Ijazah Jokowi

Polda Metro Pastikan Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Berlanjut, Meski Sudah 5 Bulan Belum Ada TSK

Polda Metro Pastikan Kasus Tudingan Ijazah Palsu Jokowi Berlanjut, Meski Sudah 5 Bulan Belum Ada TSK

Penulis: Ramadhan L Q | Editor: Budi Sam Law Malau
Warta Kota/Ramadhan L Q
IJAZAH PALSU JOKOWI - Tifauzia Tyassuma alias Dokter Tifa memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Kamis (21/8/2025), terkait tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi). Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Brigjen Ade Ary Syam Indradi memastikan penyidikan kasus tudingan ijazah Jokowi palsu, masih terus dilakukan jajaran Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro dan tinggal menentukan tersangka. 

WARTAKOTALIVE.COM, SEMANGGI -- Kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) berikut pencemaran nama baik, hingga kini sudah berjalan selama lebih dari lima bulan di Polda Metro Jaya.

Kasus ini bermula dari laporan polisi yang dibuat Jokowi di Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro Jaya pada 30 April 2025.

Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan dari sebelumnya penyelidikan.

Baca juga: Analisa Ade Armando Pihak Yang Bekingi Isu Ijazah Jokowi-Gibran: Ada PDIP hingga Pendukung Anies

Artinya, polisi sudah menemukan indikasi pidana dan tinggal menentukan tersangka serta mencari alat buktinya.

Namun setelah 5 bulan, hingga kini penyidik belum menetapkan satu pun tersangka.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Brigjen Ade Ary Syam Indradi memastikan penyidikan kasus tudingan ijazah Jokowi palsu, masih terus dilakukan jajaran Subdit Keamanan Negara (Kamneg) Ditreskrimum Polda Metro.

"Pemeriksaan dan pendalaman masih dilakukan," ujar Ade Ary kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, dikutip Sabtu (4/10/2025).

Kombes Ade menegaskan, penanganan perkara dugaan pencemaran nama baik tersebut tetap berjalan.

"Proses masih berlanjut, masih berlanjut ya," kata eks Kapolres Metro Jakarta Selatan tersebut.

Dalam perkembangan kasus ini, sedikitnya ada 12 orang sebagai terlapor.

Nama-nama itu tercantum dalam Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang telah diserahkan ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Mereka yang disebut sebagai terlapor antara lain, Eggi Sudjana, Rizal Fadillah, Kurnia Tri Royani, Rustam Effendi, Damai Hari Lubis, Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma atau dokter Tifa, Abraham Samad, Mikhael Sinaga, Nurdian Susilo, dan Aldo Husein.

Polisi Periksa Saksi Ahli
 
Sebelumnya dalam kasus ini, Polda Metro Jaya memeriksa Lukas Luwarso sebagai saksi ahli dalam kasus tudingan ijazah palsu Joko Widodo (Jokowi).'

Lukas Suwarso merupakan saksi ahli yang diajukan mantan Ketua KPK, Abraham Samad, yang sebelumnya diperiksa KPK sebagai terlapor.

Lukas diketahui merupakan jurnalis senior sekaligus mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Baca juga: Jokowi Bantah Gaungkan Prabowo-Gibran 2 Periode agar Perkara Dugaan Ijazah Palsu Tak Diusut

Pemeriksaan dilakukan di Mapolda Metro Jaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

Lukas hadir didampingi tim kuasa hukum Abraham Samad dan Roy Suryo cs, di antaranya Achmad Khozinudin dan Petrus Selestinus.

"Beberapa minggu lalu, usai diperiksa, Bung Abraham meminta saya menjadi saksi ahli untuk menjelaskan apa itu jurnalisme," kata Lukas.

Sebagai saksi ahli, Lukas menilai penerapan status terlapor terhadap Abraham Samad serta sejumlah jurnalis lainnya dalam kasus ini mencerminkan kembalinya pola otoritarianisme aparat.

Ia menyebut Abraham Samad yang kini aktif sebagai YouTuber melalui kanal Abraham Speak Up tetap menjalankan fungsi jurnalistik karena melakukan wawancara dan penyampaian informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

"Wawancara yang membahas keaslian ijazah Jokowi itu adalah bagian dari produk jurnalistik. Jika jurnalis dilaporkan karena hal seperti itu, maka semua wartawan bisa terancam tidak bisa menjalankan tugasnya," ujarnya.

Lukas juga mengingatkan bahwa seharusnya ada koordinasi antara kepolisian dan Dewan Pers sebelum memproses hukum sebuah produk jurnalistik, sebagaimana tertuang dalam Nota Kesepahaman serta surat edaran dan radiogram Kapolri yang berlaku selama dua dekade terakhir.

"Dalam kasus Abraham Samad, Michael Sinaga dari Sentana TV, dan lainnya, hal itu diabaikan. Jadi, justru aparat penyidik saat ini yang tidak mematuhi aturan internal Polri sendiri," tambahnya.

Lukas menegaskan bahwa ia akan menjelaskan kepada penyidik Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya mengenai jurnalisme dan non-jurnalisme berdasarkan etika profesi dan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999.

"Akan saya tegaskan bahwa yang membedakan jurnalisme dengan yang bukan, hanya satu hal sebenarnya," katanya.

Sebelumnya ahli digital forensik, Rismon Hasiholan Sianipar, mendatangi Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).

Kedatangannya untuk memenuhi panggilan penyidik Subdirektorat Keamanan Negara Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, terkait kasus tudingan ijazah palsu milik Presiden ke-7 RI, Joko Widodo

Rismon diperiksa sebagai salah satu terlapor dalam kasus tersebut.

Selain Rismon, penyidik juga memeriksa dua terlapor lainnya, yakni Mikhael Sinaga dan Nurdian Noviansyah Susilo.

“Hari ini klien kami akan diperiksa. Ada tiga orang, yakni Rismon Sianipar, dan dua jurnalis, Mikhael Sinaga serta Nurdian Noviansyah Susilo,” ujar kuasa hukum kubu Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin, saat ditemui di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan.

Rismon menyatakan, ia memiliki dasar untuk membantah kesimpulan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, yang sebelumnya menyatakan ijazah Jokowi adalah asli berdasarkan hasil uji laboratorium forensik.

“Kami akan membuktikan kepada penyidik bahwa kami punya dasar untuk membantah kesimpulan dari Bareskrim,” tutur Rismon.

Sebelumnya, dr. Tifauzia Tyassuma juga memenuhi panggilan penyidik Polda Metro Jaya, Kamis (21/8/2025), terkait tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi).

Pegiat media sosial ini tampak datang sekira pukul 10.30 WIB didampingi kuasa hukumnya, Abdullah Alkatiri, serta membawa buku berjudul Jokowi’s White Paper.

"Sebagai warga negara yang taat hukum, saya memenuhi panggilan dari Polda Metro Jaya sebagaimana teman-teman 12 aktivis lainnya. Hari ini jadwal saya, sesuai dengan surat panggilan yang saya terima," ujar dr. Tifa kepada wartawan, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis.

Ia mempersoalkan surat panggilan terhadapnya lantaran ada keganjilan.

"Sebenarnya surat panggilan itu sendiri kan juga ganjil ya, karena surat panggilan itu kayak 2 gabung jadi 1," tuturnya.

"Itu kan ganjil sekali, pertama laporan polisi atas nama Joko Widodo, kedua laporan polisi atas nama beberapa orang," sambung dia.

Kasus yang dihadapinya tersebut, terkesan ganjil lantaran dua laporan seolah digabung menjadi satu kejadian.

Antara laporan dari Joko Widodo dan laporan dari sejumlah orang dengan legal standing tidak jelas.

Laporan pertama dari Jokowi tentang delik aduan dinilai janggal karena mantan orang nomor satu Indonesia itu tidak melaporkan orang, tetapi peristiwanya.

"Delik aduan itu kan orang yang dilaporkan, bukan peristiwanya saja. Jadi ini ketika diproses sama polisi, kita merasa aneh saja, kok diproses sih laporan polisi yang seperti itu. 'Saya difitnah, Pak. Saya dicemarkan nama baik. Sama siapa Pak? Saya nggak tahu.  Pokoknya saya difitnah!'. Kan itu aneh, dari sisi laporan polisi saja sudah janggal sekali, tapi diproses," ujar dr Tifa.

Begitu juga delik umum tentang penghasutan hingga ujaran kebencian yang dilaporkan orang tidak jelas tanpa legal standing dinilai janggal. 

Sebab, laporan tersebut tak ada faktanya dengan apa yang dia lakukan, di mana dirinya bersama Roy Suryo dan Rismon Sianipar hanyalah melakukan sebuah penelitian saja tentang ijazah Jokowi.

"Masyarakat awam itu tahu, saya bertiga itu melakukan penelitian dan hasilnya sudah kami bukukan di buku Jokowi's White Paper. Jadi ini memang sudah rencana. Bukan kemudian kami gara-gara peristiwa ini terus kami bikin buku. Enggak. Karena kami tadinya mau publikasi ilmunya di jurnal internasional," ucap dia.

 Sejatinya, hasil penelitian dibuat menjadi buku yang rencananya bakal dipublikasi di jurnal Internasional. 

Buku itu sekaligus menjadi hak jawab mereka sebagai peneliti, hanya saja malah dilaporkan orang-orang tak jelas ke kepolisian.

"Ini hak jawab kami sebagai peneliti, tapi kemudian ada orang-orang yang tidak jelas. Legal standingnya apa. Jati dirinya juga tidak jelas. Kemudian melaporkan kami melakukan ujaran kebencian, hasutan dan sebagainya, itu sangat tidak masuk akal," tuturnya.

Menurut dr. Tifa, seharusnya ada aktivis lain yang juga dijadwalkan diperiksa pada hari yang sama, yakni Rustam Effendi. 

Namun, Rustam berhalangan hadir karena orang tuanya meninggal dunia.

"Pak Rustam tidak jadi hadir karena orang tuanya meninggal. Jadi hari ini saya sendiri. InsyaAllah besok Pak Rismon Sianipar (akan hadir)," ujarnya.

Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Roy Suryo, turut hadir dan sempat mendampingi dr. Tifa sebelum pemeriksaan. 

Roy mengaku sedang menjalani pemeriksaan sebagai saksi ahli dalam kasus lain di lokasi yang sama.

"Saya mensupport sahabat saya, dr. Tifa. Semoga apa yang disarankan oleh Pak Alkatiri tadi bisa dijalankan dengan baik. Yang terpenting, dalam surat itu tertulis tanggal 22 Januari," kata Roy Suryo.(m31)

Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News dan WhatsApp

Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved