Impor Beras
Buwas Ungkap Beras Impor 2018 Masih Ada di Gudang Bulog, Jadi Buat Apa Rencana Impor Beras Lagi
Budi Waseso alias Buwas ungkap bahwa beras impor tahun 2018 masih ada di Gudang Bulog. Karena itu ia menolak rencana impor beras
Namun, beras tersebut hanya tersalurkan sekitar 450 ribu ton dari alokasi sebanyak 900 ribu ton. Sisanya, hingga kini sebanyak 275.811 ton beras impor tahun 2018 masih tersimpan di gudang Bulog dengan 106.642 ton di antaranya sudah mengalami turun mutu.
Baca juga: VIDEO Hendak Maling Motor, Pemuda Mabuk Excimer Jadi Bulan-Bulanan Warga Serpong Utara
Rencananya, kata Buwas, beras sisa impor tahun 2018 tersebut akan diolah menjadi tepung yang akan ditangani oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian.
Namun menurutnya, Bulog sudah mendapatkan penugasan impor beras 1 juta ton kendati sisa impor beras tahun 2018 belum diselesaikan.
Dia menyebut, Bulog telah kehilangan pangsa pasar sebesar 2,6 juta ton beras per tahun dikarenakan Program Rastra (beras untuk keluarga sejahtera) diganti oleh pemerintah menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT).
Yang tadinya masyarakat mendapatkan bansos berupa beras dari Bulog, kini diberikan bantuan secara nontunai yang bisa dibelanjakan sendiri oleh masyarakat penerima manfaat di warung-warung yang bekerja sama dengan Kementerian Sosial.
Namun, jika memang harus impor, Budi Waseso mengatakan pihaknya siap untuk menampung beras hingga 3,6 juta ton sesuai kapasitas gudang Bulog di seluruh Indonesia.
Namun, ia meminta agar ada pangsa pasar untuk menyalurkan beras yang diserap.
"Kalau kami membeli sebanyak apapun kami siap, asalkan hilirnya dipakai," katanya.
Baca juga: VIDEO Inspektorat Jenderal Kemenkumham Deklarasi Janji Kinerja dan Pembangunan Zona Integritas
Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, rencana impor beras harus didasarkan pada data. Sementara, BPS telah menyatakan stok pangan dalam negeri masih aman.
"Impor pangan itu bukan sesuatu yang haram, diperbolehkan di Undang-Undang Pangan, tapi ada prasayaratnya, kalau kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi. Sementara BPS menyatakan bahwa ketersediaan beras cukup, bahkan sektor pertanian satu-satunya yang tumbuh selama pandemi," ujarnya.
Menjadi tidak rasional, kata dia, jika wacana itu justru digulirkan jelang musim panen. Artinya, yang terjadi bukan masalah komunikasi, melainkan abai dari data BPS. Sementara Presiden Jokowi berulang kali mengatakan, data yang digunakan adalah data BPS.
Menurutnya, pengumpulan data BPS sudah cukup akurat karena menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) yang menggunakan citra satelit, dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi.
"Impor harus didukung data valid, bukan pertimbangan perburuan rente, dan bukan hanya masalah harga. Memang harga dalam negeri punya disparitas yang tinggi dari harga internasional, ini karena biaya produksi di dalam negeri cukup mahal," katanya.
Mestinya, kata Enny, kalau memang pemerintah mau menyelesaikan problem harga, harus ada efisiensi di pertanian, bukan dengan cara impor.
"Meski pemerintah sudah anggarkan subsidi pupuk dan benih, ternyata hanya teori dan asumsi. Karena realitasnya petani Indonesia tidak mendapatkan itu," jelas Enny.
Baca juga: VIDEO Nikita Mirzani Tak Akan Berdamai dengan Pelaku Penghina Anak-Anaknya