Hari Pahlawan
300 Nakes yang Gugur dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Jasa
Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan 2021
Aji Muhammad Idris adalah sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Ia dianggap anti kolonialisme dan anti pola perdagangan monopoli seperti yang dilakukan VOC.
Dikutip dari laman kesultanan.kutaikartanegara.com, Aji Muhammad Idris menjadi sultan pertama yang menggunakan nama Islam di kerajaan tersebut.
Ia merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng.
Ia berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan untuk bertempur bersama rakyat Bugis melawan VOC, dan gugur di medan perang pada 1739.
3. Usmar Ismail
Dikutip dari laman badanbahasa.kemdikbud.go.id, Usmar Ismail dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia dan Bapak Film Indonesia.
Debutnya yang semula di panggung teater, belakangan memang lebih banyak di dunia perfilman.
Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921.
Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah.
Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.
Usmar Ismail bersekolah di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta.
Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.
Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang).
Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Pada 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta HB Jassin, mendirikan kelompok sandiwara bernama Maya.
Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat, yang dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.
Sandiwara yang dipentaskan Maya antara lain Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail).
Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta.
Bersama dua rekannya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat.
Setelah hijrah ke Yogyakarta, Usmar juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena di sana.
Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda, karena dituduh terlibat kegiatan subversi.
Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta, pada tahun 1948.
Sewaktu masih di Yogya, Usmar hampir setiap minggu bersama teman-temannya berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film.
Teman berdiskusinya itu antara lain Anjar asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Anjar Asmara itulah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film Gadis Desa.
Setelah itu, berlanjut pada penggarapan film berikutnya, seperti Harta Karun, dan Citra.
Untuk mengenang jasa Usmar, namanya diabadikan menjadi nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 karena sakit stroke, dalam usia hampir genap 50 tahun.
Dikutip dari laman bantenprov.go.id, Raden Aria adalah penyebar agama Islam, keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarief Abdulrohman.
Karena tidak sepaham dengan keluarga, Raden Aira akhirnya merantau ke Tangerang melalui Sungai Cisadane pada 1640, dan akhirnya menetap dan membangun pesantren di Kawasan Grendeng, Karawaci.
Penjajah tidak setuju dengan keberadaan pesantren yang dibangun Raden Aria, dan tindakan tersebut dianggap membangkang dan melawan Belanda.
Dalam pertempuran melawan penjajah, Raden Aria gugur dan dimakamkan di Desa Lengkong Kiai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, pada 1662.
Beberapa literatur menyebut Aria pernah menjadi salah satu penasihat Kerajaan Mataram.
Raden Aria menikah dengan Nyi Mas Nurmala, anak Bupati Karawang, Jawa Barat Singaperbangsa.
Raden Aria memiliki dua saudara, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara.
Pemkab Tangerang menjadikan Makam Raden Aria sebagai kawasan cagar budaya. (Taufik Ismail)