Keluarga Menolak Makam Anggota KPPS yang Wafat Dibongkar untuk Autopsi, Tak Mau Tambah Sedih
Mendengar kabar itu, pihak keluarga Caiman menolak dilakukan autopsi terhadap jenazah almarhum.
Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Lucky Oktaviano
Kabar munculnya desakan agar dilakukan autopsi terhadap jenazah para ketua maupun anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sampai ke telinga salah satu keluarga korban di Bekasi, Jawa Barat.
Caiman, anggota KPPS di TPS 10, Kampung Bedeng, Desa Karang Mulya, Bojong Mangu, Kabupaten Bekasi, meninggal usai kelelahan menjalani proses Pemilu 2019.
Mendengar kabar itu, pihak keluarga Caiman menolak dilakukan autopsi terhadap jenazah almarhum.
"Sebagai keluarga kami memohon kepada pemerintah janganlah (jenazah Caiman) diautopsi. Ini sudah takdir, keluarga mengikhlaskan," ucap Leman, istri almarhum Caiman, pada Jumat (17/5/2019).
Dia menambahkan, rencana untuk mengautopsi justru akan kembali membuka luka keluarga. Terlebih, keluarga sudah mengikhlaskan atas kepergian Caiman untuk menjadi pahlawan demokrasi.
• Sandiaga Temui Keluarga Petugas KPPS yang Meninggal Dunia, Mereka Menolak Seruan Visum Prabowo
• KPPS Banyak yang Meninggal, Pemerintah Didesak Bentuk Tim Investigasi
• Putri dari Anggota KPPS di Legok yang Meninggal Minta Kematian Ayahnya Tidak Dipolitisasi
Keluarga memohon agar Caiman yang juga anggota Perlindungan Masyarakat (linmas) setempat, dibiarkan beristirahat dengan tenang. "Kami menolak karena itu (autopsi) justru akan membuat keluarga bertambah sedih," ucap dia.
Caiman meninggal pada Jumat (19/4) atau dua hari setelah pencoblosan Rabu (17/4). Caiman merasa sakitnya saat itu hanya sakit biasa dikarenakan kurang istirahat sehingga Caiman beristirahat di rumah.
"Suami saya memang tidak pernah mengeluh sakit, setelah nyoblos dan jaga suara itu, dia pusing dan meninggal 2 hari kemudian," kata Leman, sang istri.
"Almarhum tidak ke rumah sakit, dirawat di rumah aja. Soalnya kan dipikir kan hanya kelelahan dan kurang tidur saja, sama pusing kepala. Sampai meninggal itu mungkin sudah takdirnya, saya ikhlas," paparnya.
Tidak hadir
Sementara itu, dokter spesialis syaraf, Robiah Khairani Hasibuan atau Ani Hasibuan tidak hadir dalam pemeriksaan di Polda Metro Jaya, Jumat (17/5).
Pengacara Ani Hasibuan, Amin Fahrudin, menyatakan kliennya tidak dapat hadir karena dalam kondisi sakit. Ia mengalami kelelahan dan menjalani proses istirahat di rumahnya di kawasan Serpong, Tangerang Selatan.
"Hari ini, klien kami tidak bisa memenuhi panggilan penyidik, karena dalam kondisi sakit. Jadi, kami minta ke penyidik untuk melakukan penundaan pemeriksaan terhadap klien kami. Ibu Ani sakit dirawat di rumah, tidak di rumah sakit. Sakitnya karena terlalu over secara fisik jadi beliau kelelahan," katanya, kemarin.
Amin datang menemui penyidik, untuk memberikan surat pengajuan penundaan pemeriksaan terhadap Ani Hasibuan, yang dijadwalkan diperiksa penyidik, Jumat kemarin.
Dalam kesempatan itu, Amin menilai ada kejanggalan dalam penanganan laporan kasus, yang dituduhkan kepada kliennya oleh penyidik Polda Metro Jaya.
Sebab hanya dalam waktu tiga hari setelah dilaporkan ke polisi, status laporan yang dituduhkan ke Ani sudah naik dari penyelidikan ke penyidikan, tanpa meminta keterangan dahulu dari Ani sebagai saksi dan terlapor.
Dengan naiknya status laporan ke penyidikan, maka polisi sudah memastikan adanya tindak pidana yang terjadi saat penyelidikan dan pada tahap penyidikan saat ini mulai mengumpulkan bukti-bukti, sekaligus menemukan dan menentukan tersangkanya.
"Kami merasa ada kejanggalan dalam proses penanganan laporan ke Bu Ani ini, oleh polisi. Sebab peningkatan status laporannya dari penyelidikan ke penyidikan sangat singkat atau terlalu cepat," kata Amin.
Amin menuturkan jika sesuai runtutan waktu maka laporan kasus dugaan tindak pidana yang dituduhan ke kliennya dilakukan pada Minggu 12 Mei 2019 ke Polda Metro Jaya.

"Kemudian dalam surat panggilan dari polisi ke ibu Ani untuk diperiksa, tertulis tertanggal 15 Mei 2019 dan ditulis pula bahwa panggilan itu adalah dalam rangka penyidikan, bukan penyelidikan," katanya.
"Artinya dalam waktu kurang dari tiga hari, proses hukum sudah menaikkan status laporan penyidikan. Kami duga ini ada kejar tayang karena sangat cepat itu. Kemudian Bu Ani diminta hadir untuk diperiksa jadi saksi tanggal 17 ini. Jadi tidak kurang seminggu, semua proses ini dikejar," kata Amin.
Karenanya kata Amin pihaknya menduga kliennya menjadi target untuk ditersangkakan. "Kami duga Ibu Ani jadi target," kata Amin.
Karenanya Amin meminta pihak kepolisian bekerja seobjektif mungkin menangani kasus ini. Ia justru mempertanyakan mengapa kepedulian Ani terkait kematian ratusan petugas KPPS malah dikriminalisasi.
"Kami nggak ingin seorang profesional seperti dokter Bu Ani yang punya kepedulian politik saat ini, tapi dikriminalisasi," kata Amin.
Laporkan portal berita
Amin menjelaskan dalam laporan pelapor tindak pidana yang dituduhkan ke Ani Hasibuan adalah pernyataannya di portal berita tamsh-news.com, pada 12 Mei 2019, dalam berita berjudul 'dr Ani Hasibuan SpS: Pembantaian Pemilu, Gugurnya 573 KPPS Ditemukan Senyawa Kimia Pemusnah Massal.'
Padahal, kata Amin, Ani Hasibuan tidak pernah membuat pernyataan itu situs tersebut. Karenanya kata dia pihaknya berencana melaporkan situs berita tamsh-news.com ke polisi, terkait pemberitaan yang dinilai merugikan pihaknya.
"Jadi pernyataan yang ada di situs itu bukanlah pernyataan atau statement dari klien kami, dokter Ani Hasibuan. Tapi, media portal ini melakukan framing dan mengambil statement dari pernyataan beliau ketika wawancara di TV One," kata Amin.
Bahkan kata dia Ani Hasibuan juga tidak pernah diwawancara dari pihak portal berita itu.
"Juga tidak pernah jadi narasumber situs itu sehingga klien kami tidak bertanggung jawab dengan apa yang jadi muatan dan isi pemberitaan media tersebut" katanya.
Amin, menilai pemberitaan dalam situs tersebut tidak memiliki prinsip jurnalisme yang sehat. Karenanya kliennya merasa dicemarkan nama baiknya oleh pemberitaan di laman tersebut.
• BREAKING NEWS: Polisi Jelaskan Surat Panggilan Ani Hasibuan Dokter Bongkar Kematian Petugas KPPS
• Ikatan Dokter Indonesia Akhirnya Bicara Soal Kontroversi Ani Hasibuan Terkait Ratusan KPPS Meninggal
• Rumah Dokter Ani Hasibuan, Dokter yang Bongkar Penyebab Kematian Anggota KPPS Kosong, Tinggal Sopir
"Karena dia tidak pakai prinsip jurnalisme yang sehat. Muatannya beritanya juga mengandung pencemaran yang dilakukan.Yang menyatakan KPPS mati secara masal karena diracun itu akhirnya menggiring kepada klien kami," kata Amin.
Kemudian tambahnya dari laman itu ada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengolahnya lagi. "Dibikin semacam meme bahwa ini diracun, kemudian di-mention ke medsos bahwa ini pendapatnya dokter Ani Hasibuan," kata Amin.
Pihaknya kata Amin masih melakukan kajian terhadap portal berita tersebut. Jika laman tersebut tidak layak dan tercatat sebagai portal berita resmi, maka pihaknya akan melaporkan ke pihak kepolisian.
"Portal tamshnews ini apakah merupakan lembaga pemberitaan resmi yang punya SIUP, ataukah dia semacam blog pribadi? Ini masih kami pelajari," katanya.
"Kalau tidak ada redaksi resmi, maka bukan kantor berita resmi, sehingga akan kami laporkan kemungkinan besar adalah kepada penyidik Polri," katanya.
13 Macam penyakit
Kementerian Kesehatan menemukan 13 jenis penyakit penyebab meninggalnya petugas KPPS di 15 provinsi.
Seperti dikutip Antara, Minggu (12/5), 13 penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes melitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan.
Selain disebabkan 13 jenis penyakit itu, ada pula kejadian meninggal petugas KPPS karena kecelakaan.
Sebelumnya, pihak Kemenkes melakukan investigasi atas kasus tersebut. Berdasarkan laporan dari Dinas Kesehatan di 15 provinsi, kebanyakan petugas KPPS yang meninggal di rentang usia 50-59 tahun.
Jumlah korban meninggal di DKI Jakarta 22 jiwa, Jawa Barat 131 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 60 jiwa, Banten 16 jiwa, Bengkulu tujuh jiwa, Kepulauan Riau tiga jiwa, Bali dua jiwa, Kalimantan Selatan delapan jiwa. Kemudian, Kalimantan Tengah tiga jiwa, Kalimantan Timur tujuh jiwa, Sulawesi Tenggara enam jiwa, Gorontalo tidak ada, Kalimantan Selatan 66 jiwa, dan Sulawesi Utara dua jiwa.
Sekretaris Jenderal Kemenkes Oscar Primadi mengatakan, perlu dievaluasi soal padatnya tugas petugas KPPS. "Nantinya kita akan bahas bersama KPU untuk perencanaan pemilu mendatang," kata dia.