Warta Ekonomi

Staf Khusus Sri Mulyani Bilang Kenaikan PPN 'Kelas Atas' Berlaku 1 atau 2 Tahun Lagi

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, secara keseluruhan sebenarnya wacananya adalah bukan kenaikan tarif PPN keseluruhan. 

Editor: Feryanto Hadi
Istimewa
Staf khusus Menteri Keuangan, Sri Mulyani, Yustinus Prastowo 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -Kementerian Keuangan memberikan perkembangan informasi terkait wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang-barang 'kelas atas'. 

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo mengatakan, secara keseluruhan sebenarnya wacananya adalah bukan kenaikan tarif PPN keseluruhan. 

"Tetapi, mumpung sedang pandemi Covid-19, tidak bisa mendorong atau mengejar penerimaan pajak karena tidak bijak, justru malah stimulus yang diberikan, maka kita buatkan payung kebijakan. Mungkin penerapannya bisa satu atau dua tahun lagi, tapi kita siapkan sekarang mumpung kita punya kesempatan," ujarnya dalam webinar, Kamis (3/6/2021). 

Yustinus menjelaskan, hal tersebut yang sekarang dirancang yakni untuk PPN isinya bukan soal naik atau tidak, tapi ingin mengurangi distorsi. 

Baca juga: Menko Airlangga Sebut Kenaikan PPN dan Tax Amnesty Jilid II Masih dalam Pembahasan

Baca juga: Merasa Nama Baiknya Dicemarkan, Roy Suryo Akan Polisikan Eko Kuntadhi dan Mazdjo Pray

"Kita ingin memberikan fasilitas yang tepat. Sasaran kita ingin memberikan dukungan bagi akses publik terhadap barang-barang yang dibutuhkan," katanya. 

Selama ini, lanjut dia, barang-barang yang dibutuhkan itu mungkin dikenai pajak 10 persen, sehingga nanti bisa dikurangi jadi 7 persen atau 5 persen. 

"Sebaliknya barang-barang yang tidak dibutuhkan masyarakat banyak, tapi dikonsumsi oleh kelompok atas yang mungkin sifatnya terbatas itu bisa dikenai pajak lebih tinggi. Itu yang sekarang sedang dirancang, sehingga isunya lebih pada bagaimana sistem PPN kita lebih efektif dan juga kompetitif," pungkas Yustinus.

Ekonom sarankan Sri Mulyani kejar pajak orang kaya

Sementara itu, sebelumnya, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan, Indonesia bisa meniru Amerika Serikat (AS) dari sisi mendorong penerimaan negara lewat perpajakan. 

Bhima menilai kebijakan yang dapat dicontoh adalah berkaitan dengan pemajakan aset orang kaya secara lebih tinggi ketimbang menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 15 persen. 

"AS sebagai negara kapitalis liberal di era (Presiden) Joe Biden menargetkan pajak orang kaya lebih tinggi," ujarnya melalui pesan singkat kepada Tribun Network Senin (17/5/2021). 

Baca juga: Gojek dan Tokopedia Resmi Bentuk GoTo, Bisnis Kirim Barang, Makanan, Transportasi hingga Keuangan

Baca juga: Datangi Kedubes Palestina, Oki Setiana Dewi Kutuk Kekejaman Zionis Israel: Hentikan Penjajahan

Jadi, menurutnya arah kebijakan perpajakan global adalah menurunkan ketimpangan sekaligus meningkatkan rasio pajak. 

Sementara dalam konteks Indonesia selama ini kontribusi pajak orang kaya di masih rendah, sehingga tidak berdampak signifikan ke penerimaan negara. 

Ia pun menyarankan kepada pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, untuk mendorong penarikan pajak terhadap orang kaya.

Baca juga: Istana Angkat Bicara Terkait Kabar Jokowi Beda Pendapat dengan Sri Mulyani Masalah THR PNS 2021

Bhima menjelaskan, berdasarkan data Forbes yang merilis 50 orang paling kaya di Indonesia tahun 2019, total kekayaan diestimasi mencapai Rp 1.884,4 triliun. 

Namun, realisasi Pajak Penghasilan (PPh) 21 per November 2019 mencapai Rp 133,1 triliun, mencakup seluruh masyarakat dari beragam kelas pendapatan. 

"Adapun selama ini rata-rata kontribusi orang kaya terhadap total penerimaan pajak sebesar 0,8 persen atau Rp 1,6 triliun," pungkasnya.

Rencana kenaikan PPN

Seperti diketahui, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk meningkatkan realisasi pajak tahun 2022.

Kendati demikian, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono mengungkapkan, kenaikan tarif PPN ini belum dibahas antar kementerian, antara Kemenkeu dengan Kemenko Perekonomian.

"Intinya kita menghormati pembahasan di internal di Kemenkeu, namun belum ada rapat koordinasi antar kementerian untuk membahas ini," ungkap Susiwijono dalam konferensi virtual, Senin (17/5/2021).

Susi menuturkan, pihaknya akan segera meminta penjelasan terkait mekanisme kenaikan tarif PPN jika rapat internal di kementerian sudah selesai dilakukan.

Penjelasan diperlukan lantaran kenaikan tarif PPN akan berpengaruh pada semua sektor industri maupun konsumen.

Baca juga: Anis Beri Solusi ke Sri Mulyani agar THR PNS DIbayar Penuh Lagi

"Ada konsepsi yang jelas kira-kira kapan akan disampaikan, karena ini pengaruhnya ke semua sektor bukan hanya sektor riil industri manufaktur, semuanya. Semua akan kena," kata Susi.

Sebelumnya, wacana kenaikan tarif PPN disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2021 untuk menggenjot pendapatan negara.

Berdasarkan pagu indikatif APBN tahun 2022, penerimaan negara dari pajak ditargetkan mencapai Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun. Angka itu tumbuh 8,37 persen - 8,42 persen dari outlook akhir tahun 2021.

Ada tiga opsi yang dipilih mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu meliputi kenaikan tarif PPN, memperluas basis pajak digital, dan pengenaan cukai pada kantong plastik.

"Dari sisi perpajakan atau pendapatan negara yaitu bagaimana menggali potensi dan peningkatan tax (pajak) terutama dengan adanya era digital ekonomi. Kita juga akan melaksanakan cukai plastik dan tarif PPN yang akan dibahas dalam Undang-Undang ke depan," ucap Sri Mulyani dalam pembukaan Musrenbangnas 2021, Selasa (4/5/2021).

Baca juga: Kemenkeu Sindir BUMN yang Tak Setor Deviden ke Negara, Justru Jadi Beban karena Terlilit Utang

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu lantas membahas dua opsi skema kenaikan pajak, yakni single tarif dan multitarif. Jika nantinya mengadopsi skema single tarif, pemerintah perlu membentuk PP karena UU Pajak saat ini menganut sistem yang sama.

Namun jika mengadopsi multitarif, maka UU Nomor 46 Tahun 2009 tentang PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) perlu direvisi

Yanuar Riezqi Yovanda

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved