Kabareskrim Berharap Netizen yang Ditegur Polisi Virtual Langsung Hapus Konten, Bukan Berdebat

Polri tetap mengedepankan penyelesaian masalah UU ITE dengan cara mediasi atau restorative justice.

www.colourworks.co.za
Polri mencanangkan pembentukan virtual police alias polisi dunia maya, untuk memberikan edukasi ruang siber kepada masyarakat. 

"Peringatan virtual sifatnya begini, pada saat orang melakukan kira-kira kesalahan, kita anggaplah si Badu."

"Saudara Badu hari ini Anda meng-upload konten jam sekian tanggal sekian."

"Konten ini berpotensi pidana SARA dengan ancaman hukuman penjara'," kata Slamet di akun YouTube Siber Tv, Jumat (19/2/2021).

Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte Bilang Langkah Cepat Polri Usut Kasus Djoko Tjandra Bikin Publik Curiga

Slamet menerangkan, tim patroli siber bakal memberikan pesan peringatan sebanyak 2 kali kepada pelanggar.

Dalam peringatan itu, tim akan menjelaskan terkait pasal yang dilanggar jika pelaku mengunggah konten tersebut.

"Bentuk pesan peringatannya itu nanti kita akan sampaikan secara lengkap dengan informasi mengapa konten tersebut mempunyai pelanggaran."

Baca juga: Edhy Prabowo: Saya Bawa Atlet Sumbang 14 Medali Emas Asian Games, kenapa Itu Tidak Dihormati?

"Atau kah kata-katanya, atau kah mengandung hoaks," jelasnya.

Para pelanggar juga diminta untuk menurunkan kontennya tersebut paling lama 1x24 jam.

Jika menolak, pelanggar akan dipanggil untuk dimintai klarifikasi.

Baca juga: Irjen Napoleon Bonaparte: Penghapusan Nama Djoko Tjandra Kewenangan Menkumham Atau Dirjen Imigrasi

"Pada saat dia tidak turunkan, kita ingatkan lagi, kalau tidak ingatkan kita klarifikasi."

"Undangan klarifikasinya itu pun sifatnya tertutup, jadi orang tidak usah tahu karena privasi."

"Namun kalau sudah dilakukan tahapan itu kemudian tidak mau kooperatif, kira-kira bagaimana?"

Baca juga: Kekebalan Tercipta Maksimal 28 Hari Setelah Penyuntikan Kedua, Jangan Lengah Meski Sudah Divaksin!

"Tapi sesuai perintah Bapak Kapolri, cara-cara humanis itu harus dikedepankan karena ini program 100 hari beliau polisi yang humanis," paparnya.

Sebelumnya, Polri mencanangkan pembentukan virtual police alias polisi dunia maya, untuk memberikan edukasi ruang siber kepada masyarakat.

Polisi akan mengutamakan imbaua dan teguran kepada masyarakat yang berpotensi melanggar UU ITE.

Virtual police akan melakukan edukasi sebelum adanya peindakan dari tim cyber crime Polri.

Baca juga: Pertanyaannya Dianggap Provokasi, Jusuf Kalla: Jangan Terlalu Baper Lah, Apa-apa Curiga

Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan mengatakan, pembentukan virtual police ini nantinya akan berkordinasi dengan Kementerian Kominfo dalam membentuk Satuan Khusus Digital.

"Pencanangan virtual police atau polisi dunia maya ini, digagas Bapak Kapolri dan disampaikan saat rapim Polri dan TNi beberapa waktu lalu," kata Ramadhan di Mabes Polri, Kamis (18/2/2021).

Pada hakikatnya, kata Ramadhan, virtual police dibentuk di bawah Direktor Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.

Baca juga: Marzuki Alie Ungkap SBY Pernah Sebut Megawati Kecolongan Dua Kali, Begini Respons Sekjen PDIP

"Tim ini akan mengedepankan edukasi penggunaan ruang siber di masyarakat, serta mengedepankan dan mengutamakan poin imbauan sebelum penindakan," jelas Ramadhan.

Tujuannnya, kata dia, untuk memberikan edukasi ke masyarakat melalui media sosial mengenai UU ITE.

"Pelaksanaannya berkordinasi dengam Kementerian Kominfo untuk membentuk Satuan Khusus Digital."

Baca juga: Marzuki Alie Ungkap SBY Pernah Sebut Megawati Kecolongan Dua Kali, Andi Arief: Statement Hantu!

"Virtual police melakukan tindakan menegur dan menjelaskan potensi pelanggaran serta pasal pasal, selain juga ancaman hukuman terkait UU ITE," paparnya.

Sehingga, kata Ramadhan, virtual police sifatnya lebih ke edukasi atau imbauan dan teguran.

"Vitual police bertindak sebelum cyber police turun," ucapnya.

Baca juga: Kapan Kapolri Tunjuk Kabareskrim Baru? Kadiv Humas: Enggak Lama Lagi

Selain itu, kata Ramadhan, dalam penerapan UU ITE, Kapolri memberikan instruksi kepada jajaran Polda sampai Polres, untuk membuat panduan dan pedoman dalam menerapkan kasus-kasus UU ITE.

"Pedoman tersebut nantinya dijadikan pegangan bagi penyidik di lapangan saat menenma laporan."

"Sehingga penyidik harus melakukan penelitian dengan sebaik-baiknya, laporan yang sifatnya aduan."

"Jadi diminta yang melapor harus korbannya, dan jangan diwakilkan. Jika korbannya A, pelapornya harus A dan bukan B," beber Ramadhan.

Laporan Delik Aduan Tak Boleh Diwakilkan

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan laporan polisi yang bersifat delik aduan, nantinya tidak bisa diwakilkan lagi oleh pihak lain.

Korban selaku pihak yang dirugikan, harus melaporkan langsung.

Gagasan tersebut sebagai bentuk tindak lanjut intruksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait UU ITE, yang kerap disalahgunakan sebagai wadah saling lapor.

Baca juga: DAFTAR Terbaru 44 Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Jawa Tengah Masih Dominan, Jakarta Ada 5

Nantinya, tak sembarangan orang lagi yang bisa melaporkan kasus yang bersifat delik aduan.

"Bila perlu laporan tertentu yang bersifat delik aduan, yang lapor ya harus korbannya."

"Jangan diwakili lagi. Ini juga supaya kemudian tidak asal lapor dan nanti kita yang kerepotan."

Baca juga: LIVE Streaming Misa Rabu Abu 2021 di Keuskupan Agung Jakarta, Tahun Ini Ditabur Tak Dioles

"Jadi hal-hal seperti ini ke depan kita perbaiki," kata Jenderal Sigit dalam Rapat Pimpinan (Rapim) Polri 2021 yang digelar pada Selasa (16/2/2021).

Jenderal Sigit menjelaskan, pengunaan dan penerapan UU ITE nantinya harus dapat dikendalikan agar tidak menjadi wadah saling lapor.

Penyelesaian terkait isu-isu tersebut nantinya diharapkan bisa dengan cara edukasi.

Baca juga: Pesan Gembala Prapaskah 2021 dari Uskup Agung Jakarta: Wabah Ini Bukan Hukuman Allah

"Untuk hal yang lain yang sifatnya hanya pencemaran nama baik, hoaks, yang masih bisa kita berikan edukasi, laksanakan edukasi dengan baik," jelasnya

Ia menyatakan pengunaan UU ITE nantinya bisa diterapkan hanya untuk kasus-kasus yang menyebabkan konflik horizontal.

Misalnya, kasus dugaan ujaran rasial yang dialami oleh Natalius Pigai.

Baca juga: DAFTAR Terbaru 15 Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Papua Terbanyak, Disusul Nias dan Maluku Utara

"Kalau memang tidak berpotensi menimbulkan konflik horizontal, ya tidak perlu ditahan lah."

"Jadi proses mediasi, mediasi enggak bisa, enggak usah ditahan."

"Kecuali yang memang ada potensi memunculkan konflik horizontal, misalkan isu seperti yang kemarin isu tentang Pigai, yang memunculkan reaksi di beberapa tempat dan mereka bergerak."

Baca juga: ATURAN Pantang dan Puasa Selama Masa Prapaskah, Makan Kenyang Satu Kali Sehari

"Ya yang seperi itu kita harus proses tuntas," paparnya.

Atas dasar itu, Sigit mengintruksikan jajarannya membuat pedoman untuk para penyidik terkait penerapan dan penggunaan UU ITE tersebut.

Dia mewacanakan adanya virtual police untuk menegur masyarakat yang melanggar.

"Tolong dibuatkan semacam STR atau petunjuk untuk kemudian Ini bisa dijadikan pegangan bagi para penyidik pada saat menerima laporan," perintahnya.

Tak Sehat

Jenderal Sigit menyampaikan penggunaan pasal UU ITE sudah semakin tidak sehat di Indonesia.

Penerapan pasal itu kerap disalahgunakan oleh masyarakat.

"Penekanan khusus beliau (Jokowi), terkait dengan menghormati kebebasan berpendapat."

Baca juga: Pelantikan 26 Februari, Kemenhumham Diminta Segera Tentukan Status Bupati Terpilih Sabu Raijua

"Jangan sampai terjadi perpecahan. Khususnya terkait dengan penggunaan dan penerapan pasal-pasal ataupun UU ITE yang selama beberapa hari ini kita ikuti bahwa suasananya sudah tidak sehat," beber Jenderal Sigit.

Menurutnya, UU ITE kerap digunakan sejumlah pihak sebagai wadah saling lapor. Pasal ini juga menjadi salah satu penyebab polarisasi di masyarakat.

"Jadi, UU ITE digunakan untuk saling melapor dan berpotensi menimbulkan polarisasi yang kemudian ini tentunya harus kita lakukan langkah-langkah," bebernya.

Baca juga: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Ubah Sandi Operasi Tinombala Jadi Madago Raya, Ini Maknanya

Oleh karena itu, ia menyampaikan Presiden Jokowi juga sempat memerintahkan agar UU ITE bisa diterapkan secara selektif, sehingga bisa memberikan rasa keadilan.

"Ada kesan bahwa UU ITE ini represif terhadap kelompok tertentu, tapi tumpul terhadap kelompok yang lain."

"Sehingga tentunya, mau tidak mau ini menjadi warna polisi kalau kita tidak bisa melakukan ini secara selektif," ucapnya.

Baca juga: Polri Ungkap Penyelewengan Dana Otsus Papua, Negara Dirugkan Rp 1,8 Triliun

Jenderal Sigit menuturkan, masalah inilah yang harus ditindaklanjuti agar masalah UU ITE bisa dikedepankan cara yang bersifat edukasi.

Tak hanya itu, jika ada masalah pencemaran nama baik, bisa dilakukan secara restorative justice.

"Kalaupun sampai terjadi, kalau sifatnya hanya pencemaran nama baik, hal-hal yang seperti itu bagaimana kita selesaikan dengan cara yang lebih baik."

"Mediasi, restoratif seperti itu. Sehingga hal tersebut tidak menambah polarisasi yang terjadi di medsos," paparnya. (Igman Ibrahim)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved