Pilpres 2024
Gugat ke MK, Ini Lima Kerugian Partai Ummat Akibat Presidential Threshold 20 Persen
Dalam permohonan tersebut, Partai Ummat diwakili oleh Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A Muhajir.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Partai Ummat mengajukan permohonan pengujian pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, terkait ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold 20 persen, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonan tersebut, Partai Ummat diwakili oleh Ketua Umum Ridho Rahmadi dan Sekretaris Jenderal A Muhajir.
Refly Harun, kuasa hukum Partai Ummat menjelaskan, kliennya sebagai partai politik baru merasa hak konstitusionalnya dirugikan terkait ketentuan ambang batas tersebut.
Baca juga: Golkar Siap Berkoalisi dengan Parpol Apa Pun Asal Airlangga Hartarto Jadi Capres
Paling tidak, kata Refly, ada lima kerugian yang dicantumkan dalam permohonan.
Pertama, kata dia, tidak dapat memilih kandidat yang lebih banyak dan lebih selektif, karena ketentuan 20 persen tersebut hanya memungkinkan empat kandidat saja secara teoritis.
Kedua, tidak dapat mengusulkan calon presiden dan atau calon wakil presiden pada pemilihan mendatang.
Baca juga: Dugaan Pelanggaran HAM Berat di Paniai, Kejaksaan Agung Periksa Enam Polisi
"Karena notabene Partai Ummat adalah partai baru yang belum ikut kontestasi Pilpres 2019, sehingga tidak punya baik kursi maupun suara," urai Refly dalam sidang secara daring yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Rabu (9/2/2022).
Ketiga, lanjut dia, terkait pinsip keadilan, Partai Ummat tidak mendapatkan keadilan dan persamaan dalam pemilihan.
"Karena kita tahu bahwa prinsip pemilihan umum adalah jujur dan adil."
Baca juga: Diminta Pulang oleh Jokowi, Segini Estimasi Gaji Ainun Najib di Singapura
"Jadi kesempatan yang adil itu yang tidak kami dapatkan sebagai pemohon," tuturnya.
Keempat, lanjut Refly, Partai Ummat terhambat merealisasikan manifesto politik sebagai sebuah partai.
Ia melanjutkan, salah satu peran partai adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen kepemimpinan nasional.
Baca juga: Jokowi Siap Bikin Aturan Baru Agar Industri Pers Indonesia Tak Terus Digerus Platform Raksasa Asing
Peran tersebut, kata Refly, terhambat oleh ketentuan PT 20 persen, karena dengan batas tersebut Partai Ummat tidak memiliki kesempatan mencalonkan presiden maupun wakil presiden.
"Sehingga kerja-kerja partai politik dalam melakukan rekrutmen kepemimpinan nasional itu tidak bisa dilakukan."
"Karena kalaupun dilakukan, toh akhirnya tidak bisa disalurkan melalui Partai Ummat," ucap Refly.
Baca juga: Kasus Covid-19 di Jakarta, Banten, dan Bali Lampaui Puncak Delta, tapi Pasien yang Dirawat Sedikit
Kelima, lanjut Refly, secara sosiologis pasal 222 menimbulkan polarisasi dalam masyarakat, bahkan bipolarisasi.
Padahal, kata dia, partai politik tugasnya bukan untuk disintegrasi atau memunculkan perpecahan, melainkan justru untuk persatuan demi mewujudkan tujuan nasional.
"Lima kerugian ini kami konstruksikan, baik dia bersifat faktual maupun potensial, atau menurut penalaran yang wajar akan terjadi pada Pilpres 2024," jelas Refly.
Baca juga: Budi Gunadi Minta Rumah Sakit Nasional di Bawah Kemenkes Jadi yang Terbaik di Asia Tenggara
Kuasa hukum pemohon juga menyampaikan 10 poin pokok permohonan.
Kuasa hukum pemohon, Muhammad Raziv Barokah, membacakan satu di antara poin pokok permohonan tersebut adalah pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu bukan open pegal policy, dan bertentangan dengan pasal 6 ayat 2 serta pasal 6a ayat 5 UUD 1945.
Mengutip pertimbangan hukum putusan nomor 51, 52, 59 2008 dan putusan MK nomor 53 tahun 2017, Mahkamah menyatakan pemberlakuan PT 20 persen tersebut merupakan delegasi dari pasal 6a ayat 5.
Baca juga: ICW Desak Dewas KPK Periksa dan Tidak Lindungi Lili Pintauli Siregar Atas Dugaan Bohongi Publik
Sementara dalam pandangan pihaknya, pasal 6a ayat 5 adalah delegasi yang mengamanahkan diaturnya hal-hal yang terkait dengan teknis.
Sedangkan threshold 20 persen bukanlah berbicara mengenai teknis, namun hal yang sangat signifikan dan justru menghambat pelaksanaan demokrasi yang fair dan kompetitif.
Sementara mengenai pengusungan, kata Raziv, seharusnya sudah diatur limitatif dalam pasal 6 ayat 2, sehingga keberadaan pasal 222 UU Pemilu ini bukan merupakan open legal policy, melainkan closed legal policy.
Baca juga: Angka Kematian Pasien Covid-19 Belum Separah Gelombang Satu dan Dua, Satgas: Nyawa Tetap Berharga
"Sehingga seharusnya pasal 222 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," cetusnya.
Raziv juga membacakan petitum permohonan berdasarkan 10 poin argumentasi yang telah ia sampaikan dalam pokok permohonan.
Pertama, mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
Baca juga: BOR Rumah Sakit di Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Bali Sudah di Atas Rata-rata Nasional
Kedua, menyatakan pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Ketiga, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara republik Indonesia, atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya, ex aequo et bono," beber Raziv. (Gita Irawan)