Virus Corona
Pandemi Virus Corona Membuat Risiko Kekurangan Zat Besi Naik pada Anak
Pandemi virus corona berdampak besar bagi kehidupan manusia. Salah satunya pada konsumsi protein hewani yang menurun drastis.
Penulis: LilisSetyaningsih | Editor: Valentino Verry
Namun, angka anemia pada balita cukup tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar 2018 (Riskesdas) menunjukkan 1 dari 3 anak balita Indonesia mengalami anemia.
Data lain menunjukkan, lebih dari 40 persen anak balita di negara berkembang menderita anemia dan. 50-60 persen kasus anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi .
Prof. Dr. drg. Sandra Fikawati, MPH, ahli Gizi Ibu dan Anak, mengatakan zat besi adalah salah satu mikronutrien atau sering juga dikenal sebagai vitamin dan mineral yang sangat penting untuk mendukung kemampuan belajar anak.
“Jutaan anak mengalami pertumbuhan terhambat, keterlambatan kognitif, kekebalan yang lemah dan penyakit akibat defisiensi zat besi. Padahal, anak usia prasekolah membutuhkan dukungan lingkungan yang baik, terutama dukungan gizi seimbang, sehingga orangtua harus mengetahui kebutuhan gizi, cara pemenuhannya, serta upaya perbaikan gizinya," jelas Prof Fikawati saat menjadi diskusi virtual yang diadakan Danone belum lama ini.
Jika orangtua tidak waspada, dampaknya akan diketahui saat sudah terlambat. Meskipun seorang anak mungkin terlihat kenyang, bisa jadi tubuhnya tengah kelaparan akibat kekurangan zat gizi mikro.
Dokumen WHO menyatakan, ada bukti kuat melalui penelitian bahwa kekurangan zat besi terlihat secara meyakinkan menunda perkembangan psikomotor dan mengganggu kinerja kognitif anak prasekolah dan anak usia sekolah di Mesir, India, Indonesia, Thailand, dan Amerika Serikat.
Turunkan IQ
Diperkirakan 30-80 persen anak di negara berkembang, mengalami kekurangan zat besi pada usia 1 tahun. Anak-anak ini akan mengalami keterlambatan perkembangan kognitif maupun psikomotor.
Ketika mencapai usia sekolah, anak-anak ini akan mengalami gangguan kinerja dalam tes bahasa, keterampilan motorik, dan koordinasi, setara dengan defisit 5 hingga 10 poin dalam IQ.
IQ (intelligence quotients) adalah salah satu ukuran standar mengukur kecerdasan kognitif yang erat kaitannya dengan kemampuan mengingat, memahami, menganalisa, dan memecahkan masalah.
Menurut skala Stanford-Binet, IQ normal dikisaran 85 - 115. Di bawah 70 sudah disebut keterbelakangan mental. Di atas 135 cerdas tapi konon hanya satu persen dari populasi dunia yang memiliki IQ diatas 135.
Bayangkan bila kekurangan zat besi, pada kasus yang ekstrim harusnya masuk kategori normal, IQ di angka 80, akibat turun 10 poin jadi masuk keterbelakangan mental.
Prof Fikawati mengatakan, konsentrasi belajar menurun adalah salah satu tanda dan gejala anak kekurangan zat besi. Akhirnya performa belajarnya pun turun.
Anak jadi malas mengerjakan tugas dan PR. Secara fisik, tambah bagian bawah mata anak pucat, sering pusing, kuku dan telapak tangan tampak pucat, serta mengalami gejala 5L (lemah, letih, lesu, lelah, lalai).
"Kekurangan zat besi mengganggu performa intelektual dan performa kognitif, serta terlambatnya psikomotorik pada anak usia pra sekolah. Pada anak usia 6-16 tahun yang mengalami defisiensi besi memiliki nilai matematika dan membaca yang lebih rendah ketimbang anak yang normal," paparnya.