Kolom Trias Kuncahyono

Jas Merah

Sebab, sebelum 17 Agustus 1967, Presiden Soekarno dan keluarganya diminta harus sudah angkat kaki dari istana.

Editor: AchmadSubechi
Intisari
Bung Karno atau Presiden RI I, Soekarno 

Oleh: Trias Kuncahyono

Rabu, 17 Agustus 1966. Menurut kalender Gregorian, hari Rabu itu adalah hari ke-229 tahun 1966 atau 136 hari sebelum lembaran terakhir tahun itu ditutup. Ini adalah yang bersejarah; dan dikenang hingga kini.

Di hari peringatan ulang tahun kemerdekaan ke-21 RI itu, Bung Karno sebagai presiden berpidato, sebagaimana biasanya.

Hanya bedanya, pidato kali ini merupakan pidato terakhir sebagai presiden di perayaan peringatan Proklamasi Kemerdekaan.

Sebab, sebelum 17 Agustus 1967, Presiden Soekarno dan keluarganya diminta harus sudah angkat kaki dari istana.

Kisah yang hampir mirip dialami Presiden Muhammad Morsi dari Mesir. Pada tanggal 1 Juli 2013, para panglima militer datang ke Presiden Mohamed Morsi. Mereka menyodorkan permintaan sederhana: mundurlah dengan inisiatif sendiri.

“Langkahi mayatku!” Itulah jawaban Morsi kepada Menteri Pertahanan yang juga Kepala Angkatan Bersenjata Mesir Jenderal Abdel Fatah al-Sisi, Senin. Peristiwa itu terjadi dua hari sebelum tentara akhirnya menggulingkannya.

Pada akhirnya, presiden pertama Mesir yang dipilih secara demokratis itu menemukan dirinya terisolasi, ditinggalkan oleh sekutunya. Tidak ada dalam tentara atau polisi yang bersedia mendukungnya.

Bahkan, pasukan pengawal Garda Republik melangkah pergi saat komandan tentara datang untuk menahannya ke fasilitas militer.

Ketika itu antara lain Bung Karno mengatakan: “Seorang pemimpin berkata, one cannot escape history. Saja pun berkata seperti itu, tapi saja tambahkan. Never leave history! Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah! Djangan sekali-kali meninggalkan sedjarah!.”

Bung Karno mengingatkan kepada masyarakat untuk tidak meninggalkan sejarah; untuk tidak melupakan sejarah.

Karena, ketika kita semua meninggalkan sejarah, maka kita akan berdiri di atas kekosongan, kebingungan, dan kehampaan.

Mengapa demikian? Karena, menurut Santo Augustinus (354-430), sejarah berputar di sekitar hal yang baru dan hal yang abadi, dan Allah adalah abadi dan Ia adalah pencipta masa dan Yang Abadi tidak boleh dipahami dan dideskripsikan dari wawasan hal yang baru.

Dan, menurut Bung Karno, karena sejarah selalu berjalan, dan berulang, maka ketika kita melupakan sejarah, kita sendiri yang akan termakan oleh sejarah kita sendiri. Di sisi lain, sejarah sangat diperlukan untuk membangun bangsa yang baik dan sejahtera. Untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan dalam melangkah maju demi perjuangan bangsa Indonesia selanjutnya.

Di akhir pidatonya Bung Karno sekali lagi menegaskan: “Peladjarilah sedjarah-perdjoanganmu-sendiri jang sudah lampau, agar supaja tidak tergelintjir dalam perdjoanganmu jang akan datang.”

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved