Hak Angket Jiwasraya

Aboebakar Alhabsyi Mendorong Hak Angket Jiwasraya Bergulir karena Menyangkut Nilai Uang Sangat Besar

Aboebakar Alhabsyi menyatakan, kasus Jiwasraya adalah persoalan yang besar, sehingga perlu hak angket.

Istimewa
Aboebakar Alhabsyi menyatakan, kasus Jiwasraya adalah persoalan yang besar, sehingga perlu hak angket. 

Bagaimanapun, masyarakat tak akan mudah tertipu berinvestasi jika akuntan publik yang melakukan audit laporan keuangan bekerja dengan benar, tidak terlibat dalam upaya “window dressing”.

 Wanita Saksi Bupati Boven Digoel yang Tewas di Hotel Menghilang Tidak Pernah Terlihat di Luar Batang

Ketiga, ini adalah saat yang tepat bagi pemerintah untuk melakukan bersih-bersih BUMN, agar ke depan BUMN tak lagi dijadikan sapi perah kekuasaan, atau diperalat oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan.

Itu sebabnya, sesudah ini seharusnya tak ada lagi rangkap jabatan di perusahaan pelat merah, baik oleh direksi maupun komisaris. 

Tidak ada cerita, misalnya, anggota partai politik, staf khusus menteri, atau staf khusus presiden bisa diangkat jadi komisaris BUMN sebagaimana yang masih terjadi hingga hari ini.

Perusahaan negara seharusnya dikelola secara profesional oleh kalangan profesional. Rangkap jabatan adalah salah satu indikasi ketidakprofesionalan.

Jika beberapa bulan lalu sempat populer slogan “Reformasi Dikorupsi”, maka kasus Pelindo II, Garuda, Jiwasraya, atau Asabri adalah contoh konkretnya.

Padahal dulu salah satu tuntutan penting Reformasi adalah menghilangkan “KKN”, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tapi sekarang semuanya ada di BUMN. Dan dipraktikkan secara telanjang. 

Jika membaca ulang konstitusi, portofolio BUMN dalam sistem ketatanegaraan kita sebenarnya mulia.

BUMN merupakan instrumen bagi negara untuk melakukan campur tangan kegiatan perekonomian.

Keberadaannya sejalan dengan Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945. Kehadirannya merupakan bukti bahwa negara tidak menyerahkan begitu saja kegiatan perekonomian kepada mekanisme pasar.

Negara ikut campur di bidang strategis ekonomi  dengan membentuk BUMN.

Dulu, waktu awal menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, jumlah BUMN ada sekitar 400.

Namun, data terbaru menunjukkan jumlah BUMN tinggal 118, di mana 20 di antaranya telah go public. 

Dari sisi laba, tak semua BUMN kita kinerja keuangannya bagus.

Dari total laba BUMN sebesar Rp189 triliun pada 2018, 73 persennya dihasilkan oleh 15 BUMN saja, yang umumnya bergerak di bidang perbankan, telekomunikasi dan migas. Ini bukan kondisi bagus sebenarnya, sebab kita tahu bisnis perbankan ke depan sudah mulai terdisrupsi oleh “fintech”.

Adanya kasus Jiwasraya dan Asabri, juga Garuda, yang mencuat secara beruntun, menunjukkan, ada sesuatu yang bermasalah dalam pengawasan BUMN kita.

Apalagi, dalam lima tahun terakhir saya melihat memang ada upaya agar pengawasan terhadap BUMN hendak digunting sedemikian rupa.

 Politisi Partai Demokrat Memrotes Harun Masiku Ditampilkan Memakai Pakaian Demokrat Meski Caleg PDIP

Pada 2016, misalnya, pemerintah pernah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Saya dulu mengeritik habis PP tersebut. PP tersebut telah melonggarkan tata cara penyertaan modal negara dan pengalihan kekayaan negara pada BUMN tanpa harus melalui persetujuan DPR.

Itu jelas bermasalah.

Sebab, menurut Pasal 23 UUD 1945, semua hal yang terkait dengan masalah keuangan dan kekayaan negara harus dibahas dan disetujui oleh DPR. 

Begitu juga dengan pengalihan utang pemerintah kepada BUMN dengan dalih penugasan pembangunan infrastruktur.

BUMN akhirnya didorong untuk berutang sendiri, padahal proyeknya adalah program pemerintah.

Ujungnya, keuangan dan kinerja BUMN jadi terbebani. 

Berbeda dengan utang oleh pemerintah, DPR tak bisa mengontrol utang oleh BUMN.

Apalagi, dalam akuntansi keuangan negara utang BUMN dianggap sebagai utang swasta.

Hal-hal semacam inilah yang berlangsung dalam lima tahun terakhir. Pengawasan terhadap BUMN berusaha untuk dilemahkan.

Jadi, ke depan kita harus memperbaiki pengawasan terhadap BUMN. Jangan sampai BUMN kita bertumbangan karena kasus korupsi dan tata kelola yang buruk.

Meminjam judul novel A.A. Navis, “Robohnya Surau Kami” maka kini kita dihadapkan pada ancaman “Robohnya BUMN kami”.

Kemarin, Presiden telah memerintahkan Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Ketua Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso untuk menyelesaikan persoalan ekonomi terkait Jiwasraya dan Asabri.

Sementara untuk urusan hukum, Presiden memerintahkan ditangani Jaksa Agung St. Burhanuddin.

Kita mendengar soal pengembalian dana nasabah turut di-nyatakan oleh Presiden.

Kita apresiasi pernyataan tersebut. Tapi yang lebih penting adalah pada bagaimana mengawasi pelaksanaannya.

Sebab, selama ini pernyataan-pernyataan bagus Pemerintah seringkali tak sesuai dengan pelaksanaannya.

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved