Korupsi

Kakak Mantan Menag Gus Yaqut Bakal Dipanggil KPK Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji

Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag) masih diselidiki oleh KPK dengan wacana pemanggilan KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya).

Tribunnews.com/Fersianus Waku
DUGAAN KORUPSI - KPK tidak menutup kemungkinan memanggil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) untuk dimintai keterangan terkait kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag). 

WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama (Kemenag) masih diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Bahkan tidak menutup kemungkinan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) bakal dipanggil untuk dimintai keterangan. 

Gus Yahya merupakan kakak dari mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, (Gus Yaqut).

Gus Yahya akan dimintai keterangan sebagai saksi terkait dugaan korupsi yang sedang diselidiki KPK tersebut.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan pemanggilan saksi akan disesuaikan dengan kebutuhan proses penyidikan yang tengah berjalan.

"Kebutuhan pemeriksaan kepada siapa nanti kita akan melihat ya dalam proses penyidikannya," kata Budi Prasetyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/9/2025).

Menurut Budi, yang menjadi fokus utama penyidik dalam kasus ini adalah menelusuri aliran dana hasil korupsi.

Pemeriksaan saksi, termasuk potensi pemanggilan Gus Yahya, untuk mendalami jejak uang haram tersebut.

"Terkait dengan dugaan aliran uang ya, dalam melakukan penelusuran terkait dengan aliran uang yang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi ini, KPK selain melakukan pemeriksaan kepada para saksi," jelas Budi.

Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menyatakan KPK tengah menerapkan metode follow the money untuk melacak ke mana saja dana hasil korupsi mengalir dalam kasus kuota haji.

Ia menjelaskan bahwa penelusuran ke organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan seperti PBNU dilakukan karena penyelenggaraan ibadah haji melibatkan peran ormas.

Asep menegaskan langkah tersebut bukan untuk mendiskreditkan institusi tertentu, melainkan bagian dari upaya pengembalian kerugian keuangan negara (asset recovery).

Di sisi lain, pihak PBNU melalui A’wan Abdul Muhaimin telah mendesak KPK untuk segera mengumumkan tersangka dalam kasus ini. 

Baca juga: PPATK Bongkar Penerima Aliran Dana Korupsi Kuota Haji, Ivan Yustiavandana: Nama-namanya Ada di KPK

Ia mengaku gerah karena lambatnya penanganan kasus dinilai telah mencemari nama baik PBNU dan menimbulkan kesan seolah-olah lembaga tersebut terlibat secara institusional.

Kasus korupsi kuota haji  tahun 2023–2024 bermula dari pembagian kuota tambahan sebanyak 20.000 jemaah yang diperoleh Indonesia dari Arab Saudi. 

Kuota yang semestinya diprioritaskan untuk mengurangi antrean haji reguler yang bisa mencapai puluhan tahun, justru dibagi rata oleh Kemenag era Yaqut, yakni 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

Kebijakan ini melanggar UU Haji yang menetapkan kuota haji khusus hanya 8 persen dari total kuota nasional. 

Akibatnya, sekitar 8.400 jemaah haji reguler yang telah mengantre lebih dari 14 tahun gagal berangkat pada 2024.

KPK menduga ada "niat jahat" di balik pembagian tak proporsional ini, yang melibatkan dugaan jual beli kuota antara oknum Kemenag dengan pihak travel.

Agen travel diduga harus menyetor antara 2.600 hingga 7.000 dolar AS (sekitar Rp 42 juta hingga Rp 113 juta) per kuota untuk mendapatkan jatah.

Saat ini, KPK sedang mendalami siapa perancang naskah SK tersebut dan alur perintah di baliknya sebelum ditandatangani oleh menteri.

Hingga kini, KPK belum menetapkan tersangka dalam kasus ini, namun statusnya telah naik ke tahap penyidikan. 

Lembaga antirasuah telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri untuk kepentingan penyidikan, yaitu mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mantan Stafsus Menag Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik travel Maktour, Fuad Hasan Masyhur. 

Dugaan kerugian negara dalam kasus ini ditaksir mencapai lebih dari Rp 1 triliun.

(Tribunnews.com/Ilham Rian Pratama)

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di WhatsApp.

Baca berita Wartakotalive.com lainnya di Google News.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved