Direktorat Jenderal Pajak Semakin Getol Tertibkan Administrasi Pajak Ekonomi Digital
Pajak ekonomi digital mengacu kepada studi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED).
Pajak ekonomi digital mengacu kepada studi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi industri digital.
Dari pajak e-commerce atau marketplace, tidak tahu apakah pelapak di sana sudah bayar pajak atau belum.
WARTA KOTA, PALMERAH--- Direktorat Jenderal Pajak semakin galak menertibkan administrasi pajak ekonomi digital.
Sebagai Direktorat baru Direktorat Data Informasi Perpajakan (DDIP) dan Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi (DTIK) akan berkecimpung di ranah ekonomi digital.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pada dasarnya kedua direktoral baru itu akan mengumpulkan data dan informasi internal seluruh aspek perpajakan.
• IHSG Pada Awal Pekan Diperkirakan Masih Bakal Koreksi
Salah satu fokusnya adalah pajak ekonomi digital.
Yon Arsal, Direktur Potensi, Kepatuhan, Penerimaan Pajak Direktorat Jendral Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu), mengatakan, pajak ekonomi digital mengacu kepada studi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi industri digital.
Ruang lingkup pajak ekonomi digital yang dimaksud antara lain di media sosial, market place, fintech, internet, dan sebagainya.
• Pekerjaan Pembersih Kaca Jendela Gedung Bakal Diganti Robot
Yon mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak berencana mengumpulkan seluruh data base serta informasi penjual dan jumlah transaksi.
Sehingga DDIP dan DTIK tau persis potensi pajak dalam ekonomi digital.
Ignatius Untung, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), mengatakan, kesulitan terbesar adalah untuk masuk ke ekonomi digital via media sosial.
• Skandal Cambridge Analytica, Facebook Kena Sanksi Denda Senilai Rp 70 Triliun
Dalam media maya ada banyak lini bisnis mulai dari periklanan hingga jual-beli barang.
Ignatius menegaskan jika pemerintah ingin menghimpun data periklanan masih realistis untuk didapat.
Namun, data pedagang di media sosial akan sulit diakses.
• Bermula Repot Memerah ASI, Stephanie Tunggal Punya Ide Bisnis Ini
Sebab, pedagangnya di luar dari jangkauan perusahaan media sosial.
Dia menilai ada dua upaya yang dapat dilakukan pemerintah guna menertibkan administrasi pajak di media sosial.
Pertama, menegaskan kepada perusahaan media sosial untuk melaporkan jumlah penjual.
• Handaka Santoso Memilih Keliling ke Mal Dibandingkan Main Golf
Kedua, melakukan razia yang langsung dikenakan pajak final.
“Data penjual mungkin bisa didapat, tapi jumlah transaksi yang sulit,” kata Ignatius kepada Kontan.co.id, baru-baru ini.
Sementara, dari pajak e-commerce atau marketplace, Ignatius mengaku tidak tahu apakah pelapak di sana sudah bayar pajak atau belum.
• QR Code Indonesia Standard (QRIS) Siap Dijalankan
Alasannya hal itu bukan menjadi tanggung jawab marketplace.
Selebihnya pembayaran pajak oleh pelapak secara offline.
Di sisi lain, marketplace bersedia memberikan data penjual dan transaksi.
• Tidak Punya Modal untuk Bikin Usaha? Ada 2 Tips Dapat Modal dari Financial Planner
Namun, mereka mengimbau hal itu juga perlu ditegakkan ke pada seluruh lini ekonomi digital.
“Kalau aturan berat sebelah, pelapak malah kabur ke media sosial,” ungkap Ignatius.
Sementara kendala dari pajak periklanan dan jual-beli di internet adalah beberapa perusahaan tidak mempunyai perwakilan di Indonesia.
• 3 Tips Cara Memilih Mainan Aman Bagi Anak Anda
Kata Ignatius transaksi via internet banyak yang berasal dari luar negeri biasanya dari Irlandia, China, dan Singapura.
Padahal pajak dari sana jauh lebih besar di bandang dari marketplace.
Sebab, pajak iklan biasanya masuk ke Pajak Penambahan Nilai (PPN) yang dikenakan tarif 10 persen.
• Proses Pengembalian Dana Talangan Lama, LMAN Ajukan Revisi Peraturan Menteri Keuangan
Sementara dari marketplace 90 persen pelapak merupakan usaha mikro klecil menengah (UMKM) yang memiliki penghasilan kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun dimana harus membayar pajak 0,5 persen per tahun.
Selanjutnya, pajak di perusahaan juga fintech ditertibkan.
Kuseryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), mengatakan, pajak di fintech tengah dalam pembahasan asosiasi terkait platform peer to peer (P2P) lending.
Dalam skema kerja dana P2P berasal dari pemberi pinjaman (lander) yang bisa terdiri dari perorangan atau perusahaan.
Kemudian akan disalurkan kepada peminjam lewat perusahaan fintech P2P.
Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak ada batasan lender dalam memberikan pinjaman.
Namun, oleh perusahaan fintech P2P ada batasan maksimum total pemberian pinjaman sebesar Rp 2 miliar.
Untuk itu, Kuseryansyah mengatakan kegiatan ekonomi di fintech P2P masih tergolong kena pajak UMKM. Beberapa data transaksi fintech P2P terdapat di pusat data yang tersentralisasi.
Ia mengatakan, sejauh ini fintech P2P sudah berkoordinasi dan mendapat persetujuan oleh OJK.
Bahkan semua transaksi jumlah pinjaman yang tersalurkan, jumlah lender, rasio kredit bermasalah rutin dilaporkan ke OJK.
“Saya rasa perlu sosialisasi dengan DJP lebih lanjut, skema data dan informasi apa yang ingin didapat dari kami,” kata Kuseryansyah kepada Kontan.co.id, Minggu (14/7).
• Pasokan Ruang Kantor Melimpah Berpengaruh Terhadap Harga Sewa
Berita ini sudah diunggah di Kontan.co.id dengan judul DJP semakin galak menertibkan administrasi pajak ekonomi digital