Edhy Prabowo Banding Vonis 5 Tahun Bui, Kuasa Hukum Bilang Lebih Pas Dijerat Pasal 11 UU Tipikor
Alasan Edhy Prabowo mengajukan banding, kata Soesilo, karena seharusnya hukuman terhadap kliennya lebih pas jika dikenakan pasal 11 UU Tipikor.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengajukan banding atas vonis 5 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Soesilo Aribowo, kuasa hukum Edhy, mengatakan permohonan banding diajukan pada Kamis (22/7/2021) kemarin.
"Banding, kemarin," kata Soesilo saat dikonfirmasi, Jumat (22/7/2021).
Baca juga: Panglima TNI Targetkan 70 Persen Warga Jakarta Sudah Divaksin Covid-19 Sebelum 17 Agustus 2021
Alasan Edhy Prabowo mengajukan banding, kata Soesilo, karena seharusnya hukuman terhadap kliennya lebih pas jika dikenakan pasal 11 UU Tipikor.
"Kalau dipaksakan kasus ini lebih pas ke pasal 11 (UU Tipikor)," ujar Soesilo.
Ancaman pidana dalam pasal 11 adalah pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun, dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Baca juga: Kabur dari Lapas Abepura pada 8 Januari 2016, Teroris KKB Osimin Wenda Diciduk di Puncak Jaya Papua
Sedangkan Edhy Prabowo divonis melanggar pasal 12 huruf a UU.
Dalam pasal itu, ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sebelumnya, Edhy Prabowo divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Baca juga: LaporCovid-19: Rata-rata Pasien Isolasi Mandiri yang Wafat Keluarganya Juga Positif
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menyatakan Edhy terbukti secara sah bersalah dalam kasus suap izin ekspor benih lobster alias benur.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda sejumlah Rp 400 juta."
Baca juga: LIVE STREAMING Sidang Vonis Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Ini Harapan KPK
"Dengan ketentuan apabila denda itu tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan," ucap hakim ketua Albertus Usada, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (15/7/2021).
Ia melanggar pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dalam vonisnya, hakim juga mewajibkan Edhy Prabowo membayar uang pengganti atas tindakan korupsi yang dia lakukan, sebesar Rp 9,68 miliar dan 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS).
Baca juga: Dua Jenazah Teroris MIT Poso Dimakamkan di Palu, Jasad Membusuk Sulitkan Identifikasi
"Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap, maka harta bendanya disita oleh jaksa untuk menutupi uang peganggi tersebut."
"Apabila harta benda terdakwa tidak mencukupi, maka diganti hukuman dua tahun penjara," tutur Albertus.
Edhy Prabowo juga dijatuhi hukuman pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun, sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya.
Baca juga: Bakal Laporkan Perkembangan PPKM Darurat kepada Jokowi, Luhut: Kami Amati Betul Masalah Ekonomi
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," ucap Albertus.
Hakim menyatakan Edhy Prabowo terbukti menerima uang 77 ribu dolar AS dari Suharjito, pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama, dengan tujuan agar izin budidaya lobster dan izin ekspor benih lobster dapat dipercepat.
Hakim juga menyatakan Edhy menerima puluhan miliar melalui terdakwa lainnya, sebagai keuntungan tidak sah PT ACK.
Sebelumnya, JPU KPK membacakan tuntutan atas perkara dugaan suap ekspor benih bening lobster alias benur, untuk terdakwa eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Baca juga: Satgas Penanganan Covid-19 Ubah Aturan, Orang yang Ingin ke Bali Tak Boleh Tes Pakai GeNose Lagi
Tuntutan itu dibacakan jaksa di ruang sidang Kusumahatmaja Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (29/6/2021).
Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan Edhy Prabowo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama.
Jaksa juga menyatakan Edhy Prabowo melanggar Pasal 12 huruf a UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Agar Tak Pakai Pikap, Sudishub Jakbar Modifikasi Mobil Patroli untuk Angkut Pasien Covid-19
Sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Perubahan Atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dengan begitu, jaksa menuntut bekas Menteri Kelautan dan Perikanan itu dengan kurungan penjara selama 5 tahun, dikurangi masa tahanan sementara.
Jaksa juga menuntut hukuman denda untuk Edhy Prabowo sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan.
Baca juga: Obat Cacing Ivermectin Jadi Terapi Covid-19, Moeldoko: Kondisi Kritis, Kita Harus Berbuat Sesuatu
"Menjatuhkan pidana penjara kepada Edhy Prabowo selama 5 tahun penjara dikurangi masa tahanan sementara dan denda, dengan perintah tetap ditahan" tuntut jaksa.
Edhy juga dikenakan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 9.687.447.219 dan US$77 ribu.
"Jika tidak diganti, maka harta benda akan disita oleh negara."
Baca juga: Pemprov DKI Minta Pemerintah Pusat Sediakan Lagi Hotel Isolasi Pasien Covid-19, BNPB Masih Menunggak
"Jika harta tidak mencukupi, maka akan diganti hukuman pidana 2 tahun penjara," ucap jaksa.
Jaksa juga menuntut Edhy Prabowo dicabut hak dipilihnya sebagai pejabat publik selama 4 tahun, sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok.
Jaksa menyatakan hal yang memberatkan Edhy Prabowo dalam perkara ini, karena terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam upaya memberantas korupsi.
Baca juga: Belum Divaksin Covid-19, Wagub DKI Jakarta: Insyallah dalam Waktu Dekat
Dia juga dianggap tidak memberikan teladan yang baik sebagai selaku penyelenggara negara, dalam hal ini menteri.
Sedangkan hal yang meringankan, jaksa menganggap politikus Partai Gerindra itu belum pernah ditahan, serta bersikap sopan dalam persidangan, dan beberapa barang korupsi telah disita negara.
Jaksa juga menuntut uang sekitar Rp 51,7 miliar yang berada di bank garansi dalam kasus suap izin ekspor benih bening lobster alias benur, dirampas untuk negara.
Baca juga: Bisa Rusak Lever, Jangan Buru-buru Beli Ivermectin untuk Cegah Atau Obati Covid-19
Jaksa mengungkap terbitnya bank garansi yang awalnya karena ada surat komitmen antara Kepala Balai Besar Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Jakarta I KKP Habrin Yake, dengan seluruh eksportir benur.
Surat tersebut ditandatangani seluruh eksportir benur dengan Habrin Yake, atas permintaan Staf khusus Edhy Prabowo, Andreau Misanta Pribadi.
"Walaupun Kementerian Keuangan belum menerbitkan revisi Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak Ekspor BBL."
Baca juga: Dokter Bolehkan Suntik Vaksin Covid-19 Dosis Kedua Lewati Jadwal, Mendahului Jangan
"Sehingga kemudian terkumpul uang di Bank Garansi seluruhnya Rp 52.319.542.040," ucap jaksa dalam ruang sidang, Selasa (29/6/2021).
Selanjutnya, kata jaksa, atas permintaan Andreau Misanta Pribadi, para esportir benur diharuskan menyetor uang yang jumlahnya telah ditentukan oleh terdakwa ke rekening bank garansi, sebesar Rp 1.000 per ekor BBL jenis pasir, dan Rp 1.500 per ekor BBL jenis mutiara.
Kendati begitu, kata jaksa, dari seluruh perusahaan eksportir BBL yang telah membayar jaminan Bank Garansi, terdapat tiga perusahaan yang belum melakukan realisasi ekspor.
Baca juga: Varian Delta Ditemukan Hampir di Semua Kota di Jawa, 6 Kali Lebih Cepat Menular
"Perusahaan itu yakni UD Balai Sukses Mandiri sebesar Rp 150 juta; PT Sinar Lautan Perkasa Mandiri sebesar Rp120 juta; dan PT Hutama Asia Sejahtera sebesar Rp250 juta," terang jaksa.
Atas dasar itu jaksa berpendapat, jaminan bank garansi yang telah dibayarkan oleh ketiga perusahaan tersebut, sudah selayaknya dikembalikan kepada perusahaan yang bersangkutan.
Di mana jika ditotal dari keseluruhan uang yang seharusnya dikembalikan ke perusahaan yang bersangkutan, yakni senilai Rp 520 juta.
Baca juga: Pasokan dari India Terbatas, Indonesia Bakal Produksi Remdesivir Sendiri di Tengah Amukan Covid-19
Sedangkan uang sejumlah Rp 51,719 miliar yang merupakan sisa uang dari Rp 52,319 miliar yang sudah masuk di Bank Garansi, dikurangi uang yang seharusnya dikembalikan ke tiga perusahaan di atas, kata jaksa, jangan sampai disalahgunakan.
Oleh sebab itu, jaksa meminta majelis hakim yang mengadili perkara ini, merampas uang tersebut dari Bank Garansi.
"Maka PU (penuntut umum) memohon kepada majelis hakim yang mulia agar uang tersebut dinyatakan dirampas untuk negara," cetus jaksa. (Ilham Rian Pratama)