Berita Jakarta
Bapemperda DKI Beberkan Jenis Pelanggaran yang Dijerat Sanksi Pidana dari Perda Covid-19
Pemerintah hanya mengatur sanksi pidana dengan denda maksimal, kemudian untuk besaran dendanya sesuai keputusan hakim.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Feryanto Hadi
WARTAKOTALIVE.COM, GAMBIR - Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bamperda) DPRD DKI Jakarta Pantas Nainggolan membeberkan jenis pelanggaran yang bisa menjerat seseorang dengan sanksi pidana.
Adapun sanksi pidana itu telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Penanggulangan Covid-19 yang disahkan Pemprov dan DPRD DKI Jakarta, Senin (19/10/2020) siang.
Politisi PDI Perjuangan ini mengatakan, untuk jenis pelanggaran pertama adalah bila seseorang memaksa untuk mengambil jenazah yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Alih-alih dimakamkan melalui prosedur tetap (protap) Covid-19, keluarga atau kerabat pasien malah mengambil jenazah untuk dimakamkan dengan tata cara yang biasa.
Baca juga: Waduh, IMB Melati Residence Jagakarsa yang Menewaskan Seorang Warga Tidak Tercatat di PTSP
Baca juga: Sederhanakan Implementasi Raperda Penanggulangan Covid-19, Bapemperda DPRD DKI Kurangi Jumlah Pasal
“Ada juga sesuatu yang ditakuti, yang ditakuti apa? Nah sanksi, dan untuk sanksi ini pun terbatas, sanksi pidana ini terbatas misalnya menarik jenazah secara paksa,” ujar Pantas usai rapat paripurna pengesahan Perda Penanggulangan Covid-19 pada Senin (19/10/2020) siang.
Kemudian jenis pelanggaran yang kedua, kata dia, menolak untuk dilakukan pengobatan dan vaksinasi ketika vaksin telah ditemukan.
Apabila vaksin ditemukan, pemerintah akan menggiatkan vaksinasi kepada warganya demi melawan Covid-19.
“Harapan kami supaya betul-betul tumbuh imunitasnya, maka pemerintah punya kewajiban untuk melakukan vaksinasi kepada masyarakat,” katanya.
Baca juga: PSBB Transisi, 77 RPTRA di Jakarta Utara Sudah Dibuka untuk Umum
Kemudian pelanggaran yang terakhir, ujar dia, melarikan diri dari fasilitas kesehatan saat menjalani pengobatan. Pasien Covid-19 wajib mematuhi ketentuan saat berobat atau menjalani isolasi, dengan harapan virus tidak menularkan kepada orang lain.
“Kemudian yang terakhir bagi orang yang melarikan diri dari fasilitas kesehatan. Itulah yang diancam, dan sekali lagi itu ancaman pidana denda yang kami cantumkan itu adalah maksimal,” jelasnya.
Pantas mengatakan, pemerintah hanya mengatur sanksi pidana dengan denda maksimal, kemudian untuk besaran dendanya sesuai keputusan hakim.
Baca juga: BEM SI Gelorakan Seruan Aksi Nasional Geruduk Istana Negara Tolak UU Ciptaker pada Selasa 20 Oktober
Dalam tindak pidana ringan (tipiring), terkadang ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil sebuah keputusan, sehingga denda bisa menjadi lebih rendah dari yang diatur dalam Perda.
“Untuk nilai denda, kami kasih maksimal dan tidak bisa dari itu. Kalau dikurangi, itu terserah kepada pertimbangan hakim. Bisa saja melihat situasi, hakim mungkin tidak menghukum apa-apa atau membebaskan, itu bisa,” katanya.
“Bisa juga karena melihat kondisi (pelanggar) mungkin hanya kena denda Rp 50.000. Jadi itu sepenuhnya tergantung kearifan dan kebijaksanaan hakim di dalam menilai setiap peristiwa yang disidangnya,” tambah dia.
Baca juga: Kapolres Jakarta Selatan Gandeng Komunitas Deklarasi Jaga Jakarta dari Tindak Anarkisme
Bila mengacu pada Pasal 29 dijelaskan, setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan tes cepat atau PCR yang diselenggarakan DKI dapat dikenakan denda paling banyak Rp 5 juta.