Aksi OPM

Diadang KKB di Pegunungan Bintang Papua Saat Mobil Mogok, 4 Anggota TNI Tertembak di Kaki

Insiden bermula saat sekitar 12 personel Satgas Pamrahwan 310 dan 403 TNI tengah melintas di Distrik Serambakon, Pegunungan Bintang.

Istimewa
ILUSTRASI: Teroris Kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua kembali kontak tembak dengan aparat TNI di Distrik Serambakon, Pegunungan Bintang, Papua, Selasa (18/5/2021) malam. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Teroris Kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua kembali kontak tembak dengan aparat TNI di Distrik Serambakon, Pegunungan Bintang, Papua, Selasa (18/5/2021) malam.

Kali ini, KKB Ngalum Kupel pimpinan Lamek Taplo mencoba mengadang Satgas Pamrahwan 310 dan 403 TNI. Alhasil, kontak tembak pun tak terbendung.

"Benar ada pengadangan yang berujung kontak tembak di Distrik Serambakon, Pegunungan Bintang," kata Kasatagas Humas Nemangkawi Komisaris Besar Polisi Iqbal Alqudusy saat dikonfirmasi, Rabu (19/5/2021).

Baca juga: BREAKING NEWS: Satu Anggota TNI Gugur Usai Diserang OTK di Papua, Senjata Dibawa Kabur

Dari informasi yang beredar, insiden bermula saat sekitar 12 personel Satgas Pamrahwan 310 dan 403 TNI tengah melintas di Distrik Serambakon, Pegunungan Bintang.

Namun, mobil yang ditumpangi 12 personel itu mogok dalam perjalanan.

Tiba-tiba, KKB Papua Ngalum Kupel Pimpinan Lamek Taplo mencoba melakukan pengadangan.

Baca juga: Dua Hari Pemeriksaan Saat Arus Balik, Polda Metro Jaya Temukan 84 Pemudik Positif Covid-19

Akibat kontak tembak ini, dikabarkan 4 personel TNI mengalami luka tembak di bagian kaki. Mereka telah dievakuasi ke RSUD Oksibil.

Menurut Iqbal, pihaknya masih mengejar teroris kelompok Ngalum Kupel pimpinan Lamek Taplo.

"Saat ini TNI Polri kejar kelompok teroris bersenjata Ngalum Kupel di Pegunungan Bintang," ucapnya.

Satu Anggota TNI Gugur Usai Diserang OTK di Papua, Senjata Dibawa Kabur

Dua anggota TNI diserang orang tak dikenal (OTK), di dekat Camp PT Pentagon Terang Asli, Kali Brasa, Distrik Dekai, Yahukimo, Papua, Selasa (18/5/2021) siang.

Kasatgas Divisi Humas Operasi Nemangkawi Kombes Pol Iqbal Alqudusy membenarkan adanya kabar penyerangan dua personel TNI tersebut.

Satu personel TNI meninggal dunia akibat penyerangan ini.

Baca juga: Minta Jokowi Tak Intervensi, Arief Poyuono: KPK Tidak akan Kiamat Tanpa 75 Pegawai KPK Tak Lulus TWK

"Benar, saya membenarkan insiden tersebut," kata Iqbal saat dikonfirmasi, Selasa (18/5/2021).

Hingga saat ini, kata Iqbal, pihaknya masih memburu OTK yang menyerang kedua personel TNI tersebut.

"Saat ini ,TNI Polri dipimpin Kapolres Yahukimo melakukan pengejaran," ujarnya.

Baca juga: Busyro Muqoddas Duga Penonaktifan 75 Pegawai KPK untuk Kepentingan Pemilu 2024

Berdasarkan informasi yang beredar, dua personel TNI yang mengalami penyerangan OTK adalah Prada AYA dan Praka A.

Atas insiden itu, Prada AYA dinyatakan meninggal dunia.

Sedangkan Praka A dilarikan ke rumah sakit lantaran dalam kondisi kritis.

Kabarnya, senjata yang dibawa korban juga dibawa lari oleh OTK tersebut.

Dilabeli Teroris

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua sebagai organisasi teroris.

Mahfud MD mengatakan keputusan pemerintah tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Ketua MPR, pimpinan BIN, pimpinan Polri, dan pimpinan TNI.

Keputusan tersebut, kata Mahfud MD, juga sejalan dengan fakta banyaknya tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah daerah, dan DPRD Papua yang datang kepada pemerintah, khususnya Kemenko Polhukam, untuk menangani aksi kekerasan di Papua.

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Melonjak Drastis Jadi 19, Jawa Nihil

Pemerintah, kata Mahfud MD, menyatakan mereka yang melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal secara masif sesuai dengan ketentuan UU 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Mahfud MD menjelaskan, definisi teroris berdasarkan UU teesebut adalah siapapun orang yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme.

Sedangkan terorisme, kata dia, adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan, atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas.

Baca juga: Kolaborasi dengan Tantri Kotak, Groovy Root Beer Ajak Pecinta Musik Ikut Groovy Ramadan Jam

Yang dapat menimbulkan korban secara massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan.

Tidak hanya KKB, kata Mahfud MD, pemerintah juga menyatakan mereka yang berafiliasi dengan KKKB termasuk ke dalam tindakan teroris.

"Berdasarkan definisi yang dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018."

Baca juga: Densus 88 Ciduk Munaman, Polisi Diminta Waspadai Aksi Lone Wolf Pendukung Mantan Sekum FPI

"Maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris," tegas Mahfud MD saat konferensi pers, Kamis (29/4/2021).

Untuk itu, kata Mahfud MD, pemerintah sudah meminta Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait, untuk melakukan tindakan terhadap organisasi tersebut.

"Untuk itu maka pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur menurut hukum."

Baca juga: DAFTAR Terbaru Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: 9 Daerah di Papua, Nias, dan Maluku Tetap Bertahan

"Dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarakat sipil," beber Mahfud MD.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta pemerintah mendefinisikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris, sesuai UU 5/2018 tentang Terorisme.

Juga, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB).

Azis mengatakan, kelompok bersenjata di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, karena melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik.

Baca juga: Dapat Lampu Hijau dari BPOM dan MUI, Vaksin Covid-19 AstraZeneca Mulai Didistribusikan Pekan Depan

"Maka mereka adalah teroris."

"Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur."

"Keengganan pemerintah melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya.

Baca juga: Kejagung Buka Peluang Tetapkan Tersangka Baru Kasus Korupsi di Asabri, Perorangan Maupun Korporasi

"Bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua," kata Azis lewat keterangan tertulis, Senin (22/3/2021).

Azis menuturkan, jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana.

Menurutnya, terorisme yang berakar dari separatisme, persis seperti yang terjadi di Thailand selatan.

Baca juga: Tak Ingin Pandemi Pindah dari Kota Saat Mudik, Wamendes Minta Semua Warga Desa Divaksin Covid-19

Maka, secara penegakan hukum pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan.

Walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, pendekatan terbaik adalah melalui pendekatan kesejahteraan, sosial, ekonomi dan budaya.

Seraya, memberikan rekognisi dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana.

Baca juga: Pemerintah Berniat Bangun Ibu Kota Negara Tahun Ini, Swasta Sulit Diajak karena Masih Babak Belur

"Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum."

"Begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB, sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api,tajam, dalam aksinya," ulasnya.

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri, untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Baca juga: Cerita Gede Pasek Suardika Kena Prank SBY, Senang Sekaligus Sedih

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional.

Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata non-internasional atau di dalam sebuah negara.

Pada pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando."

Baca juga: UPDATE Vaksinasi Covid-19 Indonesia 20 Maret 2021: Penyuntikan Dosis Pertama Tembus 5.124.948 Orang

"Hal ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa."

"Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar."

"Tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa," bebernya.

Baca juga: UPDATE Covid-19 di Indonesia 20 Maret 2021: Pasien Baru Tambah 5.656, Sembuh 5.760 Orang, 108 Wafat

Azis menegaskan, walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa.

Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi, kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.

"Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif, secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang," paparnya. (Igman Ibrahim)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved