JKP Dinilai Hanya Gula-gula Pemerintah Agar Permenaker 2/2022 Soal Pencairan JHT Direstui Publik

Kebijakan mengenai JKP, kata Jumisih, hanya menguntungkan kepentingan para pengusaha.

Tribunnews.com
Di tengah gelombang protes atas Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, pemerintah meluncurkan program baru bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Di tengah gelombang protes atas Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, pemerintah meluncurkan program baru bernama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

JKP diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), berupa manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, hingga pelatihan kerja.

Hal tersebut tertera pada Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

Baca juga: Anggota KPU-Bawaslu 2022-2027 Dinilai Cukup Representatif karena Punya Keahlian Khusus

Ketua Bidang Politik Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) Jumisih menilai kehadiran JKP hanya sebagai pemanis, agar publik menyetujui aturan JHT diambil pada umur 56 tahun.

"JKP itu bagi saya adalah gula-gula untuk merestui keberadaan Permenaker 2 Tahun 2022," ujar Jumisih dalam Diskusi Online: Unboxing Kebijakan JHT Indonesia, Jumat (18/2/2022).

Menurut Jumisih, kehadiran JKP seolah-olah dapat mengganti manfaat yang diberikan oleh JHT.

Baca juga: KPK Pastikan Penyidikan Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101 Berlanjut

Padahal, menurutnya, JKP hanya diperuntukkan bagi pekerja yang di-PHK.

Sedangkan pekerja yang habis kontrak, mengundurkan diri, hingga pekerja alih daya alias outsourcing, tidak bisa mendapatkan JKP.

"Kenapa? JKP itu hanya diperuntukkan bagi yang ter- PHK dalam aturannya."

Baca juga: Aturan Baru JHT Ditolak, Pemerintah Diminta Perbaiki Komunikasi, Jangan Sampai Publik Tak Percaya

"Bagaimana dengan buruh yang dia mengundurkan diri?"

"Bagaimana dengan buruh yang habis kontrak?"

"Mereka yang putus hubungan kerja karena habis kontrak tidak dicover oleh JKP, tapi dari mana kemudian mereka bisa bertahan hidup? Tentu saja dari JHT, tapi JHT tidak boleh diambil. Ini berisiko sekali," papar Jumisih.

Baca juga: Aturan Baru Pencairan JHT Diprotes Buruh, Puan Maharani: Jangan Sampai Ada yang Dirugikan

Padahal selama ini, menurut Jumisih, buruh di Indonesia hubungan kerjanya dibuat tidak pasti, dengan menjadi buruh kontrak dan outsourcing.

Kebijakan mengenai JKP, kata Jumisih, hanya menguntungkan kepentingan para pengusaha.

"Bagaimana masyarakat Indonesia bisa hidup dengan layak, karena kehidupan pekerjaan dan penghidupan yang layak itu dijamin oleh konstitusi, tapi kenapa kita sebagai buruh tidak boleh? Bahkan untuk bertahan hidup saja dipersulit begitu," tutur Jumisih.

Baca juga: Sempat Lampaui Puncak Gelombang Kedua, Kasus Covid-19 di Jakarta, Banten, dan Bali Mulai Menurun

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved