Kesehatan

Memutus Mata Rantai Anemia Dimulai pada 1000 Hari Pertama Kehidupan dan Usia Remaja

Dampak negatif yang diakibatkan anemia defisiensi besi berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia lintas generasi.

Penulis: LilisSetyaningsih |
Istimewa/Resvalife
Ilustrasi remaja terlihat lesu. Lesu pada remaja bisa disebabkan karena anemia sehingga bisa memengaruhi produktivitasnya. Anemia disebabkan karena gizi tidak seimbang. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pandemi  membuat semua perhatian tertuju pada Covid-19.

Bahkan pemerintah Indonesia juga memberi gratis perawatan di rumah sakit, penguburan, hingga vaksinasi gratis untuk Covid-19. 

Pandemi mengajarkan kita harus menjaga kebersihan, menjalankan protokol kesehatan, dan mengonsumsi nutrisi seimbang agar daya tahan tubuh kuat dan terhindar dari penyakit.

Namun, masalah nutrisi masih menjadi pekerjaan rumah.

Masalah gizi, baik gizi kurang atau gizi lebih, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit lain, khususnya risiko terjadinya penyakit tidak menular. 

Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, angka stunting  mencapai 30,8 persen dan telah mencapai peringkat 4 dunia.

Sedangkan  48,9 persen ibu hamil, 32 persen remaja 15-24, dan 38,5 persen balita mengalami anemia. 

Waspada 1 dari 3 Anak di Indonesia Mengalami Anemia, Dampaknya Bisa Timbul Kerusakan Otak

Gizi Seimbang Kunci Perkuat Daya Tahan Tubuh Hadapi Covid-19

Anemia  menjadi masalah kesehatan di dunia. Baik di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia.

Secara global, sekitar 50-60 persen angka anemia disebabkan karena defisiensi zat besi atau biasa disebut anemia defisiensi besi (ADB).

Dampak negatif yang diakibatkan anemia defisiensi besi berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia lintas generasi.

Dr dr Diana Sunardi MGizi SpGK, Spesialis Gizi Klinik dari Indonesian Nutrition Association (INA) mengatakan, Indonesia masih menghadapi tiga beban masalah gizi (triple burden).

Tiga masalah itu stunting, wasting dan obesitas, serta kekurangan zat gizi mikro seperti anemia.

"Seseorang dengan kondisi Anemia Defisiensi zat Besi (ADB) berisiko melahirkan bayi berat badan rendah (BBLR), stunting, komplikasi saat melahirkan dan risiko lainnya," ujar dr Diana. 

Dia mengatakannya saat seminar publik virtual mengusung tema 'Peran Nutrisi dalam Tantangan Lintas Generasi.'

Anemia Masih Jadi Masalah Bagi Indonesia dan Dunia, Defisiensi Zat Besi Jadi Biang Keladi

Ini Kata Pakar Ilmu Gizi Agar Tubuh Tetap Fit Saat Puasa di Tengah Pandemi Corona

Kondisi ADB sendiri dapat terjadi lintas generasi dan dapat diturunkan sejak remaja, ibu hamil, anak dan seterusnya. 

Pada kasus balita dan anak, ADB bermula dari kurangnya zat gizi mikro pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Dampaknya tumbuh kembang anak terganggu, penurunan aktivitas fisik maupun kreativitas, serta menurunnya daya tahan tubuh sehingga meningkatkan risiko infeksi.

Sedangkan pada kasus remaja, ADB dapat menurunkan produktivitas dan kemampuan akademis.

Kondisi ADB pada kehamilan usia remaja juga rentan terhadap keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi. 

Tablet Tambah Darah Bantu Penuhi Gizi Ibu Hamil yang Terkena Anemia

Fokus pada remaja dan 1000 HPK

Untuk memutus mata rantai anemia bisa dilakukan sejak dini dan penting dilakukan intervensi pada segmen usia.

"Namun dari urgensinya, perbaikan gizi masyarakat sebaiknya difokuskan pada 1000 HPK dan usia remaja,” ujar Diana.   

Kondisi ADB terjadi pada penderita membawa pengaruh jangka pendek dan jangka panjang bagi tiap-tiap generasi.

Jika ditarik benang merah, kondisi ini merupakan ancaman besar mengingat dampaknya terhadap penurunan kualitas sumber daya manusia masa depan. 

Diana mengatakan, intervensi pemenuhan nutrisi dan edukasi secara menyeluruh merupakan upaya dalam memutus mata rantai anemia pada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. 

Pada anak usia lebih satu tahun, pencegahan anemia dapat dilakukan dengan memberikan gizi seimbang.

Angka Anemia Pada Ibu Hamil di Indonesia Masih Tinggi

Seperti pemberian  makanan dan minuman yang mengandung zat besi maupun mikronutrien lain yang mendukung penyerapan zat besi seperti vitamin C. 

Menurutnya, anak sering kekurangan zat besi karena anak pemilih makanan (picky eater), asupan makanan tidak variasi.

Selain itu, ada kondisi tertentu menyebabkan gangguan penyerapan misalnya alergi.

Padahal penting memenuhi zat besi di 1000 HPK karena pada usia tersebut pertumbuhan otak dan fisik sangat pesat.

Bila kekurangan zat besi, sel-sel otak tidak tumbuh optimal dan tidak bisa dikejar.

Akibatnya anak kurang cerdas bila dibandingkan zat besinya terpenuhi.

Pandemi Virus Corona Membuat Risiko Kekurangan Zat Besi Naik pada Anak

Pasalnya kekurangan gizi termasuk  zat besi di otak bersifat irreversible, bila sudah rusak, akan permanen dan tidak bisa diperbaiki.

Berbeda dengan pertumbuhan fisik. Bila terjadi kekurangan pada 1000 HPK masih punya kesempatan  dikejar pada masa pertumbuhan cepat (growth spurt) pada pubertas.

Sementara pertumbuhan otak tidak punya kesempatan kedua.

Sedangkan  pada remaja dapat dilakukan melalui penanaman pola hidup sehat yaitu mengonsumsi makanan yang bersih, sehat, dan bergizi seimbang.

Pada remaja juga dapat diberikan suplementasi tablet tambah darah (TTD).

Tablet tambah darah adalah suplemen gizi dengan kandungan zat besi setara dengan 60 mg besi elemental dan 400 mcg asam folat.

Pada remaja terjadi anemia kurang zat besi karena asupan zat besi rendah terutama besi heme, asupan vitamin C rendah, konsumsi sumber tanin (kopi, teh) berlebihan, dan diet tidak seimbang.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved