkan termasuk perusahaan Indonesia yang bergerak pada industri minyak sawit di negara lain.
Berbeda kebijakan pungutan ekspor yang dilakukan dengan cara langsung (lump-sum levy) dan penggunaan dana pungutan untuk subsidi bunga kredit industri minyak sawit.
Hal itu merupakan kebijakan terbaik, dan menguntungkan semua pelaku industri minyak sawit termasuk pemerintah.
Selain itu, kata dia harga CPO domestik akan tertekan akibat pungutan ekspor.
Hal itu akan makin tertekan jika harga CPO dunia melewati USD 750 dimana tarif BK mulai berlaku.
"Tekanan terhadap harga CPO/TBS domestik yang demikian tampaknya sulit diimbangi oleh peningkatan penyerapan CPO di dalam negeri"
"karena tambahan penyerapan CPO didalam negeri tidak terlalu besar dibandingkan dengan produksi CPO dalam negeri," ujarnya.
Apalagi dengan diberlakukan pungutan ekspor Secara nyata industri hilir telebih industri biodiesel masih tetap menikmati tambahan manfaat (better-off) dari sebelumnya.
Sementara produsen CPO/TBS harus menderita (worse-off) akibat kebijakan itu.
Mengacu pengalaman Indonesia tahun-tahun sebelumnya, nilai penurunan manfaat yang diderita produsen CPO/TBS lebih besar dari tambahan manfaat yang dinikmati industri hilir biodiesel dan konsumen.
Sehingga secara keseluruhan Indonesia dirugikan (worse-off).
Kemudian, pihak lain yang menikmati kebijakan pungutan ekspor minyak sawit Indonesia adalah negara eksportir minyak sawit selain Indonesia.
Seperti Malaysia, Thailand, negara-negara Afrika termasuk perusahaan Indonesia (jika ada) yang berada di luar Indonesia.
Kenaikan harga CPO dunia akibat pungutan ekspor Indonesia membuat negara-negara itu menikmati harga CPO dunia yang lebih tinggi.
Menurut dia, dengan mempertahankan pungutan ekspor CPO maka pemerintah secara tidak langsung mematikan industri sawit petani sawit.
"Akhirnya akan menciptakan krisis ekonomi jika petani sawit dan industri perkebunan sawit terus merugi."
"Sehingga berdampak pada kredit macet pada perbankan nasional," kata Muhamadyah.
Pemerintah sedang berupaya membuka kembali ekspor CPO dan produk turunannya.
Hal itu dilakukan seiring terpenuhinya kebutuhan minyak goreng dalam negeri. L
Namun permasalahan yang belum usai sampai hari ini adalah pemberlakuan Pungutan Ekspor (Levy)
Kini, harga rata-rata CPO di USD 1.615 perton.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.103 /PMK.05/2022 akan dikenakan Levy sebesar USD 200 dan Bea Keluar sebesar USD 280.
Bahkan, pengenaan Pungutan Levy tersebut lebih dari 90 persen digunakan untuk subsidi program biodiesel.
HIP BBM per bulan Juli 2022 sebesar Rp 15.118 per liter.
Sedangkan HIP BBN sebesar Rp 11.070 per liter.
Artinya kini harga BBM lebih tinggi dari BBN, tidak diperlukan subsidi.
"Pungutan Levy memberatkan dan menekan harga CPO dan TBS, perlu dihapus agar tidak memberatkan Petani," tambah Muhamadyah.
Sebab menurut data pada 5 Juli 2022, harga itu turun jadi Rp 898 di petani swadaya, dan Rp 1.236 di petani bermitra atau plasma.
Harga kembali turun pada 6 Juli 2022 jadi Rp 811 di petani swadaya dan Rp 1.200 di petani mitra/plasma.
Menurut APPKSI tidak ada satu pun pabrik kelapa sawit (PKS) mematuhi harga penetapan TBS oleh Dinas Perkebunan.
Dimana harga TBS sebelum larangan ekspor mencapai Rp 4.250 per kg.
Sementara itu tanggapan lainnya datang dari Peneliti Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng.
Ia menilai pungutan ekspor CPO berdampak bagi petani sawit dan merugikan.
Menurutnya, pemerintah seharusnya membantu petani sawit, dan bukan membuat petani sawit menderita akibat kebijakan tersebut.
"Harusnya pemerintah membuat aturan atau kebijakan yang menguntungkan petani sawit bukan malah merugikan para petani sawit," ucapnya.
Selain itu, harus jelas untung dari kebijakan itu bagi para petani sawit, dan pemerintah tidak hanya cari untung saja.
Direktur Executive Indonesia Development Ir Widodo Tri Sektianto akui kebijakan pungutan ekspor CPO itu, justru mempengaruhi Product Domestic Bruto menurun di sektor industri sawit.
Pasalnya, jatuhnya harga TBS petani diakibatkan pungutan Levy tersebut.
Apalagi, kata dia, pungutan Levy CPO tersebut hanya dinikmati segelintir industri hilir dari sawit.
Yaitu industri Biodiesel yang menikmati subsidi dari 96 persen pungutan Levy CPO.
"Karena itu pungutan Levy harus dihapuskan dengan demikian ekspor CPO akan jadi andalan pendapatan devisa negara"
"dan memberikan dampak kenaikan harga TBS petani," kata Widodo Tri.
(Wartakotalive.com/CC)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/replanting-pohon-kelapa-sawit.jpg)