Kriminalitas

Berharap Hukuman Matinya Dibatalkan, Berikut Ini Isi Memori Banding Terpidana Mati Aulia Kesuma

Memori banding telah diserahkan keduanya lewat kuasa hukum mereka, Firman Candra, ke PT DKI pada 10 Agustus Lalu.

Penulis: Budi Sam Law Malau | Editor: Feryanto Hadi
Warta Kota
Firman Candra, kuasa hukum Aulia Kesuma dan Geovanni 

Berikut delapan poin tersebut:

1. Hukuman mati atau yang sering disebut dengan pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 Direktorat Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu hak untuk hidup dan Pasal 4 Undang-Undang No.29 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

2. Terdakwa Aulia Kesuma memiliki putri yang masih balita dari perkawinannya dengan almarhum EDI CANDRA PURNAMA (korban yang dibunuh Aulia).

3. Beberapa Yurisprudensi kasus pembunuhan yang menyita perhatian publik, sudah divonis majelis hakim dan inkracht tidak ada vonis pidana mati seperti: Afriani Susanti dengan korban 9 orang meninggal dengan vonis 15 tahun; Magriet Christina Megawa dengan satu korban meninggal dengan vonis seumur hidup; dan Jessica Kumala Wongso dengan satu korban meninggal dengan Vonis 20 tahun

4. Selama hukuman mati masih menjadi sanksi dalam hukum pidana, maka Indonesia disebut masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam pancasila.
Hukuman mati yang diturunkan penjajah juga dianggap tidak mengambarkan kemajuan secara nasional atau[uj internasional.

5. Berdasarkan Ditjen Permasyarakatan 2019 dan database ICJR mengenai hukuman mati di Indonesia (2020) menunjukan ada sekitar 274 terpidana mati dalam lapas.
Sementara itu 60 orang yang sudah duduk menunggu eksekusi mati selama lebih dari 10 tahun, tanpa kejelasan hidup, jauh dari kemanusiaan yang adil dan beradab.

6. Hukuman mati di berbagai belahan dunia memang masih menuai pro dan kontra. Albert Camos dalam esai panjang Reflection on the Guillotine menentang hukuman mati.
Menurut dia, hukuman ini tak memberikan keadilan juga tidak tak memberikan dampak apapun kterhadap kejahatan.
Ia hanya sebuah tindakan brutal. Hukuman mati hanya memberikan kepuasan sesaat, tak ada efek jera dan tak menghentikan agar kejahatan serupa tak terjadi lagi dan dalam argumenya itu, Camuo menyebut negara tak punya hak untuk merebut hidup orang lain.

7. Pada 2015 beberapa negara akhirnya memutuskan untuk menghapus praktik hukuman mati dalam konstitusi mereka.
Madagaskar telah menghapus hukuman mati pada tahu 2015, disusul kemudian Fiji pada bulan februari, Suriname pada bulan Maret dan pada November 2015, Congo memutuskan untuk menghapus sama sekali hukuman mati.

8. Berdasarkan alasan- alasan tersebut, kuasa hukum menyatakan dua terdakwa yakni Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin tidak terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan Pertama Pasal 340 Jo. 55 Ayat 1 ke 1 KUHP dan harus segera dibebaskan dari vonis Pidana Mati tersebut.

Sebelumnya Aulia Kesuma dan putranya Geovanni Kelvin divonis hukuman mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, karena terbukti membunuh Edi Chandra Purnama dan Muhammad Adi Pradana alias Dana, secara berencana.

"Terdakwa satu yakni Aulia Kesuma dan terdakwa dua yakni Geovanni Kelvin, terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal.340 KUHP. Karenanya menjatuhkan hukuman kepada masing-masing terdakwa dengan pidana mati," kata Ketua Majelis Hakim Yosdi dalam pembacaan putusannya di PN Jakarta Selatan, Senin (15/6/2020).

Majelis hakim menilai dua terdakwa terbukti melakukan pembunuhan berencana dan tergolong sadis serta tidak sesuai dengan hak asasi manusia.

Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Sigit Hendradi.

Sigit mengaku mengapresiasi putusan majelis hakim yang sesuai tuntutan.

Selanjutnya, JPU menunggu sikap kedua terdakwa, apakah akan banding atau menerima putusan.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved