Wawancara Eksklusif
Kisah Rama Pratama Soal Reformasi 1998, Bantu dan Berseteru dengan Fahri Hamzah, ke Dunia Teknokrat
Rama Pratama bercerita soal Reformasi 1998, berseteru dengan Fahri Hamzah dan terjun ke dunia teknokrat.
Penulis: Hironimus Rama | Editor: Dodi Hasanuddin
WARTAKOTALIVE.COM, BOGOR -Wawancara Rama Pratama, Komisaris Telkomsat: Kisah Rama Pratama soal reformasi 1998, bantu dan berseteru dengan Fahri Hamzah serta terjun ke dunia teknokrat
Bagi Anda yang memperhatikan dunia pergerakan mahasiswa pada dekade 1990-an, sosok Rama Pratama tentu tak asing.
Dia merupakan salah satu pentolan dari gerakan mahasiswa pada 1998 yang menumbangkan rezim Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Suharto.
Pada 1997-1998, Rama menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Universitas Indonesia.
Saat terjadi pergolakan mahasiswa pada 1998, dia termasuk pentolan dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabodetabek yang melakukan demonstrasi menuntut Presiden Suharto turun.
Baca juga: Tak Sungkan, Rama Pratama Ucapkan Selamat Kepada Pradi - Afifah Sebagai Balon Wali Kota Depok
Setelah tamat dari Universitas Indonesia, Rama sempat bergabung dengan Partai Keadilan Sejahtera dan menjadi anggota legislatif.
Namun beberapa tahun terakhir dia mundur dari panggung politik dan beralih menjadi teknokrat.
Apa yang mendorong Rama berbalik arah dari dunia politik ke dunia profesional ini.
Berikut wawancara Pemimpin Redaksi Warta Kota dan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domu Ambarita dengan Rama Pratama.
Warta Kota: Mas Rama bisa cerita sedikit apa yang menarik ketika meniti karir sebagai aktivis mahasiswa tahun 1998?
Rama: Waduh, ceritanya harus recollecting memori lagi nih. Saya pikir sudah banyak yang lupa, eh diingatin lagi sama Bang Domu.
Saya ingat dulu sejak SMA suka berorganisasi. Waktu masuk kampus, saya terlibat dalam banyak organisasi. Selain di senat mahasiswa, saya juga aktif di kelompok studi mahasiswa yang bergerak di bidang penelitian dan keilmuan.
Pengalaman-pengalaman berorgnisasi itu yang mengasah aktivisme saya dalam konteks sosial, politik dan kemasyarakatan.
Dalam organisasi-organisasi itu, diskusi kita tidak terbatas di lingkup bidang keilmuan fakultas kita, saya misalnya di Fakultas Ekonomi. Kalau sudah di senat dan kelompok studi, kita bisa bicara apa saja, kecil atau besar, dalam konteks kebangsaan, bukan hanya soal kampus.

Enaknya itu dulu di kampus ada mimbar bebas. Jadi kita bisa membahas topik apa saja dan mengundang siapa saja ke kampus. Pada masa itu, ada repsesi sedikit-dikit saat kita mengundang tokoh kontroversial. Tetapi kegiatan tetap terlaksana karena rektor dan pejabat kampus menghormati itu, dalam konteks status kita sebagai mahasiswa dan aktivisme kita.