Virus Corona
Warga Amerika Buru Obat Sakit Mag, Diklaim Famotidine Bisa Cegah Virus Corona, Simak Penjelasan Ahli
Warga Amerika serikat buru obat sakit mag atau Famotidine. Mereka meyakini, obat sakit mag untuk pengobatan virus corona atau Covid-19.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Saat ini, sejumlah warga Amerika Serikat buru obat sakit mag atau famotidine.
Diyakini, obat sakit mag untuk pengobatan virus corona atau Covid-19, walaupun obat sakit mag masih diuji oleh para ahli.
Walaupun belum terbukti, obat sakit mag sembuhkan pasien virus corona, obat sakit mag masih diburu warga Amerika Serikat.
Melansir Business Insider, Selasa (28/4/2020), famotidine, antasid dan antihistamin memiliki bahan aktif anti mulas yang sedang diteliti dan dipelajari sebagai kemungkinan pengobatan Covid-19.
• Akhiri Masa Karantina dan Mau Keluar Rumah Hirup Udara Virus Corona, Madonna Mengaku Punya Antibodi
• Berikut Sejumlah Aplikasi Pendeteksi Dini Virus Corona Versi Kemenkominfo RI
• Cara Agar Pandemi Virus Corona Cepat Berakhir di Jakarta, Begini Kata Anies Baswedan
Uji coba ini dilakukan para peneliti di Northwell Health di wilayah kota New York.
Salah satu peneliti, Dr. Kevin Tracey mengatakan beberapa jenis obat ini telah mulai kehabisan stok akibat banyak orang yang menimbun obat-obat anti mulas tersebut.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan apakah famotidine akan berguna dalam pengobatan pasien yang terinfeksi virus corona," kata Dr. Tracey.
Bahkan, jika beberapa manfaat ditemukan, pasien dalam penelitian ini akan diberi dosis yang sangat tinggi secara intravena.
Ini Jauh lebih banyak dari yang biasa dikonsumsi orang untuk mengobati sakit mag.
Majalah Science melaporkan, para peneliti sedang berusaha menjaga penelitian terhadap obat-obatan yang mungkin bisa dijadikan pengobatan pasien Covid-19 dengan sangat hati-hati.
"Jika kita membicarakan hal ini kepada orang yang salah atau terlalu cepat, pasokan obat akan hilang," kata Dr. Tracey.
Manfaat yang mungkin ada pada obat mag seperti famotidine tidak berbeda dengan yang sempat terjadi di awal tahun ini.
Yakni saat pil anti malaria, klorokuin, disebut dapat mengobati virus corona.
Para tokoh hingga Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menyebut klorokuin dapat mengobati Covid-19.
Namun, hydroxychloroquine kembali disebut dapat digunakan untuk memerangi virus corona.
Akibatnya obat ini langsung diburu masyarakat dan menyebabkan pasokannya terus berkurang.
Uji klinis famotidine pasien Covid-19 parah
Hingga saat ini, masih belum ada data klinis peer-review yang menunjukkan obat generik lama tersebut bisa bekerja untuk melawan Covid-19.
Hydroxychloroquine saat ini yang masih digunakan oleh beberapa orang untuk mengobati penyakit Lupus dan kondisi lainnya.
Sebelumnya, para peneliti rumah sakit New York telah diam-diam uji apakah obat mulas yang umum bisa bantu pasien Covid-19 yang kritis.
Para peneliti berafiliasi dengan Feinstein Institutes for Medical Research, peneliti sistem kesehatan yang berbasis di New York, Northwell Health.
Saat ini, uji klinis masih dilakukan untuk melihat manfaat famotidine dengan dosis tinggi bisa membantu pasien yang terinfeksi virus corona yang parah dapat bertahan hidup.
Peneliti uji famotidine dengan dosis, 9 kali lipat dari jumlah obat yang biasa dikonsumsi orang untuk mengobati mulasnya, dengan intravena selama tujuh hingga 10 hari.
Pasien dalam penelitian ini juga mendapat hydroxychloroquine, pil malaria yang sedang dievaluasi untuk melihat apakah juga dapat mengobati infeksi virus corona.
Bukti yang diandalkan para peneliti untuk memulai percobaan mereka adalah anektodal.
Belum ada petunjuk bahwa famotidine berguna dalam memerangi virus corona.
Penelitian ini telah dilaporkan dalam Science Mag belum lama ini.
Uji coba, yang dimulai awal April, pada awalnya dilakukan diam-diam.
Hal itu untuk memastikan para peneliti memiliki cukup famotidine untuk selesaikan uji coba, yang akan cakup 1.200 pasien.
"Kami tidak ingin persediaan famotidine ini habis saat digunakan selama uji klinis dalam studi Covid-19, atau untuk penggunaan bagi pasien dengan kebutuhan medis serius," ujar Dr. Tracey yang juga CEO Feinstein Institutes for Medical Research.
Ketakutan para peneliti, tidak hanya karena kemungkinan habisnya stok obat mag ini.
Tetapi juga kekhawatiran orang akan membeli obat tersebut tanpa bukti ilmiah terkait obat untuk virus corona.
Obat Untuk Ebola, Remdesivir Dipakai Jepang dan Amerika Serikat untuk Mengobati Pasien Covid-19
Para ahli menguji berbagai obat untuk menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien Covid-19.
Salah satunya yang sudah mulai terlihat hasilnya adalah obat remdesivir.
Seperti dilansir Kyodo News lewat Kompas.com, Senin (27/4/2020), Perdana Menteri Shinzo Abe katakan Jepang akan segera menyetujui obat anti-virus remdesivir untuk pengobatan pasien coronavirus.
Secara terpisah seorang pejabat pemerintah mengatakan obat itu akan disetujui pada awal Mei untuk mengobati pasien Covid-19.
Di Jepang, selain Remdesivir juga ada obat anti influenza Avigan yang akan melalui tes klinis hingga Juli.
Remdesivir sebelumnya dikembangkan oleh perusahaan biofarmasi AS Gilead Sciences Inc sebagai kemungkinan pengobatan untuk Ebola.
Hasil Uji Coba
Dilansir CNBC, Rabu (29/4/2020), Gilead Sciences mengatakan hasil uji coba obat remdesivir untuk mengobati pasien Covid-19 menunjukkan keberhasilan.
Setidaknya 50 persen pasien yang diobati dengan dosis 5 hari membaik dan lebih dari setengahnya bisa keluar dari rumah sakit dalam waktu 2 minggu.
Penasehat kesehatan Gedung Putih, Dr. Anthony Fauci pada Rabu (29/4/2020), mengatakan uji coba obat remdesivir oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID) menunjukkan “kabar baik”.
Uji coba itu melibatkan sekitar 800 pasien.
Dia juga mengatakan obat itu akan menjadi standar perawatan baru untuk pasien Covid-19.
Sementara, The US Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) AS tengah berdiskusi dengan Gilead untuk membuat remdesivir secepat mungkin dan sesuai keperluan.
Uji coba klinis Gilead yang lebih kecil melibatkan 397 pasien dengan kasus Covid-19 parah.
Harapan baru
Studi ini melacak dua kelompok pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19.
Satu kelompok menerima pengobatan remdesivir selama lima hari, sementara kelompok lain minum obat selama 10 hari.
Para peneliti mengatakan lebih dari separuh pasien di kedua kelompok tersebut dikeluarkan dari rumah sakit dalam 14 hari.
Remdesivir telah menunjukkan harapan dalam mengobati SARS dan MERS, yang juga disebabkan oleh virus corona.
Pejabat kesehatan AS mengatakan memproduksi vaksin untuk mencegah penyakit akan memakan waktu setidaknya 12 hingga 18 bulan.
Sehingga penting untuk segera menemukan obat untuk Covid-19.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Obat Mag Diburu Warga Amerika untuk Virus Corona, Ini Kata Ahli"