Kolom Trias Kuncahyono
Cerita Guru: Setelah Kain Membunuh Abil
Banyak orang seringkali berlaku seolah-olah seperti orang yang tuli dan bahkan acuh-tak acuh. Padahal punya telinga dan bisa mendengarkan.
Yang lebih menyedihkan lagi, menurut Cherian George (2016), kebencian agama, kebencian etnis dijadikan modal dasar dan dijual untuk kepentingan politik, untuk meraih dan merebut kekuasaan politik.
Agama adalah sumber paling ampuh untuk membakar amarah massa. Ada klaim kemutlakan di sana, menjanjikan surga atau neraka, menjadi sumber emosi yang sangat bisa diandalkan.
Agama menawarkan simbol-simbol yang sudah siap-pakai, ritual, dan solidaritas yang bisa diakses dan dimanfaatkan oleh para pemimpin gerakan.
Mengapa semua itu bisa terjadi, Guru? Seorang murid memberanikan diri memotong penjelasan Guru dan bertanya.

Guru berhenti sejenak, melihat murid yang bertanya, yang kelihatan ketakutan.
Tetapi Guru lalu tersenyum dan mengatakan: Semua itu karena formalisme agama. Formalisme agama amat mudah digunakan oleh kepentingan politik yang tidak jujur, guna menciptakan ketakutan dan perpecahan di masyarakat.
Hal semacam itu, terlihat di dalam masyarakat demokratis, dimana rakyat bisa memilih langsung para wakil dan pimpinannya di pemerintahan.
Agama pun digunakan untuk mengumpulkan suara rakyat demi mendukung calon tertentu, sekaligus membenci calon lainnya.
Rakyat yang bodoh, yang masih terjebak pada formalisme agama, akan dengan mudah tertipu, dan memang ditipu.
Oleh karena itu, bagi yang melihat kaitan erat antara agama dan politik, maka tindakan tanpa kekerasan dalam politik adalah tindakan yang religius.
Inilah yang dikatakan membawa yang kudus ke dalam politik. Dalam bahasa lain dapat dikatakan, kembalikan moralitas dalam berpolitik.
Tetapi, masih ada yang mengatakan, bukankah ruang politik adalah ruang kepentingan.
Maka dari itu, kepentingan realitas politik dan kepentingan suara pemilih yang menjadi perhatian utama.
Benar bahwa ruang politik adalah ruang kepentingan. Akan tetapi, menurut T Krispurwana Cahyadi SJ (2006), kalau alasan pragmatis yang lebih diutamakan, maka tujuan berpolitik tidak akan tercapai.
Sebab, tujuan politik adalah untuk membangun masyarakat yang sehat. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas.