"Enggak mungkin (bisa dilakukan pemakzulan) secara politik. Karena sekali lagi koalisinya (Prabowo-Gibran) sudah 81 (persen)," kata Mahfud.
Mahfud pun menjelaskan, secara ketatanegaraan, terdapat enam hal yang membuat presiden dan/atau wakil presiden dapat dimakzulkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam pasal tersebut berbunyi: Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Meski nantinya DPR dapat menggelar sidang pleno tersebut, Mahfud menjelaskan prosesnya masih panjang lagi di Mahkamah Konstitusi (MK).
Setelah dari MK, lanjut dia, dikembalikan lagi ke DPR untuk kemudian diusulkan ke MPR.
Maka dari itu, Mahfud menyebut pemakzulan Gibran itu sangat tidak mungkin secara politik.
"Jadi secara hukum mungkin. Secara politik akan sangat tidak mungkin," ujar Mahfud.
Kendati demikian, Mahfud menilai tidak ada yang hitam putih dalam politik.
Dia lantas menyinggung peristiwa sejarah yang berkaitan dengan pemberhentian presiden sebelumnya, seperti Soekarno, Soeharto, hingga Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
"Tapi, politik itu tidak hitam putih. Di dalam praktik, pemberhentian presiden itu tidak pernah ikut aturan, tidak pernah ikut konstitusi," ungkap Mahfud.
"Itu kan rekayasa konstitusional agar seolah-olah benar dan itu sebenarnya kuncinya adalah politik," ujarnya.
Baca berita WartaKotalive.com lainnya di Google News
Ikuti saluran WartaKotaLive.Com di WhatsApp: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaYZ6CQFsn0dfcPLvk09