Makan Bergizi Gratis

Keracunan MBG Tembus 10.842 Siswa, JPPI Desak Dapur SPPG Distop, Mahfud MD Gertak Presiden Prabowo

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji prihatin lihat program MBG. Bahkan Mahfud MD tegas menyatakan ini persoalan serius.

Editor: Valentino Verry
tribunnews
INGATKAN PRABOWO - Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengingatkan Presiden Prabowo Subianto yang mengambil anggaran MBG pada 2026 dari sektor pendidikan. Menurutnya, ini persoalan serius yang berdampak pada hukum. 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sungguh bikin pusing Presiden Prabowo Subianto.

Sebab, program andalan untuk memperbaiki gizi buruk anak-anak di Indonesia ini justru banyak memicu hal buruk seperti keracunan.

Nyaris tiap hari siswa yang mengonsumsi menu MBG di berbagai daerah pada keracunan

Terkait hal ini, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, hingga 4 Oktober 2025, ada total 10.842 anak menjadi korban keracunan MBG.

Baca juga: Dukung Pertumbuhan Anak dan Remaja, Rumbaka Perkenalkan MBG: Makan Bergizi dan Gizigrow

Tentu ini jumlah yang sangat banyak untuk sebuah program andalan, dengan anggaran yang sangat besar.

Sebagai bentuk tanggung jawab, JPPI mendesak agar dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) ditutup seluruhnya untuk sementara waktu.

Sebelumnya, Badan Gizi Nasional (BGN) telah menonaktifkan sejumlah SPPG pada Senin 29 September 2025.

Sayangnya penutupan itu hanya berlaku pada sebagian kecil SPPG.

Sementara ribuan dapur lain yang tetap beroperasi, seolah diabaikan dari potensi bahaya yang sama.

Baca juga: Polres Metro Bekasi Kota Ambil Risiko, Bangun SPPG untuk Penerima MBG, Ini Penjelasan Kombes Kusumo

Catatan JPPI, dalam sepekan pasca penutupan sebagian SPPG (29 September–3 Oktober 2025), jumlah korban justru naik menjadi 1.833 anak.

Dengan demikian, total korban keracunan MBG hingga 4 Oktober 2025 menembus 10.482 anak.

“Dapat disimpulkan, penutupan sebagian SPPG tidak efektif," ujar Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji dikutip dari Tribunnews.com.

"BGN harus segera menghentikan seluruh SPPG di Indonesia sebelum korban bertambah lebih banyak,” imbuhnya.

Baca juga: Luhut Tegur Purbaya Soal Anggaran MBG, Rocky Gerung Sebut Prabowo Pusing Hadapi Keretakan Kabinet

Menurut Ubaid, desakan penutupan ini dikarenakan akar masalah MBG jauh lebih kompleks daripada sekadar kasus keracunan, seperti lemahnya standar pengawasan, distribusi bahan pangan yang tidak layak, hingga manipulasi data pelaporan.

Lebih rinci JPPI juga menemukan sejumlah fakta sepanjang pekan ini (29 September–3 Oktober 2025):

Kasus menyebar ke dua provinsi baru, yakni Sumatra Barat (122 anak) dan Kalimantan Tengah (27 anak).

Lima provinsi dengan korban terbanyak pekan ini; Jawa Timur (620 anak), Jawa Barat (555 anak), Jawa Tengah (241 anak), Sumatra Barat (122 anak), dan Nusa Tenggara Timur (100 anak).

“Kami menegaskan, keselamatan anak jauh lebih penting daripada pencitraan kebijakan. Karena itu, hentikan semua dapur MBG sekarang juga. Jangan biarkan meja makan anak Indonesia berubah menjadi meja darurat rumah sakit,” papar Ubaid.

SPPG DISTOP - Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mendesak pemerintah menghentikan operasional seluruh dapur SPPG yang memproduksi menu MBG.
SPPG DISTOP - Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mendesak pemerintah menghentikan operasional seluruh dapur SPPG yang memproduksi menu MBG. (nu online)

JPPI juga mendesak agar kebijakan yang mewajibkan guru cicipi MBG dihapuskan.

JPPI menilai, guru mengemban misi mulia dalam  pendidikan, bukan malah diberikan insentif dengan risiko taruhan nyawa karena tugas tambahan sebagai penanggung jawab MBG di sekolah.

Peristiwa yang menimbulkan ribuan korban dan terjadi berulang kali tidak lagi dapat disebut sebagai kelalaian, melainkan bentuk pembiaran.

“Sudah saatnya pemerintah berhenti menutup mata dan mengutamakan keselamatan anak di atas segalanya,” tutur Ubaid.

Sudah dua pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII) turut berkomentar terhadap program yang dinisiasi oleh Presiden Prabowo Suabianto ini.

Pertama adalah dosen dari Fakultas Hukum UGM yakni Herlambang Wiratraman dan kedua datang dari dosen UII yang juga mantan Menko Polhukam, Mahfud MD.

Keduanya pun kompak sependapat, mengedepankan pendidikan dibanding dengan makan gratis untuk pelajar.

Terbaru, Mahfud MD mengatakan MBG memang menjadi program krusial yang berdampak positif bagi warga, terutama generasi muda.

Meski demikian, ia menekankan prioritas utama sesuai Pasal 31 UUD 1945 justru terletak pada pemenuhan akses pendidikan anak-anak serta peningkatan mutu tenaga pengajar.

Pernyataan ini dilontarkan Mahfud sebagai tanggapan atas penempatan anggaran MBG di bawah pos pendidikan. 

Untuk tahun 2026, dana MBG direncanakan sebesar Rp335 triliun, yang tergabung dalam total alokasi pendidikan mencapai Rp757,8 triliun.

Dengan demikian, porsi MBG menyita hampir 44 persen dari keseluruhan anggaran sektor pendidikan tersebut.

"Dalam perspektif Pasal 31 UUD 1945, esensi pendidikan yang paling mendasar sebenarnya bukan hanya soal MBG. Meskipun program ini sangat esensial, tapi secara teknis, hal-hal seperti kurikulum yang solid, sarana prasarana, kualitas pengajar, dan fasilitas belajar yang memadai jauh lebih prioritas," ungkap Mahfud dikutip dari Tribunnews.com.

Menurut Mahfud, penarikan dana MBG dari anggaran pendidikan bertentangan dengan semangat konstitusi.

"Saya anggap ini kurang pas. Kalau dana MBG diambil dari sana, lalu apa makna alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan seperti diamanatkan UUD? Ini bisa jadi persoalan serius," ucapnya.

Sebagai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud juga menyiratkan MBG bukan satu-satunya program yang 'menyusup' ke anggaran pendidikan.

"Apa sih definisi pendidikan sebenarnya? Seringkali anggarannya dipecah untuk berbagai kegiatan yang sebenarnya tak sepenuhnya terkait pendidikan, padahal seharusnya difokuskan pada inti masalah," keluhnya.

Oleh karena itu, Mahfud mendesak pemerintah untuk segera me-review pengalokasian dana MBG.

Ia tegas menolak jika program andalan Presiden Prabowo ini menggerus sumber daya pendidikan.

"Kami sarankan agar pemerintah menyesuaikan proporsinya dengan lebih bijak. Urusan gizi sebenarnya sudah ada lembaga yang menangani," ucapnya.

"Lebih baik ambil dari alokasi kementerian atau badan terkait yang sudah ada, jangan sampai mengorbankan esensi pendidikan itu sendiri," imbuhnya. 

"Jangan biarkan kualitas belajar anak-anak terganggu demi aspek gizi semata," lanjutnya.

Sedangkan Herlambang mengatakan program MBG sebagai bentuk pelanggaran HAM.

Demikian ia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), disiarkan YouTube Mahkamah Konstitusi pada 11 September 2025.

Sidang tersebut terdaftar dalam Sidang Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 yakni dengan agenda mendengar keterangan DPR serta ahli dan saksi pemohon.

Tepatnya mengenai Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi undang-undang.

"Tidak ada hari ini yang mengatakan MBG melanggar hak asasi manusia. Enggak ada. Semua percaya MBG adalah realisasi dari right to. No," ucapnya.

Namun, kata dia, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya.

Program ini, yang diklaim sebagai realisasi hak atas pangan (right to food), justru mengorbankan hak-hak dasar lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Herlambang menyoroti ketidakadilan ini dengan menekankan MBG bukan solusi inklusif, melainkan pengurasan sumber daya anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pendidikan gratis bagi seluruh warga negara Indonesia hingga tingkat perguruan tinggi, sehingga mahasiswa tidak perlu membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT).

"Kenapa bukan pendidikan gratis untuk seluruh warga negara Indonesia? Kenapa harus MBG? Kenapa MBG menguras sumber daya ekonomi? anggaran terutama yang tidak pernah dialokasikan untuk pendidikan gratis sampai perguruan tinggi sehingga mahasiswa enggak ada perlu bayar UKT," tegas dia.

Lanjut Herlambang, banyak orang tua yang mengeluh tidak mampu membiayai sekolah anak-anak mereka, dan keluhan ini mudah ditemukan di media sosial.

Alih-alih memperbaiki akses pendidikan, MBG menurutnya justru menyebabkan pemindahan anggaran yang mengurangi fasilitas pendidikan dan kesehatan.

"Gara-gara MBG karena anggarannya pindah, fasilitas pendidikan berkurang, fasilitas kesehatan berkurang."

Pelanggaran ini dapat ditelusuri melalui konsep progressive realization dalam kerangka HAM, yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.

Kata kunci di sini adalah "pemajuan", yang harus ditafsirkan sesuai Pasal 2 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).

Pemajuan berarti pengembangan bertahap hak-hak HAM dengan memaksimalkan sumber daya yang tersedia (maximizing available resources), melalui langkah-langkah progresif dan ukuran legislatif yang tepat.

Konsep progressive realization menjadi kunci dalam pembangunan Indonesia karena sumber daya anggaran negara memang terbatas.

Tidak mungkin mencapai kesejahteraan instan untuk semua; oleh karena itu, diperlukan tahapan bertahap yang mengambil langkah-langkah (taking steps) secara bertahap.

"Progressive realization itu di mana sih letaknya dalam Undang-Undang Dasar pasal 28i ayat 4. Di situ ada kata, satu kata penting, pemajuan. Gimana cara menafsir pasal pemajuan di dalam Undang-Undang Dasar itu? Caranya adalah pasal 2 ayat 1 kovenan internasional hak ekonomi Sosial Budaya di mana pemajuan itu maksud yang ada adalah dikaitkan dengan progressive realization," katamya.

Namun, implementasi MBG sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) justru bertentangan dengan prinsip ini.

Program ini langsung mengalokasikan anggaran besar-besaran tanpa mempertimbangkan prioritas bertahap, sehingga melanggar prinsip indivisibility HAM—di mana satu hak tidak boleh mengorbankan hak lainnya.

MBG bukan hanya gagal merealisasikan right to food, tetapi juga menyingkirkan right to education dan right to health.

"Nah, ini juga tidak tepat. Nah, progressive realization itu sehingga membuat saya mengatakan MBG itu bukan soal right to food. No, dia justru menyingkirkan right to education, dia juga menyingkirkan right to health, kesehatan dan seterusnya," paparnya.

Studi ekonomi, termasuk penelitian terkini di Yogyakarta tentang tata kelola MBG yang masif, menunjukkan bahwa program ini justru membelenggu rakyat kecil dengan mengurangi akses layanan dasar.

Herlambang menekankan MBG tidak merujuk pada konsep bertahap yang benar, melainkan membatasi atau mengurangi hak-hak lain tanpa memaksimalkan sumber daya secara efisien.

Lantas dirinya mengutip tafsir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada halaman 11 dokumen yang disebutkannya, bahkan negara dengan sumber daya terbatas wajib memperkenalkan program berbiaya rendah dan terarah untuk kelompok paling rentan.

Sumber daya yang ada harus digunakan secara efisien dan efektif, bukan dialihkan secara sepihak ke MBG yang mengorbankan kepentingan layanan dasar seperti pendidikan dan sanitasi.

Contohnya, diskusi tentang sanitasi yang muncul dalam persidangan menunjukkan bagaimana prioritas sempit seperti MBG menghambat kemajuan holistik.

"Kenapa saya bilang melanggar hak asasi manusia? Kembali ke konsep yang saya tulis, progressive realizations. Karena terbatas maka perlu tahapan. Enggak mungkin langsung semua dibikin sejahtera. Enggak mungkin. Saya juga sadar itu. Maka konstruksi hukum hak asasi manusia mengatakan, 'Bertahaplah taking steps, ambil langkah-langkah, maximizing available resources, memaksimalkan sumber daya dengan cara progresif maju dengan legislative measures.'"

Pada akhirnya, Herlambang memperingatkan bahwa tata kelola MBG yang buruk tidak hanya gagal memenuhi standar HAM internasional, tetapi juga mencelakakan rakyat.

Program ini, dengan diksi yang tepat disebut "menyingkirkan" atau "membelakangkan" hak-hak lain, menunjukkan ketidaksesuaian dengan semangat konstitusi.

Ia menambahkan, sekalipun suatu negara jelas-jelas memiliki sumber daya yang tidak memadai, kita tahu terbatas anggarannya, negara tersebut tetap harus memperkenalkan program-program berbiaya rendah dan terarah untuk membantu mereka yang paling membutuhkan sehingga sumber daya yang terbatas dapat digunakan secara efisien dan efektif.

"Progressive relation itu begitu cara berpikirnya. Ini konsep HAM. Enggak ada ceritanya justru teralokasi dana-dana MBG justru teralihkan ee mengalihkan maaf mengalihkan anggaran-anggaran yang juga punya kepentingan layanan dasar yang lain."

Untuk mencapai pemajuan sejati, Indonesia perlu kembali ke prinsip progressive realization: bertahap, inklusif, dan berbasis keadilan, bukan proyek ambisius yang mengorbankan fondasi HAM dasar.

Penelitian lanjutan tentang "military free nutritious millal governance" yang disebutkannya diharapkan segera tersedia untuk memperkuat argumen ini, mendorong perdebatan yang lebih sungguh-sungguh tentang pembangunan berkelanjutan.

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News 

Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09

 

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved