Berita Nasional

Sulit Seret Jokowi Secara Pribadi di Polemik Kereta Cepat, Pakar: Dia Tandatangan Atas Nama Negara

Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.

Editor: Feryanto Hadi
Tangkapan Layar Channel YouTube Kompas.com
POLEMIK KERETA CEPAT - Usai diperiksa tim penyidik Polda Metro Jaya di Polresta Surakarta, Rabu (23/7/2025), terkait kasus dugaan fitnah hingga ujaran kebencian soal ijazahnya yang dituding palsu, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) mengatakan akan terus mengikuti proses hukum kasus ini sampai di pengadilan. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA-- Beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) alias Whoosh bikin pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pusing. 

Pemerintah memastikan tidak akan ikut membiayai beban utang kereta cepat ke China.

Diketahui, proyek Whoosh berbuntut pada utang yang nilainya fantastis, yakni mencapai lebih dari Rp100 triliun dan membebani BUMN seperti PT KAI (Persero) sebagai salah satu pemegang saham utama.

Kereta cepat yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.

 Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.

Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS (Rp116 triliun) pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.

Baca juga: Sambil Menunggu Informasi dari Mahfud MD, KPK Telusuri Dugaan Mark Up Proyek Kereta Cepat Era Jokowi

Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).

Adapun proyek Whoosh digadang-gadang sebagai salah satu proyek mercusuar dan ambisius di masa pemerintahan mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Setelah terungkap besarnya beban dari proyek kereta cepat ini, nama Jokowi pun turut terseret hingga dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.

 Lantas, benarkah Jokowi harus menanggung utang proyek tersebut?

Tidak Bisa Dibebankan Hanya kepada Jokowi

Pakar kebijakan publik dari Universitas Diponegoro (UNDIP) Teguh Yuwono menyebut, suatu proyek pemerintah, ketika dicanangkan dan dilaksanakan, maka sifatnya adalah institusional.

Pihak-pihak yang menandatangani proyek tersebut bukan lagi perorangan, melainkan sudah atas nama negara atau pemerintah.

Hal ini dia sampaikan ketika menjadi narasumber dalam program On Focus yang diunggah di kanal YouTube Tribunnews, Rabu (22/10/2025).

"Perlu dicatat, dalam sistem pemerintahan kita, ketika negara atau pemerintah mengambil keputusan, maka keputusan itu bersifat institusional," tutur Teguh.

"Ketika seseorang [pejabat publik] sudah menandatangani sesuatu, itu dia atas nama negara, atas nama pemerintah. Jadi pihak-pihak [yang menandatangani] itu bukan perorangan."

"Jadi, saya kira, ada orang yang salah memahami tata kelola pemerintahan. Harusnya, pihak-pihak yang melakukan tanda tangan kontrak, maka itu adalah kontrak kelembagaan atau institusional."

 "Yang ekstrem, seperti kasus IKN (Ibu Kota Nusantara). IKN itu kan sudah dicanangkan, ditandatangani oleh presiden sebagai kepala negara, maka presiden yang selanjutnya juga akan tetap terikat dengan tanda tangan kontrak itu."

Selanjutnya, Teguh menilai, proyek KCJB alias Whoosh sifatnya sama, yakni institusional atas nama negara.

Apalagi, proyek itu dibangun untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi.

Sehingga, setiap pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya, tidak bisa lagi dipandang sebagai orang per orang.

"Untuk kasus Kereta Cepat Jakarta Bandung itu, sebetulnya proses yang dilakukan kan berbasis kelembagaan. Jadi, bukan orang per orang, misalnya si A, si B, si C, itu pihak swasta, atau itu pihak negara," ujar Teguh.

"Yang terjadi di negara kita kan pemerintah mengambil inisiasi lalu memutuskan ini sebagai proyek yang dibiayai untuk meningkatkan pelayanan di bidang transportasi Jakarta-Bandung untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan kualitas pelayanan."

"Itu harusnya berbasis fungsional kenegaraan."

Oleh karena itu, Teguh menegaskan, soal siapa yang harus bertanggung jawab terkait utang Whoosh, tidak bisa dilempar ke perseorangan saja, seperti kepada Jokowi selaku presiden saja atau cuma Sri Mulyani Indrawati selaku Menteri Keuangan RI saat itu.

"Jadi, tidak berarti karena Pak Jokowi yang tanda tangan, maka Jokowi yang harus bertanggungjawab. Itu kan seolah-olah semua beban dikembalikan ke Jokowi," papar Teguh.

"Padahal di situ ada banyak pihak yang ikut menandatangani proyek ini. Bahkan itu kan konsorsium, KCIC, Kereta Cepat Indonesia-China."

"Artinya kan [proyek Whoosh dikerjakan] melalui beberapa pilar dan pilar-pilar itu harusnya dilakukan berbasis institusi, tidak berbasis perorangan."

"Jadi, misal waktu itu Menteri Keuangan RI-nya adalah Sri Mulyani, maka ini salah Sri Mulyani. Bukan begitu."

"Siapa pun yang menjadi menteri, ex officio, ya dia harus bertanggungjawab juga karena ini atas nama negara."

Proyek Whoosh Bersifat Institusional, Presiden Sekarang Juga Turut Bertanggung Jawab

Menurutnya, bahkan proyek Whoosh juga menjadi tanggung jawab Presiden RI Prabowo Subianto yang kini menggantikan Jokowi.

Teguh menambahkan, apabila masih berlanjut, maka proyek yang bersifat kelembagaan atau atas nama negara akan selalu mengikat siapa pun yang menjadi presiden.

"Ini yang kadang-kadang tidak kita lihat, bahwa ketika manajemen pemerintahan dikembangkan atau diterapkan, maka siapa pun yang tanda tangan, apalagi jika kontraknya serial (5, 10, atau 20 tahun ke depan) seperti IKN, itu kan mengikat presiden," ujar Teguh.

"Apalagi kalau itu sudah diundang-undangkan, siapa pun presidennya. Ya walaupun sekarang ini Presiden Prabowo tidak begitu intens ke sana, tetapi beliau berada dalam keterwajiban kelembagaan, sama juga untuk kasus KCJB ini, kira-kira setting policy making-nya begitu."

Bom Waktu Utang Whoosh

Proyek KCJB alias Whoosh dikelola oleh PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), yang merupakan perusahaan patungan antara konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dengan 60 persen saham dan konsorsium China melalui Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen saham).

Adapun PSBI sendiri dipimpin oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) dengan porsi saham 58,53 persen, diikuti Wijaya Karya (33,36 persen), PT Jasa Marga (7,08 persen), dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII (1,03 persen).

Sementara, komposisi pemegang saham Beijing Yawan HSR Co. Ltd terdiri atas CREC 42,88 persen, Sinohydro 30 persen, CRRC 12 persen, CRSC 10,12 persen, dan CRIC 5 persen.

Proyek Whoosh saat ini menuai sorotan lantaran utangnya yang mencapai Rp116 triliun menjadi beban berat bagi konsorsium BUMN Indonesia, terutama PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai lead konsorsium PSBI.

Bahkan, utang proyek Whoosh dinilai bagai bom waktu.

Proyek yang resmi beroperasi sejak 2 Oktober 2023 ini mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.

Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.

Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.

Sementara, sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).

Whoosh, yang notabene merupakan program yang dibangga-banggakan oleh Jokowi, jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).

Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.

Karena menjadi lead konsosrium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.

Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang.

Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin bahkan menyebut besar utang proyek Whoosh ini bagai bom waktu, sehingga pihaknya akan melakukan koordinasi dengan BPI Danantara untuk menanganinya.

“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” ujar Bobby dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Pelonggaran utang

Kebisingan Menteri Keuangan RI Purbaya Yudhi Sadewa membuat China melonggarkan utang kereta cepat yang sempat menuai polemik masyarakat Indonesia belakangan ini. 

Sebelumnya PT KAI mengeluhkan terus merugi lantaran terbebani utang kereta cepat yang cukup mahal setiap tahunnya.

Pasalnya pendapatan kereta cepat Jakarta-Bandung belum bisa menutup modal utang yang disepakati dengan China sebelumnya. 

Alhasil, PT KAI terus nombok untuk membayar kekurangan cicilan utang kereta cepat

Dari hal tersebut, muncul inisiasi membayar utang kereta cepat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun hal itu buru-buru dibantah oleh Bendahara Negara Purbaya.

Purbaya mengaku tidak mau mengeluarkan sepeserpun uang negara untuk membayar utang kereta cepat lantaran sedari awal perjanjiannya sudah business to Business (b2b). 

Pernyataan Purbaya lantas menuai gonjang-ganjing dalam negeri. Hingga mengorek kembali borok proyek kereta cepat yang dikabarkan bermasalah sedari awal. 

Usai gonjang-ganjing tersebut, kabarnya pihak Danantara pergi ke China untuk melakukan lobi pelonggaran utang proyek.

Kabarnya, China pun sepakat untuk restrukturisasi utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung (Whoosh).

Di mana China memberikan perpanjangan pembayaran utang hingga 60 tahun dari yang sebelumnya tenor cicilan hanya 45 tahun. 

Danantara sendiri belum merinci kesepakatan restrukturisasi yang telah disetujui oleh China. 

Namun Purbaya pun memberikan acungkan jempol kepada Danantara yang telah melobi China terkait dengan restrukturisasi utang proyek kereta cepat.

Artinya kata Purbaya, uang negara bisa aman untuk tidak terlibat dalam utang proyek tersebut.

"Bagus, saya enggak ikut kan? Top," ujar Purbaya dengan nada sumringah saat menanggapi perkembangan tersebut di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Baca juga: Pramono Dukung Purbaya Larang Thrifting: Saya Tidak Mau Pedagang Hanya Jadi Reseller

Saat ditanya kenapa tidak diajak ke China bersama Danantara, Purbaya tidak mempermasalahkan hal tersebut. 

Menurutnya pemerintah memang tidak boleh ikut campur dengan proyek yang sedari awal ditetapkan b2b itu.

Pun Purbaya juga ogah mendelegasikan anak buahnya untuk ikut dalam perundingan. Sebab kata dia, proyek tersebut harus diselesaikan secara b2b. 

"Saya sebisa mungkin enggak ikut, biar aja mereka (Danantara) selesaikan business to business, jadi top," tegas Purbaya.

Jika pun Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu, harus hadir dalam pertemuan negosiasi, Purbaya menyatakan hal itu hanya sebatas menyaksikan kesepakatan yang telah diputuskan oleh para pihak.

"Paling menyaksikan, kalau mereka sudah putus kan udah bagus, top," imbuhnya.

Penegasan ini sekaligus meredakan kekhawatiran masyarakat bahwa APBN, yang merupakan uang rakyat, akan terbebani oleh proyek prestisius yang biaya pembangunannya membengkak.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com 

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved