Kolom Trias Kuncahyono

Jas Merah

Sebab, sebelum 17 Agustus 1967, Presiden Soekarno dan keluarganya diminta harus sudah angkat kaki dari istana.

Editor: AchmadSubechi
Intisari
Bung Karno atau Presiden RI I, Soekarno 

Yang dikatakan Bung Karno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah” itu kemudian dikenal dengan sebutan “Jas Merah.” Dan, “Jas Merah” diteriakkan dengan lantang oleh Bung Karno pada pidato 17 Agustus 1966.

Menurut AH Nasution Jas Merah adalah judul yang diberikan oleh Kesatuan Aksi terhadap pidato Presiden, bukan judul yang diberikan Bung Karno.

Presiden memberi judul pidato itu dengan Karno mempertahankan garis politiknya yang berlaku “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.

Dalam pidato itu Presiden menyebutkan antara lain bahwa kita menghadapi tahun yang gawat, perang saudara, dan seterusnya.

Disebutkan pula bahwa MPRS belumlah berposisi sebagai MPR menurut UUD 1945. Posisi MPRS sebenarnya nanti setelah MPR hasil pemilu terbentuk (Majalah D&R, 17 Januari 1998).

Yang diteriakkan Bung Karno saat itu, dalam bahasa lain sudah dikatakan oleh Jose Augustín Nicolás Ruiz De Santayana yang lebih dikenal denga nama George Santayana (1863-1952). Filsof, penyair, dan humanis Amerika-Spanyol ini mengatakan, “Mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”

Mengapa, misalnya, di setiap zaman selalu muncul orang-orang yang bertabiat, berkarakter, berwatak, berlaku sebagai diktator.

Misalnya, Adolf Hitler (Jerman), Benito Mussolini (Italia), Joseph Stalin (Uni Soviet), Pol Pot (Kamboja), Idi Amin (Uganda), Robert Mugabe (Zimbabwe), Mao Zedong (China), Muammar Khadafi (Libya), Francsco Franco (Spanyol), Manuel Noriega (Panama), Fulgencio Batista (Kuba), Kim Jong-il (Korut), Omar al Bashir (Sudan), Nicolás Maduro (Venezuela), Saddam Hussein (Irak), Juan Manuel de Rosas (Argentina), Mobutu Sese Seko (Kongo), Nicolae Ceausescu (Romania), Slobodan Milosovic (Serbia-Bosnia), Jean-Claude Duvalier (Haiti), Ferdinand Marcos (Filipina), Antonio Salazar (Portugal), Alfredo Stroessner (Paraguay), Jean Bedel Bokassa (Republik Afrika Tengah), dan masih banyak lagi.

Siapa yang pernah menduga, misalnya Adolf Hitler yang naik ke puncak kepemimpinan lewat pemilu demokratis, pada akhirnya menjadi diktator kejam?

Dengan partai politik berhaluan kanan, ultranasionalis, yang sebenarnya memiliki nama asli National Sozialistische Deucth Arbeiter Partei, yang dalam bahasa Indonesia berarti “Partai Buruh Nasional-Sosialis Jerman” dan lebih dikenal dengan nama Nazi,  Hitler memenagi pemilu secara demokratis pada tahun 1933.

Lalu, Hitler  menjadi kanselir Jerman pada tahun 1934. Sejak Nazi berkuasa mereka memiliki misi untuk mengembalikan kejayaan Jerman yang porak-poranda akibat Perjanjian Versailles (1919), pasca kalahnya Jerman pada Perang Dunia I.

Hitler berambisi untuk mengembalikan kejayaan Jerman  (German Great Again, dalam bahasa sekarang) yang “dikebiri” oleh Sekutu, dengan menyerang Danzig, sebuah kota kecil di Polandia, yang nantinya akan mengawali sejarah paling berdarah di dunia, Perang Dunia II.

Bukan hanya Hitler, pemimpin hasil pemilu demokratis yang menjelma menjadi diktator dan pemimpin otoriter. Hampir semua pemimpin diktator yang disebut di atas adalah hasil pemilu, meski ada yang merebut melalui kudeta.

Mussolini, misalnya, agak berbeda politiknya naik ke puncak kepemimpinan. Setelah gagal pada Pemilu 1919, Mussolini mengembangkan paham kelompoknya yakni fasisme, sehingga mulai mendapat pengaruh.

Mereka, kaum fasis, menolak parlemen dan mengedepankan kekerasan fisik. Anarki pecah di mana-mana.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved