Destinasi Museum
Melihat dari Dekat Tandu Jenderal Sudirman, Teman Bergerilya Menghadapi Agresi Belanda
Pada saat menjalankan siasat perang gerilnya, kondisi kesehatan sang Jenderal sedang lemah. Dia tetap memimpin pasukannya meskipun harus ditandu
Penulis: Feryanto Hadi | Editor: Feryanto Hadi
Halaman Museum Satria Mandala di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan itu cukup luas, terdiri dari area taman dan area parkir yang mampu menampung banyak kendaraan.
Tepat di depan bangunan museum, hamparan rerumputan hijau membuat pemandangan menjadi cukup segar.
Di tengah-tengah area taman itu, nampak dua buah meriam dengan jenis sama, yakni Meriam 25 PDR/88m. Kedua meriam ini dipajang terpisah, pada sisi sebelah kanan dan kiri jalan menuju ke pintu masuk museum.
• Tempat-tempat Legendaris di Jakarta yang Kini Berganti Wajah, Ada Sunda Kelapa Hingga Harco Glodok
• Seramnya Lonceng Kematian dan Penjara Bawah Tanah di Gedung Bekas Balaikota Belanda di Jakarta
Kedua meriam ini, pernah digunakan oleh TNI untuk melawan Belanda di daerah Aceh Timur pada 1946, menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan dan menumpas RMS di Maluku pada 1950 dan digunakan dalam banyak aksi-aksi lain, hingga akhirnya pada 1972 diabadikan di Museum ABRI Satria Mandala.
Melewati area taman yang memajang dua meriam tersebut, kita akan langsung sampai di lobi gedung museum.
Di tempat ini, biasanya ada beberapa pegawai dengan busana seragam mereka. Nah, dari sini kita akan mulai membedah koleksi yang ada di dalam rungan Museum Satria Mandala.
Museum Satria Mandala, menjadi gambaran sejarah perjuangan TNI secara visual
Dari berbagai keterangan yang Warta Kota dapatkan saat berkunjung ke museum itu belum lama ini, kata Satria Mandala berasal dari bahasa sansekerta yang berarti lingkungan keramat para ksatria.
Museum yang diresmikan pada tahun 1972 oleh mantan Presiden Indonesia, Soeharto ini awalnya adalah rumah dari salah satu istri mantan Presiden Indonesia, Soekarno, yaitu istrinya yang bernama Ratna Sari Dewi Soekarno.
Ide pembuatan museum ini muncul dari pemimpin TNI pada masa itu, guna menjaga dan melestarikan nilai-nilai juang 1945.
Pimpinan TNI memandang perlu dibangun sebuah museum sebagai tempat yang dapat memberikan gambaran sejarah perjuangan TNI secara visual kepada masyarakat.
• Aurel Hermansyah Beberkan Alasan Pilih Tinggal Bersama Ayahnya, Saat Anang-Krisdayanti Bercerai
• Misteri Surat Perintah Tiga Belas Maret (Supertasemar), Disebut Menjadi Revisi Supersemar
Dilatari pemikiran tersebut, Pimpinan TNI memberikan tugas kepada Kepala Pusat Sejarah TNI saat itu, Brigjen TNI Nugroho Notosusanto untuk mempersiapkan rencana pembangunan Museum TNI.
Setelah konsep berhasil dimatangkan, pembangunan Museum TNI pun dimulai pada 15 November 1971. Pada tahap pembangunan awal ini, dilakukan renovasi besar serta pemugaran Wisma Yaso yang merupakan bekas rumah Ibu Dewi Soekarno seluas 56.670 m2 namun baru diresmikan pada 5 Oktober 1972 oleh Presiden Soeharto.
Pada waktu-waktu selanjutnya, jumlah koleksi Museum Satria Mandala semakin bertambah. Datang ke museum ini, kita akan menemukan berbagai koleksi yang menggambarkan perjuangan TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan bangsa.
Koleksi-koleksi yang ada di museum ini antara lain terdiri dari peralatan perang seperti koleksi ranjau, rudal, torpedo, kendaraan tempur TNI, miniature alat tempur, tank, meriam bahkan helikopter dan pesawat terbang, salah satu diantaranya adalah pesawat P-51 Mustang yang memiliki kecepatan jelajah 735 km/jam dan pernah digunakan dalam beberapa operasi penting, misalnya dalam operasi Trikora dan Dwikora.
Selain itu, di museum ini kita juga bisa menyaksikan beberapa diorama yang menjelaskan mengenai beberapa peristiwa penting dalam beberapa masa serta koleksi dari Panglima Besar jenderal Sudirman, koleksi Letjen Oerip Sumoharjo, koleksi Jenderal A.H Nasution dan sebagainya.
Selain itu museum ini juga menyimpan berbagai berbagai benda bersejarah yang berkaitan dengan TNI seperti aneka senjata berat maupun ringan, atribut ketentaraan, panji-panji dan lambang-lambang di lingkungan TNI.
• Mbak Tutut Kisahkan Lahir Tanpa Disambut Sang Ayah, Pak Harto Sedang Pimpin Pertempuran di Jogja
• Ini Sosok Jenderal yang Begitu Dikagumi Ustaz Abdul Somad
Tandu Jenderal Sudirman

Panglima Besar Jenderal Sudirman menjadi sosok penting bagi perjalanan sejarah kemiliteran di Indonesia.
Melihat perannya yang begitu besar serta semangat juangnya yang begitu tinggi, ia kemudian dinobatkan sebagai bapak ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang menjadi tauladan bagi para prajurit TNI di masa selanjutnya, dalam rangka membela kedaulatan bangsa dari kepentingan-kepentingan yang bisa mengancam.
Pada ruang Koleksi Dwi Tunggal Museum Satria Mandala, beberapa koleksi penting pahlawan kelahiran Purbalingga 24 januari 1916 ini, dipamerkan.
Ada patung yang menggambarkan betapa gagahnya sosok ini.
Foto-foto dokumentasi Pangsar Jenderal Sudirman juga bisa kita saksikan, menggambarkan kiprah beliau dalam serangkaian kegiatan-kegiatan kepahlawanan.
Pada ruangan ini juga terdapat meja-kursi tamu milik Jenderal Sudirman dan meja tulis sang Jenderal.
• Mengintip Jejak Eduard Douwes Dekker di Museum Multatuli
• Sudah Operasi Kelamin Jadi Wanita, Gebby Vesta Shalat Pakai Sarung, Ingin Dimakamkan Sebagai Pria
Namun, yang paling menarik, di ruangan ini terdapat tandu yang dipakai Jendral Soedirman sewaktu beliau memimpin perang gerilya selama 8 bulan.
Semua perang gerilya yang dia lakukan hanya untuk membela Yogyakarta yang saat itu menjadi Ibu kota republik Indonesia dan mengusir Belanda dari kota.
Pada saat menjalankan siasat perang gerilnya, kondisi kesehatan sang Jenderal sedang lemah.
Meski demikian, dia tetap memimpin pasukannya untuk terus berperang secara bergerilya. Dia bahkan sampai ditandu.
Hingga akhirnya Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 desember 1949.
Tandu yang digunakan Jenderal sudirman ini ternyata hanya sebuah kursi biasa yang disambung dengan kayu dengan dua buah kayu panjang untuk memikul tandu.
Tali yang digunakan adalah tali tambang, dililitkan antara badan kursi dengan kayu penyangga atap.
Meski kondisinya sudah setengah abad lebih, namun kondisi tandu masih cukup baik. (Wartakota/Feryanto Hadi)