Virus Corona

Perekonomian Berpotensi Goyah Akibat Pemangkasan Sektor Pertanian saat Pandemi Covid-19

Pengamat Pertanian yang juga Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmaja mengaku kecewa dengan pemerintah yang memotong anggaran Kementan.

Penulis: Rangga Baskoro |
Istimewa
ILUSTRASI Sektor pertanian. Pengamat Pertanian yang juga Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmaja, Jumat (17/4/2020), mengaku kecewa dengan pemerintah yang memotong anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) hingga Rp 3,6 triliun. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA -- Pengamat Pertanian yang juga Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmaja mengaku kecewa dengan pemerintah yang memotong anggaran Kementerian Pertanian (Kementan) hingga Rp 3,6 triliun.

Padahal, anggaran sebesar itu bisa dipakai untuk menjaga ketersediaan bahan pokok selama penanganan darurat Covid-19.

"Sektor pertanian seharusnya memperoleh tempat yang berbeda dengan sektor-sektor infrastruktur. Kalau bisa harusnya ada anggaran ekstra untuk melindungi dan membela petani yang terus bekerja di tengah pandemi covid-19," kata Entang saat dihubungi, Jumat (17/4/2020).

Entang mengatakan, pemerintah harus selektif dalam melakukan pemangkasan anggaran. Jangan sampai, pengurangan tersebut justru membuat suasana menjadi semakin tak terkendali.

Terlebih saat ini ketersediaan pangan sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

 MENLU Amerika dan Inggris Peringatkan China untuk Terus Terang, Sebut Virus Corona dari Lab Wuhan

 WAKTU Berjemur di Jakarta yang Efektif Bukan Jam 09:00 atau 10:00, Ini Penjelasan Dokter Kulit RSCM

 BREAKING NEWS: Anies Baswedan Sebut Kematian di Jakarta sudah 987 Orang, Ingatkan Warga Tak Mudik

 BREAKING NEWS: Yusuf Mansur Dukung Anies Baswedan Pada Pilpres 2024 dan Ajak Warga Baca Shalawat

Pemerintah perlu memilih Kementerian atau Lembaga mana yang perlu dipangkas dan mana yang tidak. Sehingga, ketika pandemi ini selesai Indonesia tidak mengalami krisis baru, yakni krisis pangan yang bisa menggoyahkan perekonomian Indonesia lebih buruk lagi.

"Bila anggaran Kementan dipangkas cukup signifikan, kita risau ketahanan pangan kita akan terganggu yang bisa saja melahirkan suasana yang tidak kondusif dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan masyarakat," katanya.

Lebih dikhawatirkan lagi, pemangkasan anggaran tersebut miliki kepentingan politik yang hanya memikirkan golongan sendiri.

Entang mengatakan, hal tersebut harus dihindari demi keberlangsungan ketersediaan pangan.

 Relawan Sandiuno Salurkan Bantuan Sembako dan APD ke Masyarakat dan Rumah Sakit Terkait Covid-19

"Kita perlu ingat bahwa soal pangan ini begitu mudah ditumpangi kepentingan politik. Agar hal ini tidak terjadi maka kita tidak boleh main-main dengan urusan pangan, termasuk di dalamnya soal pemangkasan anggaran itu sendiri," jelasnya.

Seperti yang diketahui bersama, Kementerian Pertanian menyatakan mampu menjamin ketersediaan bahan pokok hingga empat bulan kedepan.

Artinya, mendekati bulan Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri, pasokan 11 komoditas bahan pangan aman dan terkendali.

 Sembuh dari Covid-19, Pasien dari Kota Batu Malang Ini Beri Kesaksian Cara Lawan Virus Corona

“Untuk berjaga-jaga saja, anggaran untuk sektor pertanian janganlah minimalis atau sekedar ban berjalan, namun guna menjawab pandemi saat ini, anggaran sektor pertanian penting dibuat maksimali," kata Entang.

Fadli Zon: Ancam Sektor Pangan dan Pertanian Nasional

Sementara itu, penolakan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law kian berlanjut. Kali ini, penolakan disampaikan oleh Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon. 

Menurut Fadli, Omnibus Law Cipta Kerja potensial dinilai dapat memperlemah petani dan sektor pertanian bangsa.

Hal tersebut dipaparkannya merujuk Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang berdampak setidaknya tujuh Undang-undang (UU) di bidang pangan dan pertanian.

Tujuh Undang-undang tersebut adalah UU Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 29 tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

 Pelajari Sejarah Flu Spanyol yang Tewaskan 1,5 Juta Orang, Anies Perkecil Dampak Covid-19

Selain itu, UU Nomor 13 tahun 2010 tentang Hortikultura, UU Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.

Selanjutnya adalah UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan serta UU Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan.

"Beberapa imbas dari draf omnibus law yang bakal berpengaruh terhadap sektor pangan dan pertanian di antaranya adalah terjadinya pelonggaran aturan impor, kian mudahnya alih fungsi lahan, serta terjadinya pelonggaran aturan lingkungan," jelas Fadli Zon dalam siaran tertulis pada Jumat (13/3/2020).

"Secara umum, saya melihat RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini efeknya negatif bagi sektor pangan dan pertanian. Sehingga, berbagai organisasi tani merekomendasikan agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditarik kembali oleh Pemerintah untuk diperbaiki," tambahnya.

Penolakan tersebut katanya juga merupakan kesimpulan yang diperolehnya dari Kongres Tani VIII di Auditorium Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Jumat (13/3/2020).

 Jauh Sebelum Virus Corona Masuk Indonesia, Anies: Saya Sudah Panggil Tim Intelijen dan Imigrasi

Kongres yang diikuti oleh sejumlah organisasi petani itu merupakan pendahuluan dari rangkaian Munas IX HKTI bertajuk 'Pertanian, Petani dan Organisasi Tani dalam Omnibus Law'.

"Sebagai contoh, Omnibus Law Cipta Kerja telah menempatkan impor pangan sebagai prioritas penting dalam manajemen stok pangan. Hal ini tentu saja ironis, mengingat kita adalah negara agraris. Baru pertama kalinya terjadi impor disebut dalam undang-undang sebagai sumber pangan nasional," jelas Fadli Zon.

"Meskipun dalam praktiknya selama ini selalu ada impor pangan dengan berbagai alasan, namun memasukkan impor sebagai sumber pangan dalam undang-undang adalah bentuk kian lemahnya komitmen kita terhadap sektor pertanian," tambahnya.

Hal tersebut katanya berbanding terbalik ketika era kepemimpinan sebelum Joko Widodo, impor katanya hanya dilakukan jika produksi dalam negeri dan cadangan yang ada tidak mencukupi kebutuhan.

Namun, lanjutnya, dalam draf Omnibus Law, impor pangan kini ditempatkan setara produksi dalam negeri dan cadangan pangan.

"Artinya, kini impor tidak lagi ditempatkan sebagai jalan terakhir (the last resort), namun bisa dilakukan kapan saja. Sebab, syarat-syarat kapan impor pangan bisa dilakukan kini sudah tak ada lagi, telah dihilangkan," jelas Fadli Zon.

Pengalihan Fungsi Lahan

Isu lain yang juga menjadi sorotan diungkapkan Fadli Zon adalah mengenai alih fungsi lahan.

Lewat omnibus law, alih fungsi lahan akan semakin mudah dan dipermudah, terutama untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estat, tol, bandara, atau kegiatan pertambangan.

Hal tersebut diungkapkannya merupakan imbas dihapuskannya keharusan dilakukannya kajian kelayakan alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah.

"Semua itu tentu saja akan merugikan sektor pertanian," imbuh Fadli Zon.

Omnibus Law Cipta Kerja katanya juga akan berdampak negatif terhadap sektor pertanian karena bersifat melonggarkan aturan-aturan lingkungan hidup.

Padahal, lingkungan adalah faktor penting dalam isu pangan dan pertanian.

"Dengan catatan-catatan tadi, saya merekomendasikan agar RUU Omnibus Law Cipta Kerja ditarik lagi oleh Pemerintah untuk diperbaiki," jelas Fadli Zon.

Sektor pertanian ditegaskannya sangat vital bagi kelangsungan ketahanan pangan dan kehidupan bangsa.

Apalagi secara verbal, pemberian judul Cipta Kerja menurutnya juga agak kurang jujur, karena isi dari Omnibus Law katanya justru jauh dari mewakili kepentingan para pekerja.

"Kita sama-sama bisa melihat RUU ini mendapat penolakan kaum buruh di mana-mana," jelasnya. (abs/*)

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved