Timbulkan Diskriminasi Sosial, Pemerintah Diminta Cabut SKB Larangan Ahmadiyah

Melalui SKB tersebut, pemerintah melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas sesuai keyakinan dan pemahaman yang mereka anut.

TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Ray Rangkuti, salah satu deklarator Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, menilai larangan terhadap Ahmadiyah bertentangan dengan prinsip negara Pancasila. 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menuntut pemerintah segera mencabut SKB 3 Menteri tahun 2008 tentang larangan terhadap aliran Ahmadiyah.

Melalui SKB tersebut, pemerintah melarang Ahmadiyah melakukan aktivitas sesuai keyakinan dan pemahaman yang mereka anut.

Ray Rangkuti, salah satu deklarator Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan menjelaskan, larangan terhadap Ahmadiyah itu jelas bertentangan dengan prinsip negara Pancasila.

Baca juga: Front Persatuan Islam Bakal Ajukan Surat Keterangan Terdaftar Atau Tidak? Ini Kata Aziz Yanuar

"Pancasila yang memberi jaminan bagi setiap warga negara untuk menganut dan menjalankan keyakinan dan agama mereka masing-masing," ucap Ray dalam sebuah pernyataan kepada Tribunnews, Sabtu (2/1/2021).

SKB 3 menteri tersebut bukan saja menyebabkan terhentinya aktivitas menjalankan keyakinan dan pemahaman kaum Ahmadiyah.

Tapi juga menjadi sebab terjadinya diskriminasi sosial terhadap mereka yang tergabung dalam aliran Ahmadiyah.

Baca juga: Pandemi Covid-19 di Indonesia Masuki Tahap Kritis pada 6 Bulan Pertama 2021, Ini Alasannya

"Banyak penganut Ahmadiyah yang terpaksa mengungsi akibat tindakan persekusi yang mereka alami."

"Termasuk menutup rumah ibadah yang mereka dirikan," ujar Ray.

Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan juga meminta Pemerintah segera memulihkan hak berkeyakinan dan beraktivitas terhadap penganut paham Syiah di Indonesia.

Baca juga: UPDATE Kasus Covid-19 di Indonesia 2 Januari 2021: Pasien Positif Tambah 7.203 Jadi 758.473 Orang

Seperti kaum Ahmadiyah, kaum Syiah juga telah lama mendapatkan diskriminasi, bahkan sampai harus mengungsi di negeri sendiri.

"Hak mereka untuk menjalankan berkeyakinan dan beribadah telah dirampas tanpa perlindungan dari negara dalam beberapa tahun," ucap Ray.

Mencabut SKB 3 menteri tersebut, lanjut pengamat politik itu, juga agar pemerintah melindungi keyakinan lokal yang tumbuh di tengah masyarakat.

Baca juga: Ini Rekomendasi KPK Cegah Korupsi Pengadaan Vaksin Covid-19, Jangan Langsung Beli dalam Jumlah Besar

Hak kaum Ahmadiyah maupun kaum Syiah, seperti hak bagi warga negara yang menganut agama tertentu.

Umumnya, mereka juga harus dilindung dan diberi hak yang sama untuk melaksanakan dan menjalankan keyakinan mereka.

"Pemerintah harus memastikan bahwa seluruh corak pemahaman dan ekspresi keberagamaan harus dilindungi sebagai bagian dari hak asasi manusia."

Baca juga: Muncul Organisasi Baru Berakronim FPI, Mahfud MD: Mendirikan Apa Saja Boleh Asal Tak Melanggar Hukum

"Bahwa tindakan hukum terhadap kelompok ataupun warga negara hanya bisa dilakukan jika ada unsur yang melanggar aturan," sambung Ray.

Hukum hanya bisa diberlakukan pada ucapan atau tindakan, bukan pada ekspresi dan paham keagamaan.

Masyarakat Indonesia untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan sekaligus meminta pemerintah meninjau pemberlakuan Peraturan Bersama 2 menteri tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadah.

Baca juga: Warga Depok yang Meninggal Akibat Covid-19 Bisa Dapat Santunan Kematian Rp 15 Juta, Ini Syaratnya

"Memberi hak kelompok masyarakat seperti disebutkan di atas harus sesegera mungkin dilakukan oleh pemerintah, tanpa kecuali."

"Hak ini tidak boleh ditunda, apalagi dicabut," tegas Ray.

Sebelumnya, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memastikan pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia.

Baca juga: Ungkit Daya Beli Masyarakat, Jokowi Bakal Luncurkan Program Bansos 2021 pada 8 Atau 14 Januari

Gus Yaqut menyebut, umat Syiah dan Ahmadiyah juga merupakan warga negara Indonesia yang harus dilindungi.

"Mereka warga negara yang harus dilindungi," kata Yaqut seperti diberitakan Antara, Kamis (24/12/2020).

Gus Yaqut juga menyatakan bahwa Kementerian Agama akan memfasilitasi dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan yang ada.

Baca juga: Tanpa Gejala, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa Positif Covid-19

"Perlu dialog lebih intensif untuk menjembatani perbedaan. Kementerian Agama akan memfasilitasi," katanya.

Pernyataan itu merespons permintaan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, agar pemerintah mengafirmasi urusan minoritas.

Hal ini disampaikan secara daring pada forum Professor Talk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta, Selasa (15/12/2020).

Baca juga: 504 Nakes Indonesia Gugur Akibat Covid-19 Sepanjang 2020, Tertinggi di Asia, 5 Besar di Dunia

"Terutama bagi mereka yang memang sudah tersisih dan kemudian terjadi persekusi, itu perlu afirmasi," papar Azyumardi.

Menurut Azyumardi, afirmasi kurang tampak diberikan pemerintah kepada kelompok minoritas.

Misalnya, saat pemeluk agama minoritas ingin mendirikan tempat ibadah.

Baca juga: Uji Coba SPKLU PLN, Erick Thohir Bilang Jakarta-Bali Pakai Mobil Listrik Cuma Butuh Rp 200 Ribuan

Azyumardi mengatakan, para pengungsi Syiah di Sidoarjo dan kelompok Ahmadiyah di Mataram harus mengalami persekusi oleh kelompok Islam 'berjubah.'

Namun, persoalan intoleran itu, menurut Azyumardi, bukan muncul di kalangan Umat Islam saja, melainkan juga dialami oleh pemeluk agama lain di Indonesia.

"Di wilayah yang mayoritas Kristen, itu Katolik susah bikin gereja."

Baca juga: Orang dari Luar Negeri Wajib Dikarantina Lima Hari di Hotel, WNI Gratis, WNA Bayar

"Yang mayoritas Katolik, orang Kristen juga susah untuk membangun," beber Azyumardi.

Ia berpendapat, akan sulit bagi kelompok yang memiliki relasi kekuatan (power relation) minim di suatu lokasi, bisa mendapat restu mendirikan tempat ibadah tersebut dari kelompok yang memiliki relasi kekuatan yang lebih kuat.

"Ini masalah power relation sebetulnya."

Baca juga: JADWAL Lengkap Libur Nasional dan Cuti Bersama 2021, Paling Banyak di Bulan Mei

"Siapa yang merasa dia mayoritas."

"Jadi, yang begini-begini, power relation yang harus diatur begitu, ya (oleh pemerintah). Bagaimana supaya adil," paparnya.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang mendasarkan pendirian rumah ibadah pada komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa, sulit dilakukan ketika relasi kekuatan tadi belum merata.

Baca juga: Waketum MUI Anwar Abbas Bingung Ada Pihak Terlalu Membesarkan Masalah Radikalisme dan Intoleransi

Azyumardi mengatakan, faktor pemekaran daerah yang kurang diperhatikan oleh pemerintah juga ikut andil menyebabkan permasalahan tersebut.

"Itu saya kira perlu ditata ulang ini, ya."

"Bagaimana pihak yang berkuasa ini merasa kurang toleran."

"Jadi, masih perlu saya kira dilakukan afirmasilah dari tingkat nasional," cetus Azyumardi. (Lusius Genik)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved