Hari Pahlawan
300 Nakes yang Gugur dalam Penanganan Pandemi Covid-19 Dianugerahi Tanda Kehormatan Bintang Jasa
Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan 2021
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan Tanda Kehormatan Bintang Jasa kepada para tenaga kesehatan (nakes) yang gugur dalam penanganan pandemi Covid-19.
Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan 2021 yang berlangsung di Istana Negara, Rabu (10/11/2021).
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 110/TK/TH 2021 yang ditetapkan pada 25 Oktober 2021, sebanyak 300 nakes yang telah berpulang mendapatkan Tanda Kehormatan Bintang Jasa.
Terdiri dari 233 penerima Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama, serta 77 penerima Tanda Kehormatan Bintang Jasa Nararya.
Penerima Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Pratama diwakilkan atas nama:
- Almarhum dr I Ketut Surya Negara SPOG (K)-KFM MARS, yang merupakan dokter RSUP Sanglah Denpasar, Bali.
- Almarhumah Sucilia Indah AMK, perawat pada RSUP Dokter Sitanala Tangerang, Banten.
Penerima Pemberian Tanda Kehormatan Bintang Jasa Nararya diwakilkan atas nama Almarhumah Emialiona Lasia Carolin, Bidan pada Puskesmas Kecamatan Pesanggrahan, DKI Jakarta.
Penerimaan Tanda Kehormatan Bintang Jasa Tersebut diwakilkan oleh ahli waris.
Empat Pahlawan Nasional Baru
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada empat tokoh di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/11/2021).
Penganugerahan tersebut merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Pahlawan Tahun 2021.
Empat tokoh memperoleh penganugerahan tersebut, atas jasa mereka dalam perjuangan di berbagai bidang untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Baca juga: PROFIL 4 Tokoh Calon Pahlawan Nasional, Ada Bapak Film Indonesia Hingga Pendiri Tangerang
Keempat tokoh yang telah meninggal dunia itu berasal dari daerah yang berbeda.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 109/TK/Tahun 2021 yang ditetapkan pada 25 Oktober 2021, Presiden menetapkan para tokoh tersebut sebagai Pahlawan Nasional, yakni:
- Almarhum Tombolotutu Tokoh dari Sulawesi Tengah;
- Almarhum Sultan Aji Muhammad Idris Tokoh dari Kalimantan Timur;
- Almarhum Haji Usmar Ismail Tokoh dari DKI Jakarta; dan
- Almarhum Raden Aria Wangsakara, tokoh dari Banten.
Acara penganugerahan tersebut dihadiri oleh para ahli waris dari para tokoh pahlawan, dengan tetap memperhatikan dan menerapkan protokol kesehatan secara ketat.
Usai acara penganugerahan presiden, Wapres dan para pejabat yang hadir mengucapkan selamat kepada ahli waris.
Profil 4 Tokoh Pahlawan Nasional, Ada Bapak Film Indonesia Hingga Pendiri Tangerang
Menkopolhukam sekaligus Ketua Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Mahfud MD, mengumumkan empat tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 10 November 2021.
Mahfud mengatakan, penganugerahan Pahlawan Nasional tersebut juga dilakukan dalam rangka memperingati Hari Pahlawan.
Mereka dinilai merupakan pejuang yang menginspirasi untuk membangun Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dan atau ikut berjuang untuk memajukan Indonesia sehingga kemerdekaan menjadi lebih bermakna bagi bangsa dan negara.
Baca juga: Megawati: Tak Ada Aturan PDIP Enggak Boleh Menang Terus, Tidak Ada yang Menghalangi
Mahfud mengungkapkan, empat tokoh tersebut adalah Alm Tombolututu, Alm Sultan Aji Muhammad Idris, Alm H Usmar Ismail, dan Alm Raden Arya Wangsakara.
Mahfud mengatakan, empat tokoh tersebut dipilih karena sejumlah pertimbangan, di antaranya ketokohan dan juga pemerataan kedaerahan.
Kata Mahfud, dua di antara daerah asal para tokoh tersebut belum memiliki Pahlawan Nasional sampai saat ini, yakni Sulawesi Tengah dan Kalimantan Timur.
Baca juga: Izin Operasional Laboratorium Bakal Dicabut Jika Masih Terapkan Tarif PCR di Atas Harga Pemerintah
"Itu pahlawan nasional yang dianugerahkan secara resmi kepada keluarga para almarhum di Istana Bogor, kalau tidak berubah pada Hari Pahlawan tanggal 10 November," ungkap Mahfud saat konferensi pers di kanal YouTube Kemenkopolhukam, Kamis (28/10/2021).
Sekretaris Militer Presiden sekaligus Sekretaris Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan Marsekal Muda TNI Mohamad Tony Harjono menjelaskan, penganugerahan gelar pahlawan nasional berdasarkan Keppres 109/TK Tahun 2021 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional.
"Pertama, Almarhum Tombolututu, beliau adalah tokoh dari Provinsi Sulawesi Tengah."
Baca juga: Megawati: Kalau Ndak Suka Lagi Sama PDIP, Silakan Mengundurkan Diri, Daripada Saya Capek Pecat
"Kedua, Almarhum Sultan Aji Muhammad Idris, beliau adalah tokoh dari Provinsi Kalimantan Timur."
"Ketiga, Almarhum H Usmar Ismail, beliau adalah tokoh dari Provinsi DKI Jakarta."
"Terakhir, Almarhum Raden Arya Wangsakara, beliau adalah tokoh dari Provinsi Banten," beber Tony.
Berikut ini profil dari empat tokoh tersebut.
1. Tombolotutu
Wartakotalive mengutip dari laman parigimoutongkab.go.id, wacana menjadikan Tombolotutu sebagai Pahwalan Nasional telah disuarakan sejak 1990-an.
Namun, upaya untuk mencapai hal itu terkendala dokumen resmi sebagai data primer.
Menurut Taswin Borman, mantan Sekda Kabupaten Parigi Moutong, banyak kisah heroik yang dilakukan Tombolotutu saat melawan Belanda.
Salah satunya, ketika Pemerintah Belanda menurunkan Pasukan Marsose untuk menumpas perlawanan Tombolotutu.
Marsose adalah pasukan khusus atau pasukan elite Belanda yang pernah diturunkan saat perang Diponegoro dan perang Aceh.
Kala itu pasukan Marsose yang diturunkan untuk menumpas perlawanan Tombolotutu kurang lebih berjumlah 170 orang.
"Kita sudah bisa membayangkan bagaimana kekuatan Tombolotutu saat itu, meski dengan pasukan Marsose, Belanda tidak pernah berhasil menumpas Tombolotutu."
"Ini data sejarah. Karena itu menurut saya Tombolotutu layak diusulkan menjadi Pahlawan Nasional,” ungkap Taswin Borman.
Aji Muhammad Idris adalah sultan ke-14 dari Kesultanan Kutai Kartanegara.
Ia dianggap anti kolonialisme dan anti pola perdagangan monopoli seperti yang dilakukan VOC.
Dikutip dari laman kesultanan.kutaikartanegara.com, Aji Muhammad Idris menjadi sultan pertama yang menggunakan nama Islam di kerajaan tersebut.
Ia merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng.
Ia berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan untuk bertempur bersama rakyat Bugis melawan VOC, dan gugur di medan perang pada 1739.
3. Usmar Ismail
Dikutip dari laman badanbahasa.kemdikbud.go.id, Usmar Ismail dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia dan Bapak Film Indonesia.
Debutnya yang semula di panggung teater, belakangan memang lebih banyak di dunia perfilman.
Ia lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 20 Maret 1921.
Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah.
Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.
Usmar Ismail bersekolah di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta.
Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.
Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang).
Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Pada 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta HB Jassin, mendirikan kelompok sandiwara bernama Maya.
Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat, yang dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.
Sandiwara yang dipentaskan Maya antara lain Taufan di Atas Asia (El Hakim), Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail), Mekar Melati (Usmar Ismail), dan Liburan Seniman (Usmar Ismail).
Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta.
Bersama dua rekannya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat.
Setelah hijrah ke Yogyakarta, Usmar juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena di sana.
Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda, karena dituduh terlibat kegiatan subversi.
Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta, pada tahun 1948.
Sewaktu masih di Yogya, Usmar hampir setiap minggu bersama teman-temannya berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film.
Teman berdiskusinya itu antara lain Anjar asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Anjar Asmara itulah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film Gadis Desa.
Setelah itu, berlanjut pada penggarapan film berikutnya, seperti Harta Karun, dan Citra.
Untuk mengenang jasa Usmar, namanya diabadikan menjadi nama sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta Selatan.
Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 karena sakit stroke, dalam usia hampir genap 50 tahun.
Dikutip dari laman bantenprov.go.id, Raden Aria adalah penyebar agama Islam, keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarief Abdulrohman.
Karena tidak sepaham dengan keluarga, Raden Aira akhirnya merantau ke Tangerang melalui Sungai Cisadane pada 1640, dan akhirnya menetap dan membangun pesantren di Kawasan Grendeng, Karawaci.
Penjajah tidak setuju dengan keberadaan pesantren yang dibangun Raden Aria, dan tindakan tersebut dianggap membangkang dan melawan Belanda.
Dalam pertempuran melawan penjajah, Raden Aria gugur dan dimakamkan di Desa Lengkong Kiai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, pada 1662.
Beberapa literatur menyebut Aria pernah menjadi salah satu penasihat Kerajaan Mataram.
Raden Aria menikah dengan Nyi Mas Nurmala, anak Bupati Karawang, Jawa Barat Singaperbangsa.
Raden Aria memiliki dua saudara, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara.
Pemkab Tangerang menjadikan Makam Raden Aria sebagai kawasan cagar budaya. (Taufik Ismail)