ADIAN Napitupulu Sakit Hati Jaksa Agung Sebut Kasus Semanggi I dan II Bukan Pelanggaran HAM Berat
Adian Napitupulu mengaku kecewa atas pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
ANGGOTA Komisi I Adian Napitupulu mengaku kecewa atas pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin, yang menyebut peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat.
Adian Napitupulu mengaku kecewa karena menurutnya hasil rapat Paripurna DPR Tahun 2001 yang dirujuk oleh Burhanuddin, adalah sebuah keputusan politik, bukan keputusan hukum.
Menurutnya, seharusnya sebagai petugas penegakan hukum, Burhanuddin merujuk pada bukti, peristiwa, dan tindakan hukum.
• JOKOWI Minta ASN Pemerintah Pusat Pindah ke Ibu Kota Baru pada 2024, Ini Skenario dan Anggarannya
"Saya juga sakit hati. Saya juga kecewa karena Kejaksaan Agung itu lembaga penegakan hukum. DPR itu lembaga politik."
"Pernyataan politik tidak kemudian serta merta menghilangkan peristiwa hukumnya dan kejahatan hukumnya."
"Sebagai Jaksa Agung dia harus bicara tentang bukti, peristiwa, dan tindakan hukum."
• Jokowi: Mau Normalisasi Atau Naturalisasi, 14 Sungai di Jakarta Harus Segera Dilebarkan
"Bukan mengutip pernyataan politik," katanya seusai diskusi di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (19/1/2020).
Karenanya, ia setuju dengan Ketua Komisi III DPR Herman Hery, yang meminta untuk membedakan antara pernyataan politik dan penegakan hukum.
Itu karena menurutnya, pernyataan politik tidak bisa menentukan seseorang salah dan benar secara hukum.
• Tak Akan Ikut Kampanye Anak dan Menantunya, Jokowi: Banyak Kerjaan
"Saya setuju dengan pernyataan Ketua Komisi III, membedakan antara pernyataan politik dan penegakan hukum."
"Pernyataan Ketua Komisi III harus dibedakan. Kalau ada orang salah, dia salah atau benar bukan karena pernyataan politik."
"Dia salah atau benar karena hukum memutuskan dia salah atau benar," ucap anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP tersebut.
• Kejaksaan Agung: Demonstran Kena Masuk Pelanggaran HAM, Kalau Petugas Cedera Kok Enggak Ya?
Ia pun meminta Burhanuddin menjalankan penegakan hukum atas adanya pelanggaran HAM berat di Peristiwa Semanggi I dan II, berdasarkan temuan Komnas HAM dalam penyelidikannya.
"Yang kita minta apa? Penegakan hukum."
"Siapa yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum untuk pengusutan pelanggaran HAM? Salah satunya Komnas HAM."
• Pekan Depan Draf RUU Diserahkan ke DPR, Ibu Kota Baru Bakal Dikelola Badan Otorita
"Komnas HAM bilang apa? Pelanggaran HAM berat. Yang lain bilang apa? Pelanggaran HAM berat. Ya sudah usut saja," beber aktivis 98 itu.
Sebelumnya, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan Semanggi II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.
Hal itu ia katakan saat menyampaikan penanganan kasus HAM dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi III DPR, Kamis (16/1/2020).
"Peristiwa Semanggi I, Semanggi II, telah ada hasil rapat paripurna DPR RI."
• Pengamat Bilang Banjir Jakarta 1 Januari 2020 Bukan Kiriman, Ini Buktinya
"Yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," katanya di Ruang Rapat Komisi III DPR, Senayan, Jakarta.
Dalam rapat itu, Burhanuddin juga menjelaskan hambatan dalam menyelesaikan kasus HAM.
Ia mengatakan hambatan itu karena belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc dan ketersediaan alat bukti yang tidak cukup.
• Pria Disekap Teman Kantornya karena Gelapkan Uang Perusahaan, Makan Sehari Sekali dan Disundut Rokok
"Penanganan dan penyelesaian berkas hasil penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu menghadapi kendala, terkait kecukupan alat bukti," tuturnya.
Tragedi Semanggi merujuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.
Tragedi Semanggi I terjadi pada tanggal 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil.
• Tawuran di Tanjung Duren Disiarkan Live Streaming, 10 dari 16 Tersangka Masih Bau Kencur
Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lainnya di seluruh Jakarta serta menyebabkan 217 korban luka-luka.
Respons Menkumham
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly merespons pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM Berat.
Yasonna mengakui belum mengetahui hal tersebut.
"Saya belum tahu. Nanti kita lihat dulu," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
• PDIP Nilai Penangkapan Wahyu Setiawan Bukan OTT, Duga Ada Upaya Sistematis dari Oknum KPK
Lebih lanjut, Yasonna akan mempelajari tragedi Semanggi I dan II, apakah termasuk pelanggaran HAM berat atau bukan.
"Iya kita pelajari dulu. Kita pelajari lagi," ucap Yasonna.
Sementara, Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mengklarifikasi pernyataannya.
• Bukan PAW, PDIP Bilang Harun Masiku Diajukan untuk Penetapan Calon Terpilih
Ia juga meminta Burhanuddin memeriksa kembali informasi yang diperolehnya tersebut.
"Jika benar yang dikatakan oleh Kejaksaan Agung kasus Semanggi bukan pelanggaran HAM berat, ada baiknya kejaksaan Agung memeriksa kembali informasi yang diperoleh."
"Dan melakukan klarifikasi," kata Anam ketika dikonfirmasi Tribunnews.com, Kamis (16/1/2020).
• Sprinlidik Bocor ke Tangan Masinton Pasaribu, KPK Ragukan Keaslian dan Tegaskan Tak Pernah Edarkan
Menurutnya, di antara berkas yang telah dikirim oleh Komnas HAM dan juga telah mendapatkan respons dari Kejaksaan Agung, kasus Semanggi adalah pelanggaran HAM berat.
"Kasus ini masuk dalam berkas laporan penyelidikan proyustisia Komnas HAM untuk Peristiwa Trisaksi, Semanggi I, dan Semanggi II," ungkap Anam.
Setidaknya ada 12 berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, yakni:
• Sisa APBD Kabupaten Bekasi Rp 1 Triliun, DPRD Minta Pejabat yang Tak Serap Anggaran Disanksi Tegas
1. Peristiwa 1965-1966;
2. Peristiwa Petrus 1982-1985;
3. Peristiwa Talangsari 1989;
4. Peristiwa Kerusuhan Mei 1998;
5. Peristiwa Dukun santet 1998;
6. Peristiwa Rumoh Geudong 1989-1998;
7. Peristiwa Simpang KKA 1999;
8. Peristiwa Trisakti, Semanggi I, Semanggi II;
9. Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998;
10. Peristiwa Wasior 2001;
11. Peristiwa Wamena 2003;
12. Peristiwa Jambu Keupok 2003;
Anam juga meminta Presiden Joko Widodo untuk menjelaskan kepada publik, mengapa pelanggaran HAM berat dinilai stagnan dan terkesan mundur.
Hal ini menurutnya tercermin dari sikap dan pernyataan Burhanuddin tersebut.
"Atau justru Presiden Jokowi sendiri yang enggan melakukan penuntasan pelanggran HAM berat tersebut."
• SALUT! Warga di Bekasi Sukses Terapkan Larangan Parkir Mobil di Jalan Kampung Tanpa Perda dan Denda
"Mulai dari periode pertama sampai saat ini, narasi yang dibangun oleh pemerintahan Presiden Jokowi, yang dicerminkan oleh sikap dan pandangan Jaksa Agung."
"Itu jelas sikap dan pandangan yang enggan melakukan penegakan hukum untuk pelanggaran HAM berat," papar Anam.
Ia pun mengingatkan, kasus pelanggaran HAM berat tidak hanya merupakan kebutuhan korban.
• Disebut Jokowi Sebagai Calon Penggantinya, Begini Peluang Sandiaga Uno di Pilpres 2024
Namun, juga kebutuhan bangsa dan negara ini untuk memastikan kasus serupa tidak akan berulang kembali.
"Ini menjadi amanat reformasi," tegas Anam.
Ia menilai, sikap yang dinilai berulang dan selalu dinyatakan oleh Jaksa Agung tersebut, bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Jokowi, yang akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
• Sohibul Iman Bilang Nama Ahmad Syaikhu Dicopot dari Daftar Cawagub, PKS DKI Malah Tanya Buktinya
Perbedaan itu menurutnya harus dijelaskan oleh Presiden, agar tidak menimbulkan kegaduhan dan salah tafsir.
Ia mengaskan, Komnas HAM masih berpegang teguh pada pernyataan Presiden kepada Komnas HAM, ketika bertemu pada 2018 lalu.
Termasuk, hal yang diungkapkannya dalam Pidato Kenegaraan pada Agustus 2018.
"Bahwa kasus pelanggaran HAM berat akan diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku," ucap Anam. (Gita Irawan)