Kolom Trias Kuncahyono

Cerita Guru: Setelah Kain Membunuh Abil

Banyak orang seringkali berlaku seolah-olah seperti orang yang tuli dan bahkan acuh-tak acuh. Padahal punya telinga dan bisa mendengarkan.

Istimewa
Kain dan Abil (ilustrasi) 

Ia sudah berencana kalau ditanya ayah dan ibunya, Adam dan Hawa, ia akan menjawab, “Saya tidak tahu, mungkin menggembala.”

Sebagai saudara tua, Kain sudah kehilangan rasa persaudaraan, rasa kemanusiaannya.

Titus Maccius Plautus (254-184 SM) mengatakan, orang semacam itu  bagaikan serigalalupus est homo homini, non homo quom quails sit non novit, manusia serigala bagi sesamanya; ia bukan manusia apabila tidak paham hakikatnya.

Manusia dikaruniai akal budi, kebebasan, dan hati nurani. Ketiga unsur ini yang sering disebut sebagai “kaki tiga emas” secara alami dan hakiki membedakan manusia dengan ciptaan lain, fauna, flora, dan materi.

Dengan akal budinya, manusia mendengarkan suara Hyang Jagat Nata yang mengajaknya untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat.

Foto ilustrasi
Foto ilustrasi (Istimewa)

Tindakan Kain telah menjadi “kakek-moyang” segala kejahatan manusia, karena tidak mau mendengarkan suara untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat.

Sejak saat itulah, manusia mampu menghancurkan sesamanya. Sejak saat itu pula, muncul kebencian, iri-hati, kecemburuan, kebohongan, kepalsuan, kepura-puraan, dan segala tindakan yang tidak manusiawi lainnya.

F Budi Hardiman (2011) menceritakan, seniman Jerman Günter Uecker dalam pameran instalasinya menderetkan 60 kata dari Perjanjian Lama yang melukiskan destruksi manusia atas sesamanya, seperti: merampas, menghancurkan, membakar, menganiaya, menikam, menyiksa, memecah-belah, menistakan, melupakan, mencemarkan, mengolok-olok, meludahi, membasmi, menggebuki, mencuri, melecehkan, mencabik-cabik, menyeret, dan menggores.

 Di luar padepokan ini, kalian dengan mudah bisa menemukan dan merasakan suasana, iri-hati, kebencian, tidak percaya, kecurigaan, dan praktik-praktik lainnya yang tidak selaras dengan hakikat manusia dan kemanusiaan.

Entah itu, iri hati ekonomi, sosial, maupun politik; juga kebencian politik, kebencian sosial, kebencian etnis, kebencian agama, iri hati etnis, dan semangat intoleransi.

Wajah dunia kita dipenuhi konflik, permusuhan, kekerasan, kesewenang-wenangan,  sikap mau menang sendiri, dan menganggap benar sendiri.

Banyak orang yang berlomba untuk mencari dan memenuhi kepentingannya sendiri, tanpa memedulikan orang lain.

Maka karena itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme termasuk dalam dunia politik merajalela. Egoisme, nafsu dan ambisi serta ketidakadilan, menjadi ciri yang lain dunia kita.

Yang lebih menyedihkan lagi, kata Guru lalu berhenti sesaat dan diam serta memejamkan mata.

Kami semua merasakan, betapa Guru sangat sedih merasakan bahwa kebencian telah membangun kerajaan.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved