Pemilu 2024
Pengamat Dukung Masa Kampanye Empat Bulan saat Pemilu 2024, Ideal untuk Mengenalkan Caleg Baru
Masa kampanya empat bulan saat Pemilu 2024 memicu perdebatan di kalangan pengamat dan politisi. Yang pasti modal politik harus kuat.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Usulan KPU soal masa kampanye Pemilu 2024 selama 120 hari atau empat bulan, menimbulkan pro kontra.
Kalangan politisi yang kini duduk di kursi dewan umumnya menolak, karena biaya kampanye menjadi besar.
Sementara kalangan pengamat justru mendukung, bahkan ada yang menyatakan masa kampanye minimal enam bulan, demi mempromosikan caleg atau parpol baru.
Baca juga: Persija Vs Arema FC: Macan Kemayoran Krisis Tanpa Konate dan Andritany
Usulan ini tertuang dalam draf Peraturan KPU tentang Tahapan Pemilu.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti menilai memperpendek masa kampanye bisa memunculkan masalah, serta kurang adil khususnya bagi pemain baru, baik itu partai politik maupun calon legislatif baru.
"Pemendekkan jadwal pemilu menurut saya agak bermasalah, kurang adil, khususnya pada mereka sebagai pemain baru, baik parpol baru maupun calon anggota legislatif baru, atau bahkan calon presiden dan wakil presiden," kata Ray dalam diskusi daring 'Masa Kampanye 2024 Dipendekkan: Siapa Untung Siapa Rugi?', Jumat (4/2/2022).
Ia menegaskan bahwa tahapan kampanye adalah sesuatu yang prinsipil dalam pelaksanaan pemilu.
Sebab pada tahapan tersebut, parpol dan caleg berlomba mengenalkan diri serta visi misi mereka kepada masyarakat.
Sementara di sisi lain, masa kampanye juga memberikan pembelajaran bagi masyarakat untuk mengetahui siapa kandidat wakil rakyat yang ia pilih. Rakyat bisa mengenal caleg lewat penyampaian visi misinya.
Baca juga: Banyak Pemain Terpapar Covid-19, IBL Siapkan Opsi Sistem Bubble Terpusat
Menurut Ray, memperpendek jadwal kampanye lebih menguntungkan parpol dan caleg lama karena sudah terbentuk keterkenalan di masyarakat.
Sedangkan caleg baru masih harus merintis keterkenalan tersebut usai KPU menetapkan daftar calon tetap (DCT) peserta pemilu.
"Kesempatan yang sama itu sebetulnya penting, bahwa partai politik dan caleg lama tidak masalah soal keterkenalan, meski belum tentu elektabilitasnya menunjang. Tapi keterkenalan merupakan syarat utama dan pertama untuk mendapatkan elektabilitas," ungkap Ray.
"Bagi mereka yang baru ditetapkan sebagai calon peserta pemilu, tentu bermasalah kalau mereka hanya diberi waktu 70 hari, 90 hari bahkan kalau cuma 120 hari," sambungnya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai, masa kampanye Pemilu 2024 selama 120 hari atau empat bulan seperti yang diusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), terbilang sangat singkat.
Baca juga: Prilly Latuconsina Ungkap Akuisisi Persikota Tangerang, Berikut Alasannya
Menurutnya, dengan rentang waktu itu, publik tak akan maksimal mengenal atau bahkan mengetahui, serta memahami visi misi dari para kandidat yang bertarung di Pemilu 2024.
Ia pun khawatir masa kampanye yang hanya 120 hari, akan menjadi praktik transaksional.
"Khawatir yang terjadi hanya politik transaksional, karena pemilih tidak dapat jualan gagasan yang lama," kata Adi Prayitno.
Ia mengatakan, perlu waktu yang lebih lama untuk publik memahami gagasan serta visi misi calon kandidatnya.
Sehingga, ia pun mengusulkan agar masa kampanye bisa dibuat lebih lama.
"Waktu kampanye minimal enam bulan. Relatif ideal," usulnya.
Baca juga: Dorong Konsolidasi Tata Kelola Sistem Komunikasi Kabel Laut, Menkominfo: untuk Bangsa dan Rakyat
Sebelumnya, KPU mempertimbangkan usulan sejumlah anggota Komisi II DPR agar masa kampanye Pemilu 2024 diperpendek.
"Terkait dengan usulan untuk memperpendek masa kampanye Pemilu 2024, sebagaimana usulan beberapa anggota Komisi II DPR RI dalam RDP yang lalu."
"KPU tentu akan mempertimbangkan dengan saksama," kata Komisioner KPU Pramono Ubaid kepada wartawan, Kamis (27/1/2022).
Pramono menjelaskan, berdasarkan regulasi, masa kampanye tidak diatur harus dilakukan berapa lama.
Namun, tahapan tersebut sudah harus dimulai tiga hari sejak penetapan calon, dan berakhir tiga hari sebelum hari pemungutan suara.
Tapi, kata Pramono, yang perlu jadi pertimbangan adalah masa kampanye pemilu juga berkaitan dengan dua tahapan lain.
Yakni, sengketa tata usaha negara (TUN), serta proses lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu.

Masa 120 hari kampanye yang tertuang dalam draf Peraturan KPU tentang Tahapan Pemilu dinilai sudah cukup padat.
"Rancangan 120 hari dalam draf PKPU Tahapan itu sudah mengharuskan pemadatan proses penyelesaian sengketa serta lelang, produksi, dan distribusi logistik pemilu," terang Pramono.
Terlebih, dari simulasi yang dilakukan KPU, waktu yang dibutuhkan untuk sengketa dan logistik minimal 164 hari.
Sengketa membutuhkan 38 hari, dan logistik butuh 126 hari.
Dengan kata lain, jika ada peserta pemilu atau caleg yang mengajukan sengketa pencalonan ke Bawaslu dan PTUN, maka sengketa tersebut baru bisa diajukan setelah penetapan daftar calon tetap (DCT).
"Soal sengketa, kewenangannya berada di Bawaslu dan lingkungan peradilan TUN," jelasnya.
Sementara, pada proses persiapan logistik seperti surat suara, baru bisa diproduksi setelah penetapan DCT dan sengketa TUN selesai.
Hal ini karena surat suara memuat nama, tanda gambar/foto, dan nomor urut peserta pemilu dan caleg-calegnya yang sudah ditetapkan.
Mengenai lelang, diatur dalam Perpres pengadaan barang dan jasa yang prosedurnya harus dipatuhi agar tidak terjadi inefisiensi atau korupsi.
Selain itu, distribusi logistik bukan hanya ke seluruh wilayah Indonesia, tapi ke seluruh TPS di 130 perwakilan RI di luar negeri.