Kolom Trias Kuncahyono
Sejarah Berulang, 673 Tahun Silam Dunia Kena Black Death Kondisi Sama dengan Virus Corona
Sejarah terulang kembali, kini seluruh dunia kena wabah virus corona, dulu juga pernah ada penyakit mematikan disebut Black Death.
Kini, setelah lebih dari enam abad, muncul wabah penyakit yang berasal dari Wuhan, China: Corana virus (Covid-19). Sejarah telah berulang. Dan, Italia, seperti sebelumnya, menjadi negara terberat kedua setelah China.
Dahulu, wabah Justinian, menjadi titik awal kemunduran Kekaisaran Romawi Timur, karena merosotnya perekonomian dan pelemahan kekaisaran.
Menurut Randolph Stilson, Black Death, pandemik kedua, mengakhiri abad feodalisme di Eropa.
Walter S Zapotoczny dalam The Political and Social Consequences of the Black Death, 1348 – 1351 (2006) menulis, Black Death sangat mempercepat perubahan sosial dan ekonomi selama abad ke 14 dan 15.
Apa yang akan terjadi sekarang ini setelah wabah Covid-19, berakhir?
Akan menjadi seperti apa negara-negara yang terkena wabah Covid-19 nanti, seperti China, Italia, Iran, Korea Selatan, dan Perancis, juga negara-negara lain, termasuk Indonesia?
Apakah pandemi Covid-19 akan mampu, misalnya di negeri ini, mengubah sifat mencari untung (entah politik maupun ekonomi, juga sektarian), lebih mementingkan diri sendiri di tengah penderitaan yang menghinggapi sementara orang bahkan elite politik, menjadi lebih solider, toleran, memiliki keutamaan berbela rasa (compassion), tidak egoistik?
• Cerita 3 Pasien Covid-19 Sembuh di Tengah Ancaman Pandemi Global, Harus Selalu Pakai Masker di Rumah
• KONDISI di Rumah Sakit Italia, Pasien COVID-19 dengan Helm Transparan Mencoba Bertahan Hidup
Apakah pandemi Covid-19 ini akan mampu mengubah sifat orang yang senang menari di atas penderitaan orang lain dan memunculkan sikap beyond terhadap kepentingan diri dan seluruh kelompoknya?
Apakah pandemi Covid-19, akan mampu mengubah orang di negeri ini, yang dalam bahasanya Syafii Maarif—larut dalam pragmatisme politik yang tunamoral dan tunavisi—menjadi bermoral dan bervisi?
Mampukah derita nasional ini menyadarkan orang untuk membuang jauh-jauh pragmatisme politik yang cenderung menghalalkan segala cara termasuk transaksional dalam panggung politik?
Padahal, bukankah, pada dasarnya, manusia seperti dikatakan oleh Cecilius (230-168 SM), adalah Homo homini deus est, si suum officium sciaal manusia adalah dewa bagi manusia yang lain jika ia mengetahui kewajibannya.
Mengapa demikian, sebab sifat compassion, welas asih, bela rasa tidak dapat dipisahkan dari kemanusiaan alih-alih dimotivasi oleh kepentingan pribadi.
Orang yang benar-benar manusiawi, secara konsisten berorientasi pada orang lain, bukan selalu beroritentasi pada diri sendiri, kepentingan diri sendiri dalam segala macam bentuknya.
Hanya orang-orang yang tunamoral, tuna-etika yang mengingkari semua itu.
Mereka itu, golongan Black Death yang perlu dibasmi karena membawa dunia sekitar kita menjadi hitam kelam.