HEBOH Raperda Kota Depok Atur Etika Berpakaian dan Ditolak DPRD, Begini Isinya
“Ini bisa dipandang diskriminasi terhadap keberagaman, pemeluk agama lain, jadi memang tidak boleh. Kami menghindari konflik antar-umat beragama
Raperda inisiatif tentang Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) yang diusulkan ole Pemerintah Kota Depok mengatur tentang bagaimana warga Kota Depok menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya, termasuk cara berpakaian dipersoalkan.
Beberapa pasal dari isi Raperda itu dinilai diskriminatif dan memicu adanya konflik antar umat beragama.
“Ini bisa dipandang diskriminasi terhadap keberagaman, pemeluk agama lain, jadi memang tidak boleh. Kami menghindari konflik antar-umat beragama, kami sangat menghindari itu,” ujar Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Angke Tallo, Jumat (15/5/2019).
• Himbauan Dandim Depok Untuk Menjaga Perdamaian Menjelang dan Setelah Pengumuman Resmi KPU
• Sebelum Mendaftarkan Anak ke SMP dan SMA di Depok Lewat Jalur SKTM Perhatikan Sejumlah Hal Ini
• Hingga 30 Juni Harga Bawang Putih di Supermarket Depok Tak Boleh Lebih dari Rp 40.000, Ini Alasannya
Berdasarkan draft Peraturan Daerah Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota yang didapat Kompas.com, pada BAB V mengatur tentang Pelaksanaan Norma-norma Dalam Kehidupan Masyarakat.
Etika Berpakaian diatur dalam Pasal 14 yang berbunyi:
(1) Setiap orang wajib berpakaian yang sopan sesuai ajaran agamanya masing- masing, norma kesopanan masyarakat Kota Depok.
(2) Setiap pemeluk agama wajib saling menghormati dan menghargai tata cara dan batasan berpakaian sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.
(3) Setiap lembaga, baik pemerintah daerah maupun swasta di Kota Depok mengatur dan menetapkan ketentuan berpakaian bagi setiap pegawai, karyawan dan/atau orang yang berada dibawah tanggung jawabnya atau lingkungan kerjanya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, cara berpakaian menurut ajaran agamanya dan/atau norma kesopanan masyarakat Kota Depok.
Apabila peraturan tersebut tidak dilaksanan, masyarakat dapat diberikan sanksi administratif yang diatur dalam Pasal 18 Ayat 2 yang berbunyi, “Setiap lembaga, baik pemerintah daerah maupun swasta yang tidak mengatur dan menetapkan ketentuan berpakaian bagi setiap pegawai, karyawan dan atau orang yang berada dibawah tanggung jawabnya atau lingkungan kerjanya dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, cara berpakaian menurut ajaran agamanya dan norma kesopanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat ketiga dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran, peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan atau pencabutan izin."

Sementara itu, Kepala Bagian (Kabag) Hukum Setda Kota Depok Salviadona Tri Partita mengatakan, pihaknya tak bermaksud mengatur ajaran beragama warga Depok.
Ia juga menepis anggapan bahwa isi dari PKR tersebut untuk mengatur cara masyarakat berapakaian.
"Konten materi belum sampai kami utarakan (point-point isi PKR) sudah ditolak duluan, praduganya terlalu jauh," ucap Dona.
Menurut dia, Pemkot Depok terbuka akan masukan DPRD.
Ia berharap, raperda PKR dapat masuk dalam daftar program pembentukan perda Kota Depok.
• Tawuran Dua Geng di Ciputat, Bakar Ban dan Rusak Warteg. Diduga Karena Saling Ejek di Media Sosial
Wali Kota Depok Muhammad Idris juga membantah jika raperda PKR tersebut dibuat untuk mengatur kehidupan pribadi masyarakat dalam beragama.
"Pemkot perlu mendorong upaya masyarakat untuk senantiasa menyeru dan mengajak kepada kebaikan dan mencegah perbuatan tercela," kata Idris dalam keterangan tertulis, Minggu (19/5/2019).

Sebelumnya DPRD menolak usulan Pemerintah Kota Depok terkait raperda inisiatif Pemerintah Kota Depok tentang Penyelenggaraan Kota Religius (PKR) yang rencananya diterapkan pada 2020.
Perda PKR ini berisi aturan tentang bagaimana warga Kota Depok menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya, termasuk cara berpakaian.
• Pasar Bunga Rawa Belong Hendak Direvitalisasi Membuat Pedagang Pasar Rawa Belong Galau
Ketua DPRD Kota Depok Hendrik Angke Tallo mengatakan, peraturan tersebut tidak mungkin lagi diterapkan lantaran telah ditolak oleh badan musyawarah.
“Kalau kita bicara tentang agama, bukanlah kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur bagaimana rakyat beragama, tetapi itu adalah kewenangan pemerintah pusat,” ucap Hendrik, saat dihubungi wartawan, Jumat (17/5/2019).
Hal tersebut juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Selain itu, menurut Hendrik, pemerintah daerah tidak boleh mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan.
• Habibie Ajak Semua Pihak Terima Hasil Pilpres 22 Mei, yang Tak Puas Disarankan Lewat Jalur Hukum
Sebab, setiap agama punya aturan dan tata caranya masing-masing sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
“Nah peran pemerintah di sini hanya bagaimana cara menjaga toleransi antar-umat beragama, khususnya di Kota Depok yang sudah sangat kental dengan pluralisme,” ucap dia.
Menurut dia, isi dari PKR tersebut akan memicu konflik antar-umat beragama yang ada di kota Depok.
“Ini bisa dipandang diskriminasi terhadap keberagaman, pemeluk agama lain, jadi memang tidak boleh. Kami menghindari konflik antar-umat beragama, kami sangat menghindari itu,” kata Hendrik.
Ia pun menyarankan pemerintah membuat aturan tentang bagaimana menumbuhkan toleransi antar-umat beragama.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Isi Raperda Kota Religius di Depok yang Atur Etika Berpakaian",dan "DPRD Tolak Raperda yang Atur Warga Depok Jalankan Agamanya",
Penulis : Cynthia Lova