Begini Argumentasi Pedagang Soal Pelarangan Berjualan Daging Anjing di Bali, dan Sejarah RW
Begini Argumentasi Pedagang Daging Anjing Soal Pelarangan Berjualan 'RW' di Bali. Simak pula sejarah masakan RW khas nusantara.
PENJUALAN daging anjing sudah tak diperbolehkan lagi di Bali.
Para penjual daging anjing di Bali pun beralih berjualan jenis daging yang lain.
Tapi ada beberapa pedagang yang memiliki argumen lain seputar tak diperbolehkannya berjualand daging anjing di Bali.
Baru-baru ini Tim gabungan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, Polda Bali dan Satpol PP Bali menggelar sidak terhadap aktivitas penjualan daging anjing (RW).
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Pengamat Terorisme: Cara Bergerak dan Modus Bomber Sri Lanka, Serupa Jaringan Teroris Indonesia
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
Sejumlah penjual daging anjing sudah beralih dari daging anjing menjadi daging ayam dan babi.
Warung yang kemarin disidak adalah warung milik Benyamin Takapente.
Benyamin mengatakan bersedia untuk menghentikan operasional penjualan daging anjing dan sudah tidak berjualan daging anjing sejak akhir tahun 2018.
“Kalau sudah peraturan, kami ikuti,” ujar Benyamin, Selasa (23/4).
Untuk itu, ia pun mengganti menu makanan yang dijualnya dari daging anjing menjadi daging ayam dan daging babi.
Kabid Kesehatan Hewan, Kesehatan Masyarakat Viteriner dan Pengolahan Pemasaran, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali drh Ni Made Sukerni menyatakan daging anjing bukanlah untuk dikonsumsi, sehingga tidak layak dijual kepada masyarakat.
• Persija Jakarta Tunggu Kontra Ezra Walian Berakhir
• Stadion Old Trafford Bakal Membara
• Unai Emery: Arsenal Tidak Boleh Salah Lagi
Sebelumnya tim dari Dinas Pertanian dan Satpol PP Kota Denpasar juga sudah memberikan pembinaan.
Namun karena disinyalir masih ada penjualan daging anjing, maka tim dari Pemerintah Provinsi Bali mengambil alih permasalahan ini.
“Tentunya di kemudian hari kalau masih ditemukan penjualan daging anjing, maka akan ditindak lanjuti dengan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Menurut Sukerni, peredaran dan perdagangan daging anjing tidak diperbolehkan karena sudah diatur undang-undang.
Salah satunya Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan yang mengatur kaidah pembunuhan anjing.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Pihaknya menyarankan kalau memang ada warga yang bingung membawa anjing kemana dipersilahkan untuk menghubungi Dinas Peternakan setempat.
Kasi Korwas Polsus Ditbimas Polda Bali, Kompol Nyoman Weca menyampaikan jika setelah dilaksanakan pembinaan ternyata ditemukan lagi penjualan RW, maka akan dibuatkan suatu laporan khusus dan pihaknya tidak segan-segan melakukan pendekatan hukum sesuai aturan yang berlaku.
Theodorus 24 Tahun Jualan Daging Anjing
Seorang warga yang warungnya disidak karena disinyalir menjual daging anjing, Theodorus mengaku sebelum dilarang menjual RW, dirinya sudah berdagang selama 24 tahun.
Ia menyebut selain dikonsumsi, permintaan daging anjing juga datang dari rumah sakit, mahasiswa untuk bahan penelitian, serta masyarakat umum yang mengalami sesak nafas.
Ia menceritakan warga sering membawa anjing ke rumahnya, bahkan menerima limpahan anjing dari hotel-hotel besar di Nusa Dua.
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Pengamat Terorisme: Cara Bergerak dan Modus Bomber Sri Lanka, Serupa Jaringan Teroris Indonesia
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
Anjing-anjing yang dibawa itu kemudian dipotong dan dikonsumsi sendiri dengan alasan sudah secara turun temurun memakan RW.
Dirinya sudah mengetahui bahwa RW bisa dikonsumsi untuk sendiri, namun dilarang dikomersialkan ke masyarakat.
Ia juga mempertanyakan dan meminta solusi ke pemerintah terkait anjing-anjing yang hidup secara liar, dan masyarakat cenderung membuang anak-anak anjing itu sembarangan, karena jumlahnya terlalu banyak.
“Saya minta solusi, kalau anjing liar mengganggu masyarakat bagaimana tindakan pemerintah,” tanyanya.
• Persija Jakarta Tunggu Kontra Ezra Walian Berakhir
• Stadion Old Trafford Bakal Membara
• Stadion Old Trafford Bakal Membara
Sejarah RW
Masakan daging anjing yang paling terkenal adalah olahan dengan bumbu khas Minahasa, Sulawesi Utara.
Di Manado dan sekitarnya, masakan daging anjing kerap disebut dengan 'RW'.
Mengapa disebut RW?
RW merupakan kependekan dari Rintek Wuuk (bahasa Manado) yang artinya 'bulu halus'.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Masalah RW ala minahasa adalah daging anjing akan dimasak menggunakan campuran cabe rawit, jahe, kemangi, lengkuas, daun bawang, serei, dan daun jeruk.
Takaran cabe rawit harus banyak karena RW serasa kurang jika tak pedas.
Selalu ada RW di hidangan pesta-pesta masyarakat Minahasa, Sulawesi Utara.
RW mendampingi olahan daging wajib lainnya seperti babi dan ayam.
Di rumah-rumah makan Minahasa juga banyak menjual RW.
Harganya relatif murah yakni Rp 25 ribu sampai Rp 35 ribu per porsi, sudah paket dengan nasi dan sayur.
Tak ada tahun jelas kapan orang Minahasa mulai mengonsumsi anjing, demikian kata sejarawan muda Christian Andre Tuwo.
• Vakum di Panggung Hiburan, Asty Ananta Kini Lebih Fokus ke Dunia Kesehatan dan Pendidikan
• Unai Emery: Arsenal Tidak Boleh Salah Lagi
• Stadion Old Trafford Bakal Membara
Sejauh ini pun belum ada literasi, rujukan atau catatan yang memang khusus membahas awal mula masyarakat Minahasa mengonsumsi anjing.
Christian mengutip buku Jessy Wenas yang menulis penelitian antropolog Australia, Peter Bellwood di Paso, tepi darat Danau Tondano tahun 1985.
Tempat ini dipercaya menjadi awal mula peradaban bangsa Minahasa.
Dalam penelitian tersebut Bellwood menemukan sisa-sisa makanan manusia purba yang telah berusia sekitar enam ribu tahun.
Sisa makanan itu yakni tulang tikus, kelelawar, ular piton, babi hutan, babi rusa dan monyet.
Berdasarkan temuan tersebut Bellwood menyatakan orang Minahasa purba adalah pemburu.
• UPDATE Terbaru Real Count Pilpres 2019 KPU Pukul 10.45, Suara Jokowi-Maruf Ngacir, Prabowo Rontok
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Pengamat Terorisme: Cara Bergerak dan Modus Bomber Sri Lanka, Serupa Jaringan Teroris Indonesia
Dalam penemuan itu Bellwood tak menyebutkan adanya sisa-sisa makanan dari anjing.
Christian menganalisa saat itu anjing hanya menjadi peliharaan karena hewan buruan di hutan masih banyak.
Masyarakat Minahasa mulai mengonsumsi anjing ketika buruan di hutan telah habis.
Ia memperkirakan saat itu bersamaan dengan telah kokohnya Kristen di Minahasa pada abad ke-16.
Karena pada masa itu masyarakat Minahasa mulai berkembang, pemukiman warga mulai padat.
Hutan yang dalamnya ada buruan pun menghilang.
Masyarakat Minahasa sendiri adalah warga keturunan ras Mongoloid.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Orang-orang Mongol terkenal dengan budaya makannya yang ekstrem.
Kondisi itu sama persis dengan budaya Minahasa saat ini.
Menurut Christian, kondisi alam dan letak geografis yang sama, membuat orang Mongol bisa bertahan hidup di tanah yang kemudian disebut Minahasa.
Kondisi alam memang mendukung prilaku manusia.
“Anjing-anjing di Minahasa ini kemungkinan memang dibawa bangsa Mongol ke tanah yang kemudian disebut Minahasa ini. Seiring berjalan waktu, karena naluri bertahan hidup, pada akhirnya warga Minahasa yang awalnya menjadikan hewan ini sebagai sahabat, akhirnya memakan mereka juga. Bahkan Jessy Wenas menulis, di abad modern kebiasaan Minahasa memakan daging ekstrem makin menggila,” jelas Christian.
Budayawan Greenhill Weol memberikan pandangan lebih spesifik soal anjing di Minahasa.
• Unai Emery: Arsenal Tidak Boleh Salah Lagi
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Ia mengatakan sejarah kedekatan anjing dengan masyarakat Minahasa telah melalui perjalanan panjang.
Anjing telah mewarnai sejarah terbentuknya Minahasa.
Orang-orang yang datang di tanah adat, yang kemudian disebut Minahasa, datang bersama anjing-anjing peliharaan mereka.
“Sebab anjing bukan hewan endemik di Minahasa. Anjing sendiri memang telah bersama manusia sejak proses penyebaran manusia ke seluruh dunia. Jadi kalau ditanya kapan sejarah Minahasa makan anjing, itu panjang sekali,” ujarnya.
Greenhill kurang setuju jika menyebut orang Minahasa memang khusus makan anjing.
Sebab orang-orang yang dikenal sebagai leluhur Minahasa memang sudah hidup akrab dengan anjing.
Manusia purba yang hidup berkelompok menjadikan anjing sahabat untuk berburu dan menjadi sahabat keluarga.
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Vakum di Panggung Hiburan, Asty Ananta Kini Lebih Fokus ke Dunia Kesehatan dan Pendidikan
“Orang Minahasa butuh anjing sejak dulu hingga sekarang. Saat berkebun, berburu di hutan, anjing sangat membantu. Sekarang saja saat orang Minahasa ke kebun pasti membawa anjing. Jadi karena kedekatan ini, anjing telah menjadi sahabat juga menjadi makanan. Waktunya sejak kapan, lama sekali, tak bisa ditentukan,” ujarnya.
Masalah yang ditemukan sekarang ketika konsumsi daging anjing di Minahasa dan Sulawesi Utara pada umumnya dilihat dengan kacamata modern.
Orang barat hari ini tak lagi mengonsumsi anjing. Tetapi dulu waktu perang dunia I dan II, mereka tetap juga makan anjing.
Kondisi di mana mereka mengalami krisis pangan, tak ada lagi bahan untuk dimakan.
Menurut Greenhill itu juga yang terjadi di Minahasa.
Seiring berjalannya waktu, ia yakin masyarakat Minahasa akan sadar bahwa anjing dan kucing yang adalah hewan domestik, bukanlah makanan.
Hal ini hanya bisa dipercepat dengan edukasi ke masyarakat, banyak orang yang berbicara bahwa anjing itu sahabat manusia.
• Konsumsi Ritel Jelang Bulan Puasa dan Sepanjang Ramadan Bakal Meningkat
• Pengamat Terorisme: Cara Bergerak dan Modus Bomber Sri Lanka, Serupa Jaringan Teroris Indonesia
• Isuzu Gelar Technical Skills Competition Tingkat Nasional
“Perlahanan saya yakin generasi ke depan akan menjadi seperti di barat, tak memandang anjing sebagai makanan,” ucapnya.
Namun ia berkata jangan menyalahkan budaya Minahasa yang dengan secara langsung mengatakan masyarakat Minahasa itu bar-bar karena mengonsumsi anjing.
Perjuangan organisasi pecinta hewan juga harus melihat kearifan lokal dan kontekstual. Perdagangan anjing dan kucing juga menjadi ladang bisnis.
Banyak warga menggantungkan sumber ekonomi mereka dari bisnis ini.
“Beri waktu pada masyarakat Minahasa untuk dewasa lewat edukasi. Organisasi yang menyuarakan anjing dan kucing bukan makanan itu saya yakin tujuannya untuk kebaikan. Tapi jangan menyerang budaya, itu buruk saya katakan. Karena ada kecenderungan membalas. Harus dengan perlahan. Menyerang budaya, itu artinya menyerang manusianya. Sifat dasar manusia yang diserang, bisa menyerang balik,” ucap Greenhill.
• Seorang Netizen Doakan Ustadz Yusuf Mansur Jadi Sengsara, Ini Balasan Tak Terduga UYM
• Hadapi Pancaroba, Warga Jakarta Utara Diminta Banyak Konsumsi Sayur dan Buah
• Mengetahui Sang Pacar Ganti Kelamin, Dokter Ini Bunuh dan Mutilasi Kekasihnya Itu
Konsumsi daging anjing bagi masyarakat Minahasa memang tak pernah dilarang secara tradisi maupun agama.
Minahasa yang memeluk agama Kristen Protestan, diperbolehkan memakan segala jenis hewan yang ada di muka bumi.
Menurut Pendeta Danny Weku, dalam ajaran agama Kristen yang memperbolehkan manusia makan segalanya ada di kitab Timotius dan Korintus.
“Dari tradisi dan agama, masyarakat Minahasa sudah punya pandangan bahwa anjing bisa dimakan. Tak ada larangan apapun. Kecuali mungkin hewan yang dianggap sakral seperti burung Manguni,” ucap Weku yang juga pemerhati budaya ini.
Artikel ini dikompilasi dari berita di Tribun Bali dan Tribun Manado dengan judul Begini Pengakuan Pedagang Daging Anjing Selama 24 Tahun di Bali, Theodorus Beberkan Fakta Ini, dan Awalnya Anjing Jadi Teman Berburu, Kini Pesta Tak Lengkap tanpa Menu RW,
Penulis: Wema Satya Dinata dan Finneke