Maruf Amin: HTI Bukan Ditolak, tapi Tertolak
Maruf Amin menegaskan, Indonesia adalah negara majemuk dengan ideologi Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa.
CALON wakil presiden nomor urut 01 Maruf Amin menegaskan, Indonesia adalah negara majemuk dengan ideologi Pancasila yang disepakati oleh para pendiri bangsa.
Maruf Amin menerangkan, Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan.
Dengan kondisi sosial masyarakat yang majemuk, menurut Maruf Amin, Pancasila lah yang menjadi pemersatu bangsa. Sehingga, berdiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
• Go-Jek Disarankan Keluar dari Zona Perang Tarif
"Dari pandangan agama itu, negara ini negara kesepakatan. Ada kesepakatan untuk hidup berdampingan secara damai," kata Maruf Amin di Rumah Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2019).
Lalu, Maruf Amin menyinggung organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang tertolak di Indonesia, karena tidak sesuai kesepakatan.
Sebab, paham yang dianut HTI soal khilafah, tidak bisa masuk ke Indonesia.
• Terungkap! Ini Penyebab 34 Kapal Nelayan di Pelabuhan Muara Baru Hangus Terbakar pada Pekan Lalu
"Kenapa HTI itu ditolak? Saya bilang bukan ditolak. Tapi tertolak. Beda itu. Kalau ditolak itu bisa masuk, cuma ditolak. Kalau tertolak itu memang tidak bisa masuk," ucap Maruf Amin.
Menurut Maruf Amin, sistem khilafah yang dianut HTI tidak sesuai kesepakatan bangsa, yakni Pancasila.
"Dia bawa Khilafah. Khilafah itu menyalahi kesepakatan. Maka otomatis tertolak. Bahasa agamanya menyalahi kesepakatan," paparr Maruf Amin.
• Amien Rais: Kalau Sampai Curang, Kita Doakan KPU Laknat, Hidupnya Sengsara Dunia Akhirat
Tetapi, lanjutnya, keinginan HTI untuk mendirikan Khilafah terlalu besar, sehingga pemerintah menggunakan pendekatan konstitusi, yakni undang-Undang.
"Kalau ini tidak terjaga dan tidak bisa mengawal negara ini, bisa jadi negara ini kayak Afghanistan. Kita tidak ingin negara Indonesia tercabik-cabik. Makanya saya mau mendampingi Pak Jokowi untuk mengawal ini di samping membangun kesejahteraan," tutur Maruf Amin.
MA Tolak Kasasi
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto mengaku belum menerima pemberitahuan secara resmi dari MA.
Namun, Ismail Yusanto mengatakan, pihaknya tidak kaget dengan putusan itu.
• Setelah Nodai ABG, Kakek Berumur Setengah Abad Selipkan Uang Rp 150 Ribu Lalu Pergi
"Dalam suasana dan budaya hukum saat ini yang sangat diskriminatif dan politis, putusan seperti itu sangat mungkin terjadi," ujar Ismail Yusanto kepada Tribunnews.com, Jumat (15/2/2019).
Menurut Ismail Yusanto, pihaknya akan mengonsultasikan masalah ini ke Yusril Ihza Mahendra yang menjadi kuasa hukum HTI.
"Masih ada PK (peninjauan kembali).Mungkin kita akan mengajukan PK bila ada novum baru," katanya.
• Pemilu Semakin Dekat, Wakapolri Bilang Keributan di Media Sosial Sudah Bergeser ke Dunia Nyata
"Satu hal lagi, tolong jangan dikatakan HTI itu organisasi terlarang. Dalam putusan pemerintah maupun pengadilan, hanya disebut HTI dicabut status BHP (Badan Hukum Perkumpulan), dan itu berarti bubar, bukan terlarang," tegas Ismail Yusanto.
"Tolak kasasi," tulis amar putusan hakim seperti dilansir dari website MA, Jumat (15/2/2019).
Putusan MA itu diputuskan pada Kamis (14/2/2019), oleh majelis hakim yang terdiri dari Is Sudaryono, Hary Djatmiko, dan Supandi.
• Elektabilitas Jokowi Melorot 8 Persen Gara-gara Fitnah Emak-emak, Kubu 02: Itu Hanya Butiran Debu
Kasus bermuara pada 2017 lalu, saat pemerintah melalui Menkumham membubarkan HTI berdasarkan Undang-undang Ormas.
HTI kemudian menggugat ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jakarta. Namun, PTUN Jakarta menolak gugatan HTI pada Mei 2019.
Vonis itu dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta pada September 2018. Kemudian, HTI melanjutkannya dengan proses Kasasi ke MA.
Radikalisme dan Intoleransi Masih Mendominasi
Ketua Progres 98 Faizal Assegaf mengatakan, paham radikalisme dan intoleransi masih mendominasi Pemilu 2019 yang akan diselenggarakan pada 17 April mendatang.
Salah satu pendiri Presidium Alumni 212 itu menyebutkan, kelompok radikal Hizbut Tahfir Indonesia (HTI) masih eksis saat ini, dan sering menumpang nama pada kelompok yang sebetulnya damai dan mendukung demokrasi.
Menurutnya, sejak dibubarkan, HTI lebih aktif menyebarkan ujaran kebencian dan hoaks di sosial media, dibandingkan turun ke jalan.
• Diciduk Polisi karena Isap Sabu, Sandy Tumiwa: Saya Lagi Galau
"Jelang Pikada DKI, saya sebagai penentu alumni 212 koordinator kajian politiknya, tujuan awal itu gimana hadirkan gerakan oposisi yang damai. Tapi, ada upaya untuk menunggangi yang dilakukan oleh HTI untuk timbulkan perpecahan," ungkapnya, dalam diskusi Pemilu Damai Tanpa Radikalisme, Intoleransi, dan Terorisme, di Lentera Cafe, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/2/2019).
"Di medsos sejak HTI bubar, tak ada lagi demo-demo di jalan, mereka buat forum di medsos didanai kekuatan-kekuatan Internasional," sambungnya.
Faizal Assegaf menilai, kelompok radikal sebetulnya tidak mendukung kandidat capres cawapres tertentu, melainkan punya agenda dan kepentingannya sendiri.
• 34 Kapal yang Terbakar di Muara Baru Tidak Diasuransikan, Kerugian untuk Sementara Rp 23,4 Miliar
"Di Twitter sudah ada ancaman integrasi. Mereka tak tanggung-tanggung suarakan keinginan mereka untuk kegagalan demokrasi yang sudah berlangsung, tak peduli Prabowo kalah, Jokowi menang, dan lainnya. Ini ancaman yang serius, tak bisa demokrasi dengan biaya mahal malah jadi pintu masuk disintegrasi Indonesia," tegasnya.
Menurutnya, pemerintah, KPU, dan TNI/Polri perlu ambil sikap tegas untuk memberantas kelompok radikal tersebut.
"Saya usulkan KPU TNI Polri harus sensitif lihat itu. Jangan sampai elemen yang tidak percaya hasil pemerintahan demokrasi ikut terlibat dan ciptakan konflik," papar Faizal Assegaf.
• Susi Pudjiastuti: Tirulah Saya! Sekolah Tidak Tinggi tapi Banyak Membaca
"Musuh kita bukan Prabowo, bukan oposisi, tapi intolerasi radikalisme, pelaku utamanya HTI yang terlibat dalam skenario-skenario kebohongan," tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai, radikalisme, intoleransi, dan terorisme masih menjadi ancaman jelang Pemilu 2019. Maka itu, ia meminta masyarakat Indonesia mampu mendeteksi ancaman tersebut.
"Harapan kami pemilu ini damai, aman, penuh kegembiraan tanpa ada gerakan yang bisa menggangu pemilu dan menimbulkan keretakan sosial," harap Karyono.
• Persib Kalah di Laga Pembuka Piala Presiden 2019, Umuh Muchtar Curiga Wasit Dendam
Dia mengatakan, salah satu bentuk ancaman pada pemilu saat ini adalah politik identitas yang mengedepankan suku, agama, ras, dan antar-golongan. Bahkan, selama memasuki masa kampanye, lanjut dia, ruang publik telah diisi ujaran kebencian dan hoaks.
"Gerakan-gerakan intoleran, gerakan radikalisme, paham khilafah islamiah juga ikut menumpang dalam proses pemilu. Kemudian, kita sering kali melihat masih ada bendera HTI berkibar di dalam proses pemilu 2019 ini. Itu mengkhawatirkan, jangan sampai hal itu mengganggu proses pemilu," bebernya. (Dennis Destryawan)