Opini

Sains, Transhuman, dan Digital Realm

Tapi tulisan Hamid memang provokatif dan menggugah. Dalam tiga bagian terakhir dari enam tulisannya yang berseri itu, ia menulis tentang “transhuman”.

theconversation.com
Ilustrasi 

Dalam bukunya “Being Digital” [1996], Nicholas Negroponte dengan amat gamblang membedakan apa itu “atom” dan apa itu bilangan biner atau “bits” (binary digits).

Itulah transisi terpenting peradaban manusia, menurut pendapat saya. Negroponte sendiri bukanlah saintis ecek-ecek, karena ia ikut mendirikan MIT Media Labs, dan kurang lebih 20 tahun memimpin organisasi tersebut.

Atom, dalam buku itu, ia gambarkan sebagai suatu bentuk yang memiliki bobot atau massa. Atom-atom terdiri atas proton, elektron, dan neutron.

Sedangkan bits adalah perpindahan data secara elektronik -artinya bergerak dalam kecepatan gerak elektron- secara gegas dan instan dalam kecepatan perpindahan yang satuannya adalah kecepatan cahaya.

Berapa kecepatan cahaya? 300 juta meter per detik. Orang eksak biasanya menuliskan 3,00 x 100 juta meter/second.

Dalam ruang hampa atau dihampakan, kecepatan gerak ini bisa berubah lebih cepat karena tidak ada hambatan. Jadi, untuk mempercepat dan memperlambat pergerakan, saintis dapat mengelolanya –lebih tepat mengendalikan-- dengan memberikan medium atau lingkungan yang tepat.

Artinya, sains telah membuat manusia memiliki kemampuan untuk mengendalikan partikel yang bergerak dalam kecepatan cahaya tersebut.

Dengan demikian, para saintis yang tadinya masih berbicara tentang suatu “massa” yang jika digerakkan memerlukan usaha dan waktu, dalam konversi “bit” dia menjadi virtual atau digital, karena praktis tidak ada lagi “massa” yang (diasumsikan) digerakkan dari satu titik ke titik lainnya.

Setiap bit dapat digerakkan dipindahkan dimobilisasi secara instan melalui berbagai platform.

Bits adalah fondasi bagi terbentuknya alam digital (digital realm). Sedangkan atom adalah fondasi alam natural, yang secara fisik masih dapat diimajinasi atau dideteksi secara inderawi ataupun menggunakan alat bantu.

Bits adalah elemen dasar dari komputasi, yang hasil turunannya sudah menjadi berbagai macam produk yang kita nikmati sehari-hari.

Tapi apa sesungguhnya prinsip dasar atau prinsip kerja mesin komputasi?

Input dan output. Itu saja. Sebuah mesin komputasi sederhana, dengan suatu interface tertentu, dapat menjalankan perintah yang kita berikan, dan memberikan hasil yang kita inginkan.

Tapi pertanyaannya menjadi sangat filosofis. Apa yang diinginkan manusia? Tak terbatas. Para psikolog yang mempelajari seluk beluk perilaku manusia makin menebalkan soal itu.

Untuk memenuhi keinginan manusia yang tak terbatas itu, saintis yang menekuni dunia komputasi kemudian terus berinovasi, sehingga produk digital juga makin berkembang dari waktu ke waktu.

Dari yang berukuran raksasa pada waktu pertama kali ditemukan, hingga berskala mikro atau nano hari ini, sampai yang kemudian dapat dibenamkan dalam tubuh seperti Bethany pada cerita di atas.

Manusia terus menginginkan sebuah mesin yang mampu mengenali dirinya, mesin yg bisa belajar mengenai apa yang mereka butuhkan, dan kemudian lebih jauh lagi “memahami secara mendalam” (sering disebut verstehend dalam paradigma berpikir Max Weber), baik input yang sifatnya verbal maupun nonverbal.

Paradigma berpikir dan bekerja mesin semacam inilah yang kemudian akan mendasari apa yang disebut sebagai kecerdasan buatan (artificial intelligence), yakni ketika ia memiliki kecerdasan untuk berlaku sebagaimana manusia memahami manusia yang lain.

Saya tak punya imajinasi ataupun referensi yang cukup memadai ketika harus menautkan perkembangan sains yang sudah sampai tahapan sedemikian, berkorelasi atau dikorelasikan dengan agama.

Apa dasar-dasar legitimasi yang harus digunakan oleh agama ketika manusia sudah mengalami komodifikasi digital dan ia menjadi berkemampuan yang tak lagi sama dengan fitrahnya sebagai manusia yang didalilkan oleh agama-agama?

Jikapun ada yang memaksakannya, saya khawatir yang akan terjadi bukanlah semacam pertautan agama dan sains melainkan cocokologi semata-mata dan itu bagi saya jelas justru mendegradasi legitimasi agama yang diyakini manusia, human being.

Entah dengan transhuman.

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved