Hari Santri Nasional
Hari Santri Nasional, Said Aqil: Islam Tidak Boleh Dibela Dengan Pekik Takbir di Jalan-jalan
Momen Kebangkitan Santri, KH Said Aqil Siroj Tegaskan Soal Kejayaan Islam serta Tidak Boleh Dibela Dengan Pekik Takbir di Jalan-jalan
Penulis: Dwi Rizki |
PERINGATAN Hari Santri Nasional dinilai Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), KH Said Aqil Siroj sebagai momen kebangkitan santri dan pesantren di Indonesia.
Kebangkitan yang menurutnya dapat mengembalikan kejayaan Islam seperti pada masa keemasannya, bukan pembelaan lewat pekik takbir di jalan, mengibar-ngibarkan bendera atau caci maki dan sumpah serapah.
Hal tersebut disampaikan Said Aqil lewat situs resmi (NU), www.nu.or.id; pada Selasa (22/10/2019).
Lewat peringatan Hari Santri, Saiq Aqil berharap agar santri dapat berperan aktif dalam pembangunan bangsa dan negara melalui fungsi pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat, terlebih Undang-undang (UU) Pesantren telah disahkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada tanggal 24 September 2019 lalu.
https://www.nu.or.id/post/read/112442/amanat-ketum-pbnu-pada-hari-santri-22-oktober-2019"
"Hari ini tahun keempat Keluarga Besar Nahdlatul Ulama dan seluruh rakyat Indonesia memperingati Hari Santri. Setelah sebelumnya peran kaum santri diakui negara melalui Kepres Nomor 22 Tahun 2015 tentang Penetapan Tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, tahun ini kaum santri kembali mendapat penguatan negara melalui pengesahaan UU Pesantren," ungkap Pengasuh Pesantren Al-Tsaqofah Ciganjur, Jakarta Selatan itu.
Pada era revolusi 4.0, santri katanya harus kreatif, inovatif dan adaptif terhadap perkembangan zaman sekaligus teguh menjaga tradisi.
Santri pun ditegaskannya tidak boleh kehilangan jati diri sebagai muslim yang berakhlakul karimah, menjunjung tinggi ajaran agama, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Wali Songo.
Seluruh santri yang disatukan dalam asasiyat atau dasar dan prinsip perjuangan, khalfiyat atau sejarah dan ghayat atau tujuan itu ditegaskannya harus memperjuangkan ajaran Islam berlandaskan Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu Islam bermazhab.
• Kim Yoon Seo dan Do Sang Woo Putus Setelah 4 Tahun Berpacaran
Sehingga santri harus cerdas dalam mengembangkan argumen Islam moderat yang relevan, kontekstual, membumi, dan kompatibel dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan di tengah maraknya kampanye Islam anti-mazhab saat ini.
"Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam. Budaya dijadikan sebagai infrastruktur agama, sejauh tidak bertentangan dengan syariat," ungkap Said Aqil.
Islam dalam ethos santri dijelaskannya memiliki beragam arti, antara lain keterbukaan, kecendekiaan, toleransi, kejujuran, dan kesederhanaan.
Semangat inilah yang diwariskan oleh salafus shalih, yang telah mencontohkan cara bela agama yang benar. Islam katanya pernah mencapai zaman keemasan pada abad ke-7 sampai dengan abad 13 M dengan ilmu dan peradaban.
• Ini Fakta & Penyebab Utama Bus Sudiro Asal Ponorogo Bisa Masuk Jalan Sempit di Tengah Hutan|
Para filsuf dan ulama tersebut seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M), Al-Fazari (w. 796/806 M), Al-Farghani (w. 870 M), Al-Kindi (801-873 M), Al-Khawarizmi (780-850 M), Al-Farabi (874-950 M), Al-Mas’udi (896-956 M), Ibn Miskawaih (932-1030 M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Razi (1149-1209 M), Al-Haitsami (w. 1039 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), dan Ibn Rushd (1126-1198 M)
"Mereka telah berjasa kepada dunia dkarena melahirkan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Manfaatnya lintas zaman, melampaui sekat agama dan bangsa," jelas Said Aqil.
