Pilkada Serentak 2020

Uang Kunci Menangkan Pilkada, Ketua KPK Bilang Calon Kepala Daerah Minimal Harus Bermodal Rp 65 M

Menurut penuturan si calon kepala daerah yang diwawancarai Firli, ia hanya memiliki duit Rp18 miliar.

ilustrasi
ILUSTRASI 

WARTAKOTALIVE, JAKARTA - Biaya menjadi kepala daerah tidak lah murah.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengungkapkan, setidaknya calon wali kota/bupati harus mengantongi minimal Rp 65 miliar.

"Jadi ini wawancara indepth interview, ada yang ngomong Rp 5 miliar sampai Rp 10 miliar."

Baca juga: Pekan Ini Polisi Bakal Tetapkan Tersangka Kebakaran Gedung Kejaksaan Agung, Mengaku Tak Ada Kendala

"Tetapi ada juga yang ngomong kalau mau ideal menang di pilkada itu, bupati/wali kota setidaknya punya uang Rp 65 miliar," ungkap Firli dalam Webinar Nasional Pilkada Berintegritas 2020, yang ditayangkan saluran Youtube KPK, Selasa (20/10/2020).

Menurut penuturan si calon kepala daerah yang diwawancarai Firli, ia hanya memiliki duit Rp18 miliar.

"Uang memang masih menjadi kunci untuk memenangkan pertarungan dalam pilkada," kata Firli.

Baca juga: Mahfud MD Minta Demonstran Waspadai Penyusup Cari Martir, Polisi Dilarang Bawa Peluru Tajam

Firli menuturkan, politik uang yang sangat besar ini yang menjadi beban bagi para kepala daerah terpilih, lantaran harus mengembalikan uang yang selama masa kampanye dia keluarkan.

Menurutnya, hal ini yang masih menjadi pekerjaan rumah, tak hanya bagi KPK, namun bagi semua masyarakat.

"Ini PR kita bersama. Dari mana uangnya? Uangnya dibiayai oleh pihak ketiga."

Baca juga: Berdagang Mi Ayam Dini Hari di Masa Pandemi, Omzet Penjualan Bejo Kini Kembali Normal

"Dan hasil penelitian kita 82,3 persen, biaya itu dibantu oleh pihak ketiga."

"2017, 82,6 persen dibantu oleh pihak ketiga."

"2018, 70,3 persen dibantu oleh pihak ketiga," beber Firli.

Baca juga: Polisi Ciduk 3 ABG yang Provokasi Pelajar Bikin Kerusuhan di Jakarta, Juga Ajak Bikin Chaos Hari Ini

Firli mengungkapkan, berdasarkan penelitian, pihak ketiga mau membantu lantaran dijanjikan sesuatu oleh para calon kepala daerah jika nantinya terpilih.

Kebanyakan janjinya dengan memudahkan pihak ketiga mendapatkan proyek dalam pemerintahan di daerah tersebut.

"Artinya, para calon kepala daerah ini sudah menggadaikan kekuasannya kepada pihak ketiga yang membiayai biaya pilkada."

Baca juga: Usulkan Masa Jabatan Presiden 7-8 Tahun dan Satu Periode, MUI Diminta Urus Masalah Agama Saja

"Kalau itu terjadi, sudah tentu akan terjadi korupsi, dan tentu juga akan berakhir pada masalah hukum," papar Firli.

Firli mengungkapkan, 24 dari 36 provinsi sudah terjaring kasus korupsi sepanjang 2004 hingga 2020.

"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi, ini memprihatinkan bagi kita," papar Firli.

Baca juga: Kabupaten Bogor Tambah 32 Pasien Covid-19 pada 19 Oktober 2020, Tenjo Kembali ke Zona Merah

Komisaris Jenderal Polisi itu menguraikan, posisi tertinggi ditempati oleh Jawa Barat dengan 101 kasus tindak pidana korupsi.

Kemudian diikuti Jawa Timur 93 kasus, Sumatera Utara 73 kasus, Riau dan Kepulauan Riau 64 kasus, serta DKI Jakarta 61 kasus.

"Ada delapan provinsi yang tidak ada kasus korupsi."

Baca juga: Begini Pengalihan Arus Lalu Lintas di Sekitar Istana Negara Jika Massa Demonstran Membeludak

"Mudah-mudahan ini adalah pencegahannya berjalan, karena sesungguhnya ada intervensi KPK terkait pencegahan korupsi," ucap Firli.

Mantan Kapolda Sumatera Selatan itu pun menyebut daerah-daerah yang berhasil melaksanakan pencegahan akan mendapatkan dana intensif dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Baru tahun ini, tahun-tahun lalu belum karena kita negoisasi."

Baca juga: DAFTAR Halte Transjakarta yang Tutup Sementara Jelang Aksi Unjuk Rasa 20 Oktober 2020

"'Bu Menteri (Sri Mulyani) kalau ini seandainya orang sudah bekerja untuk pencegahan korupsi tetapi tidak ada imbalan, tidak ada reward-nya orang malas'."

"Akhirnya alhamdulillah oleh Ibu Menteri diberikan intensif daerah yang sukses melaksanakan kegiatan pencegahan korupsi," ungkapnya.

Firli juga membeberkan data soal jenis perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah sepanjang 2004 sampai 2020.

Baca juga: Tabrakan Beruntun Libatkan 11 Kendaraan di Kramat Jati, Sopir Angkot Sempat Terjebak Lima Menit

"Kita lihat fakta para pelaku korupsi."

"Jadi, kasus-kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap itu 704, di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48, TPPU 36."

"Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," beber Firli.

Baca juga: Cegah Lonjakan Kasus Covid-19, Warga Jakarta Diminta Tak Keluar Kota pada 28-30 Oktober 2020

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyinggung mahalnya biaya ongkos yang harus dikeluarkan oleh pasangan calon yang ingin maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sehingga, banyak para calon yang berusaha mengembalikan biaya itu dengan menghalalkan segala cara.

Salah satunya, dengan keterlibatan cukong dalam pesta demokrasi itu.

Baca juga: Dalam Waktu Dekat Bareskrim Bakal Tetapkan Tersangka Kasus Kebakaran Gedung Kejaksaan Agung

Hal itu diungkapkan Mahfud MD dalam webinar evaluasi 15 tahun pelaksanaan Pilkada: Capaian dan Tanggapan, yang disiarkan kanal YouTube CSIS Indonesia, Rabu (14/10/2020).

"Karena biaya pilkada itu mahal, ada percukongan."

"Kemarin saya keliru ngutip 92 persen, yang benar itu 82 persen menurut data KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pemilihan kepala daerah itu disponsori orang lain."

Baca juga: Ini Alasan Ada Anggota DPR Tak Dapat Naskah RUU Cipta Kerja Saat Rapat Paripurna Pengesahan

"Sponsor itu ya cukong kan?"

"Karena artinya cukong itu orang yang membiayai kegiatan orang lain karena punya modal."

"Dan di situ kemudian terjadi jual beli kebijakan."

Baca juga: Jamin Keamanan Pengunjung, Dewan Pariwisata Hong Kong Luncurkan Standarisasi Protokol Kesehatan

"Saya dukung Anda, tapi besok saya minta ini, minta itu, minta ini, minta itu," tambahnya.

Mahfud MD juga mengungkapkan sejumlah kecurangan penyalahgunaan yang ditemukan. Yakni, dana pemerintah yang digunakan untuk kebutuhan pilkada.

"Bansos misalnya. Ditumpuk sekian nanti pas menjelang hari pilkada dibagi dengan gambar calon tertentu yang kebetulan petahana," beber Mahfud MD.

Baca juga: Demonstran Gaungkan Mosi Tidak Percaya, Politikus PDIP: Tak Mudah Menurunkan Presiden Pilihan Rakyat

"Kemudian terjadi pengadangan terhadap pemilih, teror terhadap pemilih, tadi saya sebut money politic, dropping orang dari daerah-daerah lain dan sering bawa kartu dan itu sudah main juga dengan TPS-nya."

"Itu yang dulu saya adili ketika menjadi ketua MK," jelasnya. (Ilham Rian Pratama)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved