Pilkada Serentak 2020
Ketua Bawaslu Ungkap Polisi dan Satpol PP Takut Bubarkan Kampanye Pasangan Calon Petahana
Aparat penegak hukum di daerah masih takut membubarkan kampanye pasangan calon petahana.
WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Abhan mengatakan, aparat penegak hukum di daerah masih takut membubarkan kampanye pasangan calon petahana.
Meskipun, Bawaslu telah menyatakan kegiatan paslon tersebut melanggar ketentuan protokol kesehatan.
"Meskipun Bawaslu sudah menyatakan ini bersalah, mari kita bubarkan, tapi ada beban psikis dari kepolisian dan Satpol PP, kemudian saling lempar."
Baca juga: DAFTAR Terbaru 32 Zona Merah Covid-19 di Indonesia: Jakarta Sisa Dua, Aceh Paling Banyak
"Diminta Bawaslu sendiri saja yang lakukan pembubaran, karena dia melihat ini incumbent, ini petahana," kata Abhan dalam diskusi virtual LHKP PP Muhammadiyah, Rabu (21/10/2020).
Abhan menyebut banyak aparat penegak hukum di daerah masih tidak tegas melihat pelanggaran di lapangan.
Mereka mengalami beban psikologis jika diminta membubarkan kampanye paslon petahana, sekalipun paslon yang bersangkutan sudah dinyatakan bersalah.
Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, Menaker: Jokowi Pilih Tinggalkan Legacy untuk Kita Semua, Bukan Cari Aman
Padahal, kata dia, Kapolri telah mengeluarkan maklumat untuk membubarkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19.
Presiden juga menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan Covid-19.
Dua regulasi itu semestinya dipatuhi dan menjadi pegangan kepolisian dalam melakukan tindakan di lapangan.
Baca juga: Ini Peralatan yang Diminta Dibawa Pelajar untuk Demonstrasi Rusuh, dari Sarung Tangan Hingga Raket
Mengetahui kenyataan itu, Abhan tak habis pikir jika Bawaslu tidak ada.
"Andaipun tidak ada Bawaslu, mau dikemanakan maklumat Kapolri yang menyebut kalau ada kerumunan dibubarkan?"
"Mau dikemanakan Inpres 6 Tahun 2020 yang menyebut polisi harus bertindak apa?"
Baca juga: DAFTAR 25 Zona Hijau Covid-19 di Indonesia: Papua Mendominasi, Jawa Nihil
"Inilah problem di lapangan. Kalau ini dibebankan kepada penyelenggara, tentu kami enggak akan mampu menghadapi begitu banyak kerumunan massa sampai 500 - 1.000 misalnya," ucap Abhan.
Abhan menyayangkan ketegasan aparat penegak hukum menindak pelanggar protokol kesehatan di Pilkada 2020 yang masih minim.
Padahal, ketegasan tersebut memiliki sisi kemanusiaan tersendiri.
Baca juga: 40 Warga Kabupaten Bogor Jadi Pasien Baru Covid-19 per 20 Oktober 2020, Muncul 5 Klaster Keluarga
"Kalau begitu banyak kerumunan tapi kita tidak bubarkan, asumsi yang terjadi adalah sudah banyak orang tertular Covid-19," papar Abhan.
Menurutnya, setiap individu, khususnya penegak hukum, bisa memahami betapa pentingnya menjaga keselamatan warga dalam pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Jika ditemukan kegiatan kampanye yang terbukti melanggar ketentuan dan telah direkomendasikan oleh Bawaslu, maka semestinya tak lagi ada keraguan untuk membubarkannya.
Baca juga: Kondisi Membaik Usai Ditembak KKSB, Dosen UGM Bambang Purwoko Merasa Beruntung
"Padahal perlu pemahaman yang sama pentingnya menjaga keselamatan jiwa warga dalam pilkada di tengah pandemi."
"Tindakan tegas dari aparat penegak hukum juga diperlukan, berikut juga dengan penerapan sanksi bagi pelanggarnya," paparnya.
Terbitkan 6 Rekomendasi Diskualifikasi
Abhan menyatakan ada sejumlah paslon petahana yang sudah direkomendasikan diskualifikasi kepada KPU.
Rekomendasi keluar karena terjadi pelanggaran penggunaan anggaran dan program pemerintah oleh paslon petahana.
"Sudah beberapa daerah yang sampai kami lakukan rekomendasi diskualifikasi."
Baca juga: Jokowi Ingin UU Cipta Kerja Segera Diterapkan Agar Pengusaha Muda Cepat Bangkit
"Terutama bagi petahana yang melakukan program pemerintah untuk kepentingan kampanye," ungkap Abhan.
Sejauh ini ada 6 daerah yang telah diberikan rekomendasi diskualifikasi oleh Bawaslu.
Meliputi Kabupaten Banggai (Sulawesi Tengah), Pegununangan Bintang (Papua), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Halmahera Utara (Maluku Utara), Kabupaten Gorontalo, dan Kabupaten Kaur (Bengkulu).
Baca juga: Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani Mengaku Mau Ditangkap Polisi, Kini Bakal Diperiksa Bareskrim
Selain memanfaatkan program pemerintah untuk kepentingan kampanye, para paslon di wilayah tersebut juga terbukti menyalahgunakan APBD, bahkan mempolitisasi bantuan sosial Covid-19.
Praktik semacam itu dilarang dalam Pasal 71 Ayat (3) UU 10/2016 tentang Pilkada.
"Ini tentu melanggar pasal 71 ayat (3), dan ada 6 daerah yang sudah kami rekomendasi diskualifikasi."
Baca juga: Bulan Depan Buruh Gelar Unjuk Rasa Akbar Lagi, Tuntut DPR Lakukan Legislative Review UU Cipta Kerja
"Karena selama kegiatan kampanye atau sebelumnya telah menyalahgunakan kewenangan APBD dan bahkan juga bansos Covid-19," beber Abhan.
Bawaslu turut mencatat ada sejumlah titik kerawanan kampanye Pilkada di tengah pandemi Covid-19 kali ini.
Di antaranya alat peraga kampanye (APK) dan bahan kampanye yang tidak sesuai ketentuan, praktik politik uang, ASN tidak netral, hoaks, disinformasi, kampanye hitam, hingga kampanye negatif.
Baca juga: Jepang Utangi Indonesia Rp 6,95 Triliun untuk Tanggulangi Covid-19, Juga Bantu Alat Medis
Kemudian ada pula kerawanan penggunaan fasilitas negara yang dilakukan petahan, materi kampanye memuat hal terlarang, dan pelibatan anak dalam kampanye.
Lalu, pelanggaran protokol kesehatan, pemberitaan dan penyiaran kampanye yang tidak berimbang, serta kampanye di luar jadwal.
Isu Konvensional
Abhan mengatakan, dari sekian tahapan yang ada dalam Pilkada Serentak 2020, masa kampanye jadi tahapan paling krusial.
Sebab, lewat tahapan ini setiap pasangan calon berlomba menarik hati pemilih. Mereka membangun citra dan menyajikannya ke hadapan pemilih.
"Karena tahapan ini menyampaikan visi misi program dan citra diri peserta pemilu," ucap Abhan.
Baca juga: Bulan Depan Buruh Gelar Unjuk Rasa Akbar Lagi, Tuntut DPR Lakukan Legislative Review UU Cipta Kerja
Namun, Abhan mengakui isu - isu yang digunakan para paslon pemilihan masih konvensional, seperti melontarkan janji pendidikan gratis.
Sementara, isu seperti penguatan sistem anggaran belum mereka gunakan.
Bahkan, isu-isu yang berkolerasi dengan pandemi Covid-19 seperti bagaimana strategi pemulihan perekonomian pasca-pandemi, masih kurang digali oleh para peserta pilkada.
Baca juga: Jepang Utangi Indonesia Rp 6,95 Triliun untuk Tanggulangi Covid-19, Juga Bantu Alat Medis
"Kalau melihat beberapa isu yang dilontarkan paslon, memang kampanyenya masih sifatnya konvensional. Misal janji sekolah gratis," ucap dia.
Lantaran masa kampanye merupakan tahapan untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya, banyak paslon yang cenderung menggunakan metode tatap muka (pertemuan terbatas).
Metode ini masih dianggap paling efektif untuk berdiskusi dengan masyarakat, sekalipun jumlah peserta yang boleh hadir dibatasi tak lebih 50 orang.
Baca juga: Said Iqbal Tantang Fraksi PKS dan Demokrat Ajukan Legislative Review UU Cipta Kerja
Berdasarkan data Bawaslu, 95 persen kegiatan kampanye paslon dilakukan secara tatap muka.
Hanya 5 persen saja yang memanfaatkan metode kampanye lewat media daring atau virtual.
"Mungkin karena inilah ruang yang bisa langsung berdiskusi dengan publik meskipun dengan jumlah hanya 50 peserta."
"Tapi ini masih jadi primadona paslon berkampanye melalui pertemuan langsung," ujar Abhan. (Danang Triatmojo)