Buronan Kejaksaan Agung

Kasus Suap Djoko Tjandra, Pengamat Kebijakan Lembaga UI: Cara Mendapat Remisinya Benar atau Enggak?

Remisi Tjoko Tjandra dipertanyakan Pengamat Kebijakan Lembaga, Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi.

Editor: PanjiBaskhara
WARTA KOTA/JUNIANTO HAMONANGAN
Remisi Tjoko Tjandra dipertanyakan Pengamat Kebijakan Lembaga, Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi. Foto: Djoko Tjandra tiba di Kejaksaan Negeri Jakarta Timur, Senin (28/9/2020). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kasus Djoko Tjandra masih hangat diperbincangkan publik.

Kini ramai diperbincangkan publik, mengenai mudahnya Djoko Tjandra mendapatkan remisi.

Diketahui, remisi Djoko Tjandra itu dikeluarkan langsung oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Remisi Djoko Tjandra pun, dinilai publik telah mencoreng wajah hukum Indonesia.

Baca juga: DAFTAR Lengkap 214 Koruptor Penerima Remisi HUT ke-76 RI, Termasuk Djoko Tjandra

Baca juga: Djoko Tjandra Dapat Remisi, ICW: Bagaimana Mungkin Buronan Dapat Akses Pengurangan Masa Pidana?

Baca juga: Sudah Jalani Sepertiga Masa Pidana, Djoko Tjandra Dapat Remisi 2 Bulan Saat HUT ke-76 RI

Pasalnya, Djoko Tjandra dengan berani menyuap oknum kepolisian hingga oknum kejaksaan.

Hal ini juga ditanggapi oleh Pengamat Kebijakan Lembaga, Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi.

Ia mengatakan, pemberian remisi terhadap Djoko Tjandra mendapat banyak sorotan masyarakat.

Sebab, rekam jejaknya sebagai terpidana kasus Cassie Bank Bali dan sekaligus menjadi buronan selama 11 tahun.

"Dalam pemberian remisi itu apakah prosedurnya dijalani atau enggak, karena yang bersangkutan pernah memiliki rekam jejak seperti itu."

"Nah itu yang dipertanyakan disitu, cara mendapat remisinya benar atau enggak," ujarnya saat dihubungi, Rabu (25/8/2021) ketika dikonfirmasi.

Ia menerangkan, Dirjen Pas Kemenkumham sebagai pemegang otoritas pemberi remisi itu harus bertindak sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.

"Jadi itu yang perlu disampikan, jadi tidak sekedar siapa mendapat remisi harus ada uraian lebih mendalam"

"sehingga terhindar dari tadi keraguan masyarakat, praktek praktek itu berjahan di Lapas," ungkapnya.

Maka itu, ia mendorong Dirjen Pas lebih transparan dalam pemberian remisi terhadap narapidana koruptor.

Terlebih kasus Djoko Tjandra sudah menyedot perhatian mendalam.

"Jadi untuk kasus kasus antensi yang mendapat perhatian itu seharusnya Dirjenpas tak hanya sekedar beri remisi, tetapi juga harus mengumumkan persyaratan remisi yang telah dipenuhi," imbuhnya.

Pemberian remisi itu, lanjut dia, merujuk pasal 34 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006.

Ridak hanya mensyaratkan jalani masa hukuman 1/3 kepada terpidana yang dapat diberikan remisi, namun juga mencantumkan syarat berkelakukan baik.

"Nah itu, tadi jangan kebiasaan itu yang terjadi di luar juga dilakukan di Lapas dan akhirnya itu kan merusak SOP yang ada di Lapas. Jangan sampai kebiasaan di luar itu menjadi pertanyaan publik," katanya.

Untuk membuktikan dugaan prkatek suap dalam pemberian remisi Djoko Tjandra, sepatutnya KPK, Kajaksaan dan Ombursdman segera mengusutnya.

"Antara aturan yang berlaku, pihak pelaksana Lapas harus transparan untuk menjawab keraguan publik terkait keringanan yang diberikan,"

Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) pertanyakan alasan Direktorat Jenderal Pemasyarakat Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemenkumham) yang memberi remisi terhadap Djoko Tjandra saat HUT Kemerdekaan RI.

Pemberian remisi itu dianggap janggal mengingat Djoko Tjandra baru manjalani hukuman 2 tahun pidana penjara pada akhir Juli 2020 atas perkara Cassie Bank Bali, berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2009.

Sebelum eksekusi berjalan, Djoko Tjandra pun sempat melarikan diri ke Luar Negeri dan menjadi buron selama 11 tahun.

"Tentu hal ini janggal, sebab, bagaimana mungkin seorang buronan yang melarikan diri selama 11 tahun diberikan akses pengurangan masa pemidanaan," ujar seorang peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (20/8/2021).

King Maker

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati hak setiap pihak yang mengajukan praperadilan atas suatu penanganan perkara korupsi.

Seperti diketahui, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK atas penghentian supervisi dan penyidikan orang yang dianggap sebagai 'king maker' pada kasus Djoko Tjandra.

"Hal ini kami pandang sebagai bentuk perhatiannya pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (24/8/2021).

Dalam proses pengajuan praperadilan, ujar Ali, pengadilan akan menguji dan memutuskan apakah pokok yang dipersoalkan memenuhi syarat atau tidak berdasarkan ketentuan pengajuan praperadilan. 

Ali meminta masyarakat memahami bahwa pelaksanaan supervisi perkara oleh KPK, sesuai ketentuan hanya dilakukan sampai dengan tahap penyidikan.

Sehingga kegiatan supervisi dinyatakan selesai ketika perkara dimaksud telah dilimpahkan ke pengadilan. 

Atas dasar itu, perkara yang telah masuk dalam proses persidangan menjadi kewenangan majelis hakim. 

"Siapapun, termasuk KPK, tidak boleh melakukan intervensi dengan alasan apapun," kata Ali.

Selanjutnya jika perkara telah diputus dan berkekuatan hukum tetap, namun masyarakat menemukan atau mengetahui adanya dugaan korupsi sebagai tindaklanjut penanganan perkara tersebut, KPK mempersilakan untuk melaporkannya.

"Dengan disertai data awal yang konkret. KPK pastikan akan tindaklanjuti," ujar Ali.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menjelaskan bahwa pengajuan gugatan praperadilan ini dilakukan karena pada 30 Juli 2020 Ketua KPK Firli Bahuri menyatakan telah menghentikan supervisi perkara tindak pidana korupsi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang dilakukan mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari terkait terpidana cessie Bank Bali Djoko Tjandra.

Padahal dalam putusan di tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyampaikan adanya 'king maker' atau aktor intelektualis dalam perkara Pinangki.

"Namun Majelis Hakim menyatakan tidak mampu menggali siapa king maker tersebut sehingga menjadi kewajiban KPK untuk menemukan peran king maker sebagai auktor intelektualis dari Pinangki Sirna Malasari dkk untuk membebaskan Djoko Tjandra atas vonis penjara perkara korupsi Bank Bali," kata Boyamin dalam keterangannya, Senin (24/8/2021).

Ihwal materi praperadilan, MAKI menyiapkan sejumlah poin. 

Poin itu ialah pada 11 September 2020 MAKI mengirimkan surat elektronik kepada KPK Nomor: 192/MAKI/IX/2020 perihal penyampaian materi dugaan perkara tindak pidana korupsi Djoko Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari untuk digunakan bahan supervisi.

Setelah itu, MAKI diundang oleh KPK pada 18 September 2020 untuk memperdalam informasi seputar 'king maker' dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pengurusan fatwa oleh Pinangki Sirna Malasari dan kawan-kawan.

MAKI menerima surat balasan dari KPK pada 2 Oktober 2020 perihal tanggapan atas pengaduan masyarakat sebagai balasan atas penyampaian materi dari MAKI berdasarkan surat MAKI tertanggal 11 September. 

Surat KPK tersebut berisi pengaduan dari MAKI yang dijadikan bahan informasi untuk Kedeputian Bidang Penindakan KPK.

(Wartakotalive.com/CC/Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama)

Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul "KPK Persilakan MAKI Ajukan Praperadilan Soal King Maker di Kasus Djoko Tjandra"

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved