Wawancara Eksklusif
Kisah Rama Pratama Soal Reformasi 1998, Bantu dan Berseteru dengan Fahri Hamzah, ke Dunia Teknokrat
Rama Pratama bercerita soal Reformasi 1998, berseteru dengan Fahri Hamzah dan terjun ke dunia teknokrat.
Penulis: Hironimus Rama | Editor: Dodi Hasanuddin
Setelah itu kita menduduki gedung DPR/MPR dan memaksa Soeharto turun. Ya itulah romantisme masa lalu yang kemudian membentuk karakter aktivisme dan politik saya selanjutnya.
Warta Kota: Saat ini sebagian orang tua ingin anaknya cepat-cepat lulus kuliah. Padahal bagi para aktivis, makin lama di kampus makin bagus. Apa pesan moral yang Mas Rama ingin sampaikan bahwa aktivis itu ada gunanya di masa depan?
Rama: Begini mas, ini harus diletakkan dalam konteks ya. Saya memahami konstelasi yang Bang Domu sampaikan tadi karena kita juga menjadi orang tua. Anak saya juga mahasiswa. Kemarin demo KPK, anak saya izin ikut. Bayangkan, coba. Saya jadi gimana gitu. Mau kita tolak, gengsi karena dia juga tahu bapaknya dulu aktivis. Tetapi khawatir ada juga lho.
Kedua, konteksnya tantangan yang berubah dahsyat dengan era teknologi, digital dan lain sebagainya. Tantangannya tentu jauh berbeda. Apakah lebih sulit atau tidak, itu relatif. Bisa jadi sama sulitnya, tetapi jauh berbeda. Ini kan membutuhkan respons yang juga berbeda.
Saya bisa memahami kalau orang tua ingin anaknya cepat selesai kuliah. Orang tua seperti itu sebenarnya ada sejak dulu. Orang tua kita kan pasti sedih juga kalau kita tidak lulus-lulus. Apalagi biaya kuliah sekarang kan mahal. Jadi pasti mereka ingin investasi yang dikeluarkan cepat balik dengan segera masuk dunia kerja.
Dunia kampus kan sebenarnya laboratorium saja. Itu bukan dunia sesungguhnya. Justru tantangan seorang aktivis adalah apa kontribusinya paska kampus.
Karena itulah dunia kehidupan sesungguhnya, apakah dia terseret gelombang rutinitas atau masih membawa idealisme kemahasiswaan. Tetapi yang jelas mahasiswa itu bukan status seumur hidup, dia harus lulus.
Menurut saya, karakter aktivis zaman dulu juga tidak bisa disamakan dengan aktivis zaman sekarang. Aktivis zaman sekarang memiliki tantangan dan ekosistem berbeda sehingga saya tidak bisa membandingkan dengan zaman saya dulu. Misalnya, dengan romantisme dan arogan saya katakan, ah aktivis zaman sekarang cemen. Tidak bisa juga karena tantangan mereka berbeda.
Jadi tantangannya adalah relevansi, bagaimana dia tetap relevan dalam konteks seperti ini. Pada akhirnya yang bisa menjawab ya mereka. Saya sendiri tidak memahami dunia mereka.
Saya sendiri bilang ke anak saya: Nak, kamu tahu tantangan kamu sekarang, dunia kamu seperti apa. Silahkan sikapi yang terbaik menurut kamu karena ayah gak ngerti situasinya untuk merespons itu. Tetapi satu yang pasti adalah yang dibutuhkan di setiap tempat, zaman dan situasi adalah karakter. Itu saja yang bisa kita pagari.
Warta Kota: Jadi setiap orang punya zamannya dan setiap zaman punya orangnya?
Rama: Betul, tetapi yang tidak berubah adalah karakter. Karakter seorang pemimpin, bertanggung jawab dan punya kepedulian sosial. Karakter ini penting ketika dia ingin berkontribusi lebih bagi masyarakat, bukan hanya dirinya sendiri.
Warta Kota: Mas Rama, kita lompat sedikit. Setelah dari aktivis kampus, Anda bergabung dengan partai politik PKS yang ikut dalam pemerintahan selama 2 periode kepemimpinan Presiden SBY. Setelah itu, PKS jadi oposisi dan Anda keluar dari partai dan bergabung dengan pemerintahan di Telkomsat. Bagaimana ceritanya?
Rama: Ya, itulah dinamika politik. Bagi saya politik itu pertemanan. Saya tidak pernah punya sentimen personal dengan siapapun. Mungkin ini juga ditempa dalam pengalaman aktivis saya. Nothing personal dalam politik. Semua pada akhirnya berteman.
Kita perlu meneladani para pendiri bangsa yang memiliki latar belakang perbedaan ideologi yang tajam. Tetapi pada saat tertentu mereka menanyakan kabar keluarga, bagaimana orang tuanya, sudah sembuh sakit apa belum. Ini menurut saya human sekali.