Bursa Saham Bergejolak, Lo Kheng Hong: Banyak Saham Salah Harga
Lo Kheng Hong mengatakan, fluktuasi bursa saham belakangan ini membuatnya menemukan semakin banyak saham salah harga.
Namun, metode PBV ini juga bisa Anda gunakan saat menilai perusahaan yang tengah merugi sehingga PER-nya negatif.
Metode ini pula yang Lo Kheng Hong terapkan saat mengakumulasi saham PT Indika Energy Tbk (INDY).
Di akhir 2015, harga saham INDY jatuh ke posisi Rp 110 per saham akibat penurunan harga batubara yang membuat perusahaan merugi.
Dengan jumlah saham beredar sebanyak 5,21 miliar saham, nilai pasar saham INDY saat itu hanya sebesar Rp 573 miliar atau sekitar US$ 43 juta.
Padahal, Indika saat itu memiliki ekuitas senilai Rp 667 juta.
Artinya, harga saham INDY saat itu jauh di bawah nilai bukunya alias salah harga.
Metode serupa juga Lo Kheng Hong gunakan saat masuk ke saham PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS), anak usaha Indika.
Lo Kheng Hong mulai membeli saham MBSS sejak awal 2016 saat harga sahamnya masih di kisaran Rp 220 per saham.
Salah satu alasannya adalah karena harga pasar saham MBSS jauh di bawah nilai bukunya.
Alasan lainnya adalah karena Indika membeli 51 persen saham MBSS pada 2011 di harga Rp 1.630 per saham.
Pertanyaannya, bagaimana jika perusahaan merugi sementara ekuitasnya juga minus sehingga PBV-nya negatif?
Lo Kheng Hong pernah mengatakan, pemilihan saham salah harga tidak selalu hanya berdasarkan rasio PER dan PBV semata.
Investor yang tahun ini genap berusia 60 tahun itu mengatakan, penilaian saham murah atau mahal juga harus mempertimbangkan nilai wajar perusahaan tersebut.
Hal ini pernah Lo Kheng Hong praktikkan waktu menambah kepemilikan saham BUMI saat harganya Rp 50 per saham.
Saat itu, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) mengalami kerugian dan defisiensi modal karena beban utang yang begitu besar ditambah harga batubara yang terus menurun.